Anak Pesantren di Banyuasin Nikah, Maskawinnya Unik : 6666 dan 3 kali Shalawat

Faiz Nur Fahmi dan Annisatun Nurul Alam Punya Cara Buat Maskawin Unik

Sore itu, suasana Pondok Pesantren Riadhuttholibin, Dusun I, Desa Telang Karya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin sudah terpasang tenda. Di antara hiasan dan ornament yang sederhana, ada 4 kursi sofa putih. Dua diantaranya berada di tengah sebagai kursi kedua mempelai.

Maskawin Pernikahan Faiz – Caca (6.666) dan ucapan sholawat 3 kali

Panggung sederhana itulah, yang kemudian menjadi saksi perjalanan bagi pasangan Faiz Nur Fahmi dan Annisatun Nurul Alam, menuju mahligai rumah tangga. Secara kasat mata tak ada yang Istimewa. Tapi ketika melihat mahar yang disebutkan, membuat banyak orang heran.

 Bukan Zaman Nabi

Sebab, ini bukan kisah zaman nabi, ketika Nabi Muhammad SAW menjadi saksi kisah cinta paling suci dan sederhana: pernikahan putrinya, Fatimah az-Zahra, dengan sepupunya yang gagah dan miskin : Ali bin Abi Thalib.

Bukan juga kisah sahabat Nabi yang memberi mahar dari hafalan Al-Qur’an kepada calon isterinya, yang kemudian direstui Nabi Muhammad SAW. Pernikahan sahabat Nabi kala itu, tanpa emas dan permata.

Tapi ini kisah di Pondok Pesantren Riadhuttholibin, Dusun I, Desa Telang Karya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.

Pernikahan sederhana yang mengusung mahar unik, berupa uang sebesar 6.666 dan tiga kali shalawat kepada Nabi Muhammad SAW.

Keduanya Anak Pesantren

Itulah yang terjadi dalam pernikahan Faiz Nur Fahmi dan Annisatun Nurul Alam, yang resepsi pernikahannya digelar pada Kamis, 11 Mei  2025 di halaman Pondok Pesantren Riadhuttholibin, yang didirikan dan dipimpin KH Nurrohman, putra asli Majalengka Jawa Barat.

Faiz Nur Fahmi (Putra Kh Nurrohman) dan Annisatun Nurul Alam (Putri Imron Supriyadi) foto bersama usai resepsi (Kamis, 11 Mei 2025) Foto.Dok Pribadi

Faiz Nur Fahmi adalah putra kedua dari KH Nurrohman. Sementara Annistaun Nurul Alam, Putri pertama dari Imron Supriyadi, S. Ag, M.Hum, Dosen dan Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidz Rahmat Palembang, dan Pustrini Hayati, S.Pd, salah satu pengajar di pesantren di Palembang.

Kedua mempelai, sama-sama berlatarbelakang pesantren. Faiz atau sering dipangil Gus Faiz– alumnus Pondok Pesantren Rubath al-Muhibbien Palembang. Sementara, Annisatun Nurul Alam, atau akrab dipanggil Caca, alumnus Pondok Pesantren Al-Ittifaqiyah Indralaya Kabupaten Ogan Ilir (OI) Sumatera Selatan.

Mahar Unik

Mahar kedua mempelai ini, menurut Seniman di Palembang, Yosep Suterisno, sangat unik, aneh dan mengherankan banyak warga.

“Kok, bisa begitu? Emang calon besannya nerima, gitu?” ujar Ketua Forum Teater Sekolah Sumsel (FORTASS) mengutip celoteh warga mendengar mahar dalam kisah cinta dua anak kiai ini.

Mengapa dianggap aneh? Yosep melihat, di zaman hingar bingar kebendaan seperti sekarang, masih ada keluarga yang menggelar acara sesederhana itu, dan mahar yang sangat tidak masuk akal bagi orang normal.

Yosep Sutersino, SE – Ketua Forum Teater Sekolah Sumsel (FORTASS)

“Kalau saya melihat, orang sekelas Mas Imron, siapa sih di Sumsel yang tidak tahu karya Mas Imron? Penulis, wartawan senior, Dosen, seniman, pimpinan pondok pesantren, koleganya banyak pejabat, orang-orang ternama, tapi menampilkan yang biasa-biasa saja. Buat banyak orang aneh, tapi bagi saya tidak. Sebab saya benar-benar kenal dengan Mas Imron bukan hanya dari postur fisiknya tetapi cara pandangnya memang sangat unik.

Ya, salah satunya maskawin dan menikahkan putrinya tidak ribet, simple. Kalau kata Mas Imron, yang penting sebagai orang tua merestui dan menghindarkan anak dari maksiat! Itu yang pernah saya dengar dari Mas Imron,” ujar Yosep yang kenal dengan Imron sejak tahun 2008.

Kisah Mahar 6666

Lantas bagaimana kisahnya, tiba-tiba muncul mahar 6666 dan sholawat?” Itu muncul spontan,” ujar dosen UIN Raden Fatah Palembang (2013-2024) ini.

Maskawin atau mahar dengan angka 6666 dan sholawat terlontar ketika Imron dan Faiz sedang berbincang di Sukawinatan Palembang.

Jurnalis senior Sumsel yang berlatar belakang seniman ini, seketika melempar gagasan yang langsung direspon positif oleh calon menantunya itu.

“Nggak usah binggung. Kalau di zaman nabi ada mahar hafalan Al-quran, Guz Faiz nggak apa-apa kalau mau buat jumlah ayat Al-qurannya saja. Jadi maharnya 6666 cukup simbolik Al-quran,  kan jumlah ayatnya segitu,” ujar Imron tanpa beban.

“Tambah,  lagi yah!” Faiz spontan usul. Imron terdiam sejenak menunggu usulan Faiz ketika itu. Beberapa detik Faiz menatap Imron. Mulutnya masih mengepulkan asap rokok.

“Apa?” tanya Imron lagi.

“Sholawat, yah! Sholawat tiga kali,” ujar Faiz, yang kemudian diamini Imron.

“Mantap! Bungkus! Gus!” Imron acungi jempol pada calon menantunya.

Teman dan Mitra kerja

Melihat keduanya, seperti tak ada lagi jarak. Guz Faiz dan Imron seperti teman, mitra kerja atau kadang juga sebagai atasan dan bawahan. Tapi semua berjalan natural, nyaris tanpa batas. Sudah seperti anak dan ayah.

Sesederhana itukah berbincang tentang maskawin untuk pernikahan anak perempuan satu-satunya dari Imron Supriyadi dan Pustrini Hayati? Jawabnya Iya. Faiz dan Imron, secara struktural berada di bawah Yayasan yang keduanya sama-sama mengajar. Bedanya, Imron sebagai atasan, sementara Faiz sebagai pengasuh santri, dibawah satu level.

Faiz Nur Fahmi (Pakai Peci Putih) saat bersama dengan Imron Supriyadi (Pakai Blangkon) sebelum menjadi menantu, secara kemitraan bekerjasama dalam penjurian dalam Forsadin Kota Palembang. Foto.Dok Pribadi

Jadi, setiap hari keduanya bertemu dalam satu majelis. Sesekali Faiz memberi materi kepada santri. Di lain waktu, Imron yang menjadi mentor pada sesi berbeda. Sementara Caca, ketika belum menikah, masih menjadi salah satu staf pengajar Bahasa Inggris bersama Bunda Pustrini, yang menjabat sebagai kepala sekolah-nya.

 Harga Diri Bukan Permata

Hubungan struktural dalam keseharian sudah menjadi keluarga. Sehingga tak ada kata yang harus mempersulit apalagi menghambat.

Gus Faiz—sejak dikenal Imron sudah seperti keluarga, karena sama-sama mengasuh santri. Demikian juga Bunda Pustrini, sudah seperti Ibundanya Faiz, sebagai pengganti Umi Faiz yang sudah wafat beberapa tahun lalu.

“Jadi kenapa harus dipersulit?” ujar Imron menyanggah sejumlah orang yang heran dengan pola pikirnya.

“Saya dulu waktu menikah tidak ada pihak yang memberatkan. Bahkan sangat ringan. Pihak calon mertua tak menyatakan ini dan itu, apalagi soal jumlah uang asap, mahar dan lainnya. Kalau dulu saya dipermudah oleh Allah dengan hadirnya mertua saya yang tidak ribet soal mahar, kenapa hari ini saya harus memberatkan calon menantu saya? Kalau mau gengsi, calon mertua saya waktu itu kepala desa legendaris, sejak zaman Soeharto sampai Pak Jokowi. Hebatkan?! Tapi beliau nggak ribet. Sebab, mertua saya sangat tahu, kalau ketika itu saya ini, ibaratnya Ali bin Abi Thalib yang hanya punya baju besi untuk mahar, lain tidak!” kilah Imron ketika dibincangi dalam satu kesempatan, jelang pernikahan putrinya.

“Sekarang saya tanya dengan kalian. Kalau seandainya saat ini posisi Faiz ada di  kalian, dan saya bebani dengan mahar yang puluhan bahkan ratusan juta? Ayo gimana?” tanya Imron kepada sejumlah wartawan yang ngobrol informal di sebuah café di Palembang, dua bulan sebelum resepsi.

Imron Supriyadi, saat makan bareng di Glenn Caffe Jalan Sudriman Palembang, bersama seniman, wartawan dan tokoh lainnya, sebelum Faiz-Caca menikah. Foto. Dok. Pribadi

“Ini pertaruhan harga diri lho. Ini Sejarah untuk putrimu, Bung!” sergah wartawan lainnya.

“Harga diri bukan pada emas dan permata. Islam juga mengajarkan, mahar bukan ukuran kekayaan, melainkan niat ikhlas, penghormatan kepada istri, dan tanda komitmen dalam membina rumah tangga. Dalam syariat Islam, mahar itu wajib, tetapi boleh sedikit bahkan simbolis, asalkan ada kesepakatan. Ingat nggak, pernikahan Ali Bin Thalib dengan Fatimah Az-Zahra, maharnya hanya dengan baju besi. Lalu ada juga sahabat Nabi yang maharnya hafalan Al-quran? Jadi apa yang salah?” ujar imron yang membuat suasana diam sejenak.

Tak ada sanggahan lain yang bisa mematahkan argumentasi mantan Direktur Pemberitaan Radio Smart FM Palembang ini.

“Ya, sudah. Kalau sudah berdebat dengan dalil dari kiai, ya habis kita! Kita angkat tangan. Kami cuma berdoa semoga lancar, Men! Selamat ya, sebentar lagi bakal jadi kakek!” ujar wartawan lainnya mendoakan.

Bukan hanya rekan dekat Imron yang sempat “memprotes” kesederhanaan pernikhan putrinya. Teman sejawat Bunda Pustrini tak kalah pedas. Serangan datang dari berbagai sudut.

“Ngapo kamu galak (mau) diatur-atur oleh besan. Harusnyo kito yang nentuke. Minta berapo? Jangan diem bae, Pustri! Anak kito ni betino. Jadi biso kita minta yang agak besak. Jangan basing-basing (sembarang) bae melepas anak betino. Sikok-sikoknyo pulok anak betino,” ujar Bu Asma, ketua Yayasan tempat Bunda Pustrini mengajar.

“Itu semua, saya serahkan ke ayahnyo, Bu. Sebab ayahnyo dan Abah Faiz yang akan membahas itu,” Bunda Pustrini, sudah jengah mendengar ocehan Bu Asma, yang bertubi-tubi datang dan pergi. Ketemu di sekolah bahas Caca. Ketemu di masjid bahas mahar. Tapi Bunda Pustrini hanya diam. Itulah senjata paling ampuh menghadapi provokasi tetangga.

“Kalau omongan Bu Asma itu Bunda layani, biso bentrok, yah! Jadi bunda lebih baik diam. Sekarang bunda serahkan dengan Allah. Ya Allah,  berikan yang terbaik untuk anakku. Insya Allah, pernikahan anak kito, cak mano bentuknya akan berkah,” ujar Bunda Pustrini pada Imron saat usai makan siang, dua bulan sebelum akad nikah.

 Berita di Balik Berita

Seperti juga berita, apa yang dilihat kasat mata oleh para undangan ada rahasia lain yang tidak disebut dalam akad nikah. Itulah yang mahar misil. Faiz dan Imron membuat kesepakatan di balik layar yang tak harus diketahui publik.

“Yah, meskipun maharnya 6666 plus shalawat, Faiz masih ingin ada emas untuk mahar misil,” ujar Faiz dalam sebuah kesempatan jauh sebelum pernikahan berlangsung.

“Ya, itu kesepakatan antar kalian. Kalau ayah meng-aminkan. Intinya, menikah ini bertujuan ibadah, menyempurnakan diri sebagai pengikut Rasulullah. Dan hal terpenting untuk menghindari kemaksiatan! Fahim tum, Gus?!” tegas Imron.

Na’am, Yah. Kami berangkat ke pasar 16 dengan Jepri,” ujar Faiz membawa sepeda motor Imron, yang dibeli dari hadiah sayembara menulis sastra terbaik pertama di Sumsel tahun 2019. Jepri yang mengiringi Faiz ke Pasar 16 Ilir, adalah santri pengabdian, yang menjadi mitra Faiz mengasuh santri di pondok.

Imron Supriyadi saat mendapat Penghargaan terbaik (Anugrah Batanghari Sembilan), sebagai penulis satra terbaik di Sumsel 2019, yang sebagian uangnya untuk membeli sepeda motor), yang di pakai Faiz dan Jepri. (foto.dok.pribadi)

 Di Tilang Polisi

Belum satu jam, HP Caca berdering. “Apa, ketangkap polisi? Dimana?” Faiz dan Jepri ditilang polisi di simpang skip Palembang. Motormy di tahan karena tak bawa STNK.

“Suruh tunggu! Ayah bawa STNK-nya. Bilang sama polisi, jangan dulu motor di bawa ke Polres. Ayah kesana, sekarang!” ujar Imron, berpesan pada Caca gar disampaikan ke Faiz dan jepri. Imron sigap bersiap, sembari mengenakan kostum wartawan, lengkap dengan perangkat lengkap liputan.

Ilustrasi

Sebab kali itu, Imron harus menghadiri jumpa pers di Kodam II Sriwijaya. Awalnya, Imron akan naik gojek. Tapi takdir berkata lain. Sekalian berjalan, Imron luncur ke lokasi.

Hanya beberapa menit, Imron bertemu dengan petugas polisi di Simpang Sekip, dan sepeda motor tak jadi ditahan.

“Mas Bro, ini STNK-nya. Mohon maaf ya. Anakku salah. Aku ambil motornya, sebab aku mau liputan ke kodam. Kalau ditilang silakan, ndak apo, tapi motor jangan ditahan!” ujar Imron ke aparat polisi.

“Lanjut, Pak! Silakan bertugas! Mohon maaf Pak sudah mengganggu!” ujar aparat polisi merasa tidak enak hati karena seolah tidak menghargai profesi.

Beli Emas Diantar Calon Mertua

Sebab, ada kesepakatan antara Dewan Pers dan Polri, agar wartawan dan polisi sama-sama menghargai profesi, dan tidak saling mengganggu tugas masing-masing. Selama wartawan tidak melakukan tindakan kriminal, semua bisa berjalan secara sinergis antar dua profesi ini.

“Sudah gini aja, ke Pasar 16 ilir-nya sama ayah. Tugas ayah sudah ayah disposisi ke wartawan lain untuk liputan. Jefri pulang pakai gojek!” ujar Imron.

“Iya, Ustadz, mohon maaf, jadi ustadz yang repot!” ujar Jefri yang wajahnya masih terlihat bekas pucatnya karena takut terkena marah Imron, akibat sepeda motornya tertangkap.

“Santai, Bro! Ini takdir. Jadi ndak usah merasa bersalah. Dengan kasus ini, Allah sedang menyuruh Ustadz Imron mengantarkan Gus Faiz beli emas! ok?! Kami berangkat, kamu tunggu gojek!” Imron dan Faiz menyusuri jalan aspal hitam ke arah Pasar 16 Ilir Palembang. Sementara Jepri, di dekat Pos Polisi Skip menunggu jemputan gojek.

“Nanti kalau emasnya sudah ada, Faiz jadikan mahar misil, Yah!” ujar Faiz sembari jalan ke sebuah toko emas. Imron tak perlu bertanya istilah mahar misil. Sebab, jauh sebelum ini, Imron juga alumnus Pondok Pesantren Assalaam Surakarta di era 1985, yang juga belajar fiqh Munakahat, sehingga tidak asing dengan istilah fiqh itu.

“Jadi nanti yang disebut cuma 6666 rupiah dan sholawat aja, Yah! Sebab inikan mahar misil yang tak perlu disebut saat akad  nikah,” tegas Faiz.

“Ya, nggak apa-apa! Biar Allah dan kalian saja yang tahu. Terus Ayah, Bunda dan Abah. Selain itu screet! ok?!” ujar Imron yang kemudian membeli dua gelas es kemasan gelas plastik di sebelah toko emas. Sementara Faiz masih ngobrol dengan penjual emas.

Kali itu, calon mertua dan calon menantu ini terpaksa menunda pulang, karena cuaca hujan. Dua batang rokok sempat mengepul dari bibir Faiz dan Imron. Usai hujan reda, keduanya tancap gas dan meluncur pulang ke Sukawinatan. Caca dan Bunda Pustrini sudah menunggu.

Semua berjalan biasa saja. Melihat emas yang dibeli, Bunda Pustrini dingin-dingin saja. Tak ada sikap yang reaktif. ”Alhamdulillah, semoga barokah pernikahan kalian nanti. Bunda senang  melihat ini,” ujar Bunda Pustrini, merespon belanjaan yang baru saja dibeli itu dengan datar.

Melihat sikap Bunda-nya, Annisa hanya senyum simpul. Apalagi mahar misil baru saja dibeli.

“Ini Sejarah, dik, beli emas untuk mahar dengan calon mertua. Oi..ini keren! Kalu di dunia ini ndak katek (tidak ada) sejarahnya. Mano ado calon mertuo ngantar beli emas untuk calon menatu! keren, keren!” ujar Faiz sembari tertawa lebar.

Perjalanan Kemalaman

Sampai akhirnya akad nikah di Bulan April dan resepsi di Bulan Mei, tak ada aral melintang yang berarti. Namun perjalanan Imron, Bunda Pustrini dan Mbah Majid, ayah angkat Imron, menuju pondok pesanren sempat tertunda.

Sebab ketika hendak masuk ke Dermaga Sri Menanti, tempat biasa mangkal perahu ketek yang mengantar ke Ponpes Riadhutholibin, Imron dan keluarga malam itu lupa dengan penanda simpang Sri Menanti.

Dermaga Sri menanti Tanjung Lapo, Banyuasin. Foto. Repro

“Belokan Sri Menanti itu sebelum Tanjung Lago atau setelah?” Mbah Majid menegaskan lagi, saat kami berhenti sejenak untuk bertanya pada warga. Mbah Majid sangat paham dengan Kecamatan Tanjung Lago, sebab Mbah Majid sudah sering menghadiri acara pesantren di kecamatan itu. Tapi untuk Dermaga Sri Menanti Mbah Majid belum familiar.

Suasana Dermaga Sri Menanti Malam. Sepi dan tak ada satu perahu ketek di lokasi. Foto. Repro.

Ternyata salah informasi. Imron yang pernah ke pondoknya Kiai Nurrohman saat akad nikahnya Caca danFaiz, kali itu tak ingat dengan posisi simpang Dermaga Sri Menanti.

Seharusnya belok kanan sebelum Kecamatan Tanjung Lago. Ternyata Imron dan keluarga perjalanannya sudah hampir ke Pelabuhan Tanjung Siapi-api. Lebih 10 km dari Simpang Sri Menanti. Imron dan keluarga malam itu terlewat. Risikonya berbalik arah. Pasti memakan waktu.

Akibatnya, pukul 00.15 WIB, Imron dan keluarga baru sampai di Dermaga Sri Menanti. Untungnya, perahu ketek yang mengantar Imron dan keluarga menyeberangi Sungai Banyuasin sudah dipesan. Sementara, mobil Pondok Laa Roiba Muaraenim yang dibawa Imron dan keluarga, diparkir di penitipan mobil.

Lokasi penitipan mobil Dermaga Sri Menanti, Tg. Lago Banyuasin. Foto. Repro

Malam diatas Sungai

Perlahan tapi pasti. Di tengah malam Imron dan keluarga menyeberangi Sungai Banyuasin diatas perahu  ketek. Di benak Imron, teringat masa KKN tahun 1996 di daerah Desa Sunur, Kecamatan Muara Kuang Ogan Komering Ilir. “Mbah, aku laju ingat zaman KKN tahun Sembilan enam. Kami waktu itu juga pakai jalur air, nak siang nak malam. Cak iniah,” tukas Imron setengah berteriak, karena suara mesin ketek memenuhi gendang telinga.

Tak ada perahu lain kecuali ketek yang dikendarai Imron dan keluarga malam itu. Sejuk dan mengasyikkan hawa laut yang menerpa wajah-wajah lelah malam itu. Mbah Majid, Akbar, Kahfi, dua adiknya Caca, matanya liar memandang lepas ke hutan belantara di sekitar Sungai.

Suasana Naik Ketek saat siang hari menuju Pondok Riadhuttholibin. Foto.Repro

Hanya Imron, Bunda Pustrini, Kahfi, Akbar dan Mbah Majid, ayah angkat Imron yang mendampingi pernikahan Caca dan Faiz. Sementara keluarga Imron berada di Jawa. Nenek Nenek Caca dari Imron sudah tiada.

Keluarga Bunda Pustrini, masih fokus mengurusi adiknya yang dirawat di rumah sakit. Haru, senang dan entah perasaan apa yang berkecamuk di benak Imron dan keluarganya, ketika kebahagaiaan Caca dan Faiz, harus beriring dengan rintihan adik kandung Bunda Pustrini di rumah sakit.

Dirawat di Rumah Sakit

Ingin tersenyum lebar. Tapi lintasan ingatan Bunda Pustrini melayang ke ranjang rumah sakit. Hingga pagi, usai resepsi, tak ada lagi waktu berlama-lama. Imron dan keluarganya harus melepas rindu yang tertahan. Sesak di dada. Tapi inilah takdirnya Caca, yang harus berhadapan dengan kenyataan getir.

“Maafkan Bunda dan Ayah, Ca. Kami harus segera pulang, karena Oom sedang dirawat di rumah sakit. Kami langsung ke rumah sakit,” ujar Bunda Pustrini memeluk putrinya dengan derai air mata.

Demikian juga Caca. Matanya mengembun dan jatuh ke pipi. Entah berapa puluh kali Caca harus menyeka titik air mata yang menetes. Selamat, ya Ca dan Gus Faiz.  Allah akan selalu membersamaimu. “Aa’ Bunda pulang ya. Maafkan Bunda dan ayah. Oom masih di rumah sakit,” Bunda Pustrini tak lupa memeluk menantunya dengan haru.

“Kami pamit, Bah. Mohon maaf. Ini kondisi yang memaksa. Sama sekalai di luar rencana,” ujar Bunda Pustrini berpamitan dengan Abahnya Faiz.

“Iya, nggak apa-apa. Kami sangat paham. Semoga adiknya lekas sembuh, ya!” ujar Abah Nurrohman lirih.

Air mata tak juga tertahan di pipi Imron yang kemudian memeluk erat besannya itu. “Kami pamit, Abah. Maaf kami harus ke rumah sakit. Titip Caca,” Imron melepas genggaman tangan Abah dan menuju Dermaga ketek di depan pondok.

Langkah Imron dan Bunda Pustrini, Mbah Majid, Akbar dan Kahfi berat meninggalkan halaman pondok. Tapi apa boleh dikata. Seperti bumi yang tak bisa menolak hujan. Semua skenario Allah Swt, yang tak sesiapa bisa menolaknya. “Bismillah..doa kami selalu mengirimu, nak,” ujar Bunda Pustrini diantara keharuan dan kepedihan mendalam, mendoalan Caca dan Faiz.**

TEKS : AHMAD MAULANA  | EDITOR : WARMAN P

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *