JAKARTA | KabarSriwijaya.NET – Nama Nadiem Anwar Makarim, mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, kembali bergema di lorong Gedung Bundar. Bukan karena inovasi, melainkan karena alokasi. Bukan karena prestasi, melainkan dugaan korupsi.
Hari Senin, 23 Juni 2025, Nadiem datang memenuhi panggilan penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung. Sepuluh menit lewat pukul sembilan pagi, ia melangkah masuk ke ruang pemeriksaan. Dua belas jam kemudian, ketika malam mulai menutup kota, ia keluar. Diam. Lalu bicara.
“Saya hadir hari ini di Kejaksaan Agung sebagai warga negara yang percaya bahwa penegakan hukum yang adil dan transparan adalah pilar penting bagi demokrasi dan pemerintahan yang bersih,” kata Nadiem, dengan wajah yang tenang, nyaris tak terusik.
Namun, proses hukum belum berhenti. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Harli Siregar, mengisyaratkan pemeriksaan lanjutan.
“Aspek-aspek yang berkaitan masih luas. Anggaran Rp9,9 triliun ini tidak hanya dari pusat, sebagian sudah masuk Dana Alokasi Khusus (DAK) ke daerah. Maka perlu ada pendalaman,” ujar Harli, membuka celah kemungkinan pemanggilan ulang.
Chromebook: Solusi atau Rekayasa?
Pengadaan laptop Chromebook oleh Kemendikbudristek periode 2019–2022 yang kini disidik itu, disebut-sebut mengandung unsur pemufakatan jahat. Dalam keterangan resminya, Harli menyebut bahwa tim teknis diduga diarahkan untuk membuat kajian teknis yang ‘mengunci’ pilihan pada sistem operasi Chrome—meskipun sebelumnya sudah ada kajian yang merekomendasikan penggunaan sistem operasi Windows.
Sinyal kecurigaan makin terang saat publik mengetahui bahwa pada 2019, Pustekkom Kemendikbudristek sudah melakukan uji coba terhadap 1.000 unit Chromebook. Hasilnya? Tidak efektif. Tapi entah mengapa, kajian itu dikesampingkan. Muncul kajian baru, seolah tanpa jejak masa lalu, yang kembali mengusulkan penggunaan Chromebook.
Angka-angka dan Tanggung Jawab
Rp9,982 triliun. Itulah total anggaran yang digelontorkan. Rinciannya: Rp3,582 triliun dari anggaran satuan pendidikan, sisanya—sekitar Rp6,399 triliun—dari DAK yang tersebar ke berbagai daerah.
Proyek ini terlalu besar untuk dibiarkan, terlalu strategis untuk sekadar disebut “kesalahan administratif.” Penyidik Jampidsus pun kini berpacu dengan waktu dan ekspektasi publik.
Harli menegaskan, “Kami masih melengkapi data dan dokumen penting. Pemeriksaan terhadap mantan menteri itu signifikan untuk memastikan posisi, peran, dan keputusan yang dibuatnya dalam pengadaan ini.”
Menggenggam Laptop, Melepaskan Integritas?
Apakah proyek pengadaan laptop pendidikan berbasis Chromebook ini merupakan upaya modernisasi pendidikan? Atau hanya kendaraan untuk menguras anggaran negara dengan dalih teknologi?
Pertanyaan itu kini berputar di ruang publik. Nadiem memang belum tentu bersalah. Tapi pemeriksaan ini adalah panggung awal. Di negeri demokrasi, kecurigaan terhadap penggunaan uang rakyat tidak bisa disapu bersih hanya dengan narasi dan niat baik.
Dan bila benar ada pemufakatan dalam mengubah kajian teknis, ini bukan sekadar perkara spesifikasi. Ini soal etika, integritas, dan amanah terhadap dunia pendidikan.
Sejauh ini, penyidik belum menentukan tersangka. Tapi publik sudah menyalakan lampu sorotnya. Nadiem mungkin kembali dipanggil. Dan ketika itu terjadi, semua catatan, jejak, dan keputusan akan diurai lebih rinci. Satu demi satu.
Dan kita, seperti biasa, akan tetap menunggu—dengan harap yang tajam dan memori yang tak mudah lupa.
TEKS : BAGUS SANTOSA (Kontributor Jakarta) | EDITOR : IMRON SUPRIYADI