Di sebuah ruang tamu sederhana di bilangan Kementerian Agama, Jakarta, Minggu pagi itu (26/10/2025), Menteri Agama Nasaruddin Umar berbicara dengan nada tegas namun lembut. “Setiap lembaga pendidikan, baik sekolah, madrasah, maupun pesantren, harus menjadi tempat yang ramah anak, zero kekerasan,” ujarnya.
Kalimat itu bukan sekadar slogan. Di bawah kepemimpinannya, Kemenag kini tengah membangun sebuah gerakan besar yang disebut Pesantren Ramah Anak (PRA) — sebuah gagasan yang tumbuh dari keprihatinan, riset, dan refleksi panjang atas wajah pendidikan keagamaan di Indonesia.
Bayang Kekerasan dan Harapan Baru
Pada tahun 2025, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta merilis temuan yang mengejutkan. Dari 43.000 pesantren di Indonesia, sekitar 1,06 persen memiliki kerentanan tinggi terhadap kekerasan seksual.
Persentase itu tampak kecil, namun di baliknya tersembunyi ribuan santri yang mungkin pernah terluka secara fisik maupun batin. “Angka ini harus menjadi perhatian serius,” kata Menag, (26/10/2025).
“Kita tak bisa menutup mata. Tapi kita juga harus mengapresiasi 98,9 persen pesantren yang telah membangun sistem perlindungan yang baik.”
Pesantren di Indonesia sejatinya merupakan ruang belajar nilai — tempat di mana disiplin, kasih sayang, dan akhlak bertemu. Namun di tengah arus perubahan zaman, kompleksitas relasi kekuasaan, dan budaya diam terhadap kekerasan, wajah pesantren juga dituntut untuk berbenah.
Dari Regulasi ke Gerakan Sosial
Upaya pemerintah sebenarnya telah dimulai sejak lama. Kemenag menerbitkan serangkaian regulasi yang kini menjadi fondasi gerakan pesantren ramah anak.
Di antaranya, PM A Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, serta KMA Nomor 91 Tahun 2025 yang memperkuat perlindungan anak di lembaga pendidikan agama.
BACA OPINI TERKAIT :
Tak berhenti di situ, ada pula panduan teknis berupa Keputusan Dirjen Pendidikan Islam Nomor 4836 Tahun 2022 tentang Panduan Pendidikan Pesantren Ramah Anak dan Nomor 1262 Tahun 2024 tentang Pengasuhan Ramah Anak di Pesantren.
Dokumen-dokumen itu bukan hanya kumpulan pasal dan pasal, melainkan penanda niat baik sebuah bangsa untuk menegakkan marwah lembaga pendidikan Islam. “Regulasi ini menjadi panduan bersama seluruh ASN Kemenag dan para pemangku kepentingan,” ujar Nasaruddin.
Sinergi Lintas Kementerian
Kementerian Agama tidak berjalan sendirian. Bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), mereka membangun jejaring kerja untuk memastikan anak-anak di pesantren mendapat perlindungan yang utuh.
“Tiga hal kita tekankan,” kata Menag. “Pertama, mempromosikan hak anak untuk terlindungi. Kedua, mencegah kekerasan melalui pengasuhan yang sehat dan penuh hormat. Ketiga, memastikan penanganan yang cepat bagi anak yang menjadi korban.”
Di beberapa pesantren, kerja sama ini mulai berbuah. Pola pengasuhan diubah. Guru dan pengasuh diberi pelatihan konseling. Santri diajak mengenali tanda-tanda kekerasan dan berani melapor.
Telepontren dan Jalan Digital Pelaporan
Dirjen Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menjelaskan bahwa salah satu langkah konkret adalah pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di tingkat nasional.
“Selain Satgas, kami juga meluncurkan Telepontren,” kata Suyitno. Layanan berbasis WhatsApp dengan nomor resmi 0822-2666-1854 itu memungkinkan santri atau pengasuh melapor secara aman dan anonim. “Kami ingin pelaporan menjadi hal yang mudah, cepat, dan tidak menakutkan.”
Bersamaan dengan itu, Kemenag juga menetapkan 512 pesantren pilot project untuk program Pesantren Ramah Anak. Mereka didampingi langsung oleh tim Kemenag, psikolog, dan aktivis perlindungan anak.
Dukungan dari Dalam Pesantren
Bagi Ismail Cawidu, Staf Khusus Menag bidang Kebijakan Publik, sinergi antara pemerintah dan pesantren kini menunjukkan arah yang menggembirakan.
“Dulu, isu kekerasan sering dianggap tabu. Kini, para kiai, nyai, gus, dan ning mulai terbuka,” ujarnya. Kemenag juga menggandeng Lakpesdam PBNU untuk melatih penanganan kekerasan seksual di 17 pesantren di berbagai daerah.
Selain pelatihan, lomba karya tulis dan sosialisasi Masa Ta’aruf Santri (Mata Santri) juga digelar agar kesadaran tumbuh dari dalam, bukan sekadar dari instruksi pusat.
Menyusun Jalan Panjang
Dalam dokumen Peta Jalan Pengarusutamaan Pesantren Ramah Anak (PRA), Kemenag merancang tiga fase besar:
- Penguatan Dasar (2025–2026): Sosialisasi kebijakan, pembentukan Satgas, dan peningkatan kapasitas SDM pesantren.
- Akselerasi (2027–2028): Replikasi model PRA ke lebih banyak pesantren dan penguatan kemitraan lintas sektor.
- Kemandirian (2029): Integrasi prinsip PRA dalam sistem manajemen pesantren agar berkelanjutan.
“Ini bukan sekadar program,” ujar Menag. “Ini jalan panjang menuju peradaban pendidikan Islam yang menempatkan anak sebagai amanah, bukan objek disiplin.”
Menjaga Marwah Pesantren
Di tengah derasnya arus modernitas dan digitalisasi, pesantren tetaplah benteng moral bangsa. Namun, benteng itu kini belajar membuka pintu — bukan untuk kehilangan identitas, melainkan agar cahaya bisa masuk lebih terang.
Bagi Nasaruddin Umar, Pesantren Ramah Anak bukan proyek birokrasi, melainkan panggilan nurani. “Kita ingin setiap santri pulang dari pesantren bukan hanya membawa ilmu, tapi juga pengalaman tumbuh dalam kasih sayang,” katanya, menutup perbincangan.
Di pesantren-pesantren di pelosok negeri, mungkin masih ada ruang-ruang gelap yang menunggu disentuh cahaya. Tapi seperti janji yang diucapkan dengan tenang oleh Menag pagi itu, “Langkah kecil ini akan membawa perubahan besar — asal kita tidak berhenti berjalan.”
TEKS / FOTO : Humas Kemenag / Yulie Afriani | Editor : Imron Supriyadi













