ACEH | KabarSriwijaya.NET – Malam belum benar-benar larut ketika pendopo Gubernur Aceh, Jumat (13/6), berubah menjadi ruang diplomasi yang tertutup rapat. Gubernur Muzakir Manaf memimpin rapat bersama Forum Bersama (Forbes) anggota DPR dan DPD RI dari daerah pemilihan Aceh. Di balik tembok kayu dan dinding berkorden, topik yang dibicarakan hanya satu: empat pulau yang pelan-pelan ditarik dari peta Aceh, dipindahkan ke administrasi Sumatera Utara, tanpa sepatah kata dari rakyat Aceh.
Hasilnya: sikap tegas dan tanpa kompromi. “Tidak akan kita bahas,” kata Muzakir Manaf setelah keluar dari ruang rapat. “Bagaimana kita bahas, itu hak kita. Punya kita. Wajib kita pertahankan.”
Sikap itu bukan sekadar gertak. Pemerintah Aceh telah melayangkan formulir keberatan resmi ke Kementerian Dalam Negeri. Isinya bukan hanya angka dan koordinat. Tapi juga tumpukan bukti: sejarah, peta penduduk, warisan lisan, dan identitas geografis. Dalam bahasa diplomatik, Aceh menyodorkan hak milik. Dalam bahasa politik, Aceh menolak digusur dari sejarahnya sendiri.
BACA BERITA LAINNYA :
Empat Pulau, Luka yang Terbuka Kembali
Yang ditolak bukan sekadar hasil keputusan. Tapi juga pendekatan yang diajukan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution. Dalam pertemuan sebelumnya, menantu Presiden Jokowi itu menyampaikan gagasan yang terdengar diplomatis: pengelolaan bersama. Empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Mangkir Gadang (Besar), dan Mangkir Ketek (Kecil)—bisa dikelola berdua, kata Bobby, seperti dua tetangga yang berbagi halaman belakang.
“Kalau ada potensi sumber daya alam atau pariwisata, semuanya kita harapkan bisa dikolaborasikan,” kata Bobby usai bertemu Muzakir, Rabu (4/6). “Apakah itu tetap di Sumut atau kembali ke Aceh, kita terbuka.”
Pernyataan itu, dalam konteks politik Aceh, terdengar seperti pernyataan perampasan yang dibalut kata “kerja sama”. Kata “kolaborasi” tak bisa menutupi fakta bahwa Aceh merasa wilayahnya dipreteli—tanpa suara, tanpa dialog, tanpa peringatan.
Pemerintah Pusat mengklaim keputusan ini berdasarkan data geospasial dari Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI Angkatan Laut, dan Topografi AD. Tapi Aceh bicara dari sisi lain: dari nadi sejarah yang berdetak di ingatan kolektif masyarakat pesisir Singkil. Pulau-pulau itu, kata Muzakir, tak hanya punya koordinat. Mereka punya kenangan.
Dan Aceh, seperti sejarah mencatat, tidak pernah pandai menoleransi kehilangan.
Gagasan pengelolaan bersama bukan hal baru dalam politik batas wilayah. Tapi di Aceh, gagasan itu gagal meresap. Terlalu banyak luka yang belum kering. Terlalu banyak janji yang belum ditepati sejak Perjanjian Helsinki 2005. Ketika Jakarta bicara tentang koordinat, Aceh bicara tentang martabat. Dan ketika Sumatera Utara menawarkan kolaborasi, Aceh melihat itu sebagai pembungkus manis dari keputusan yang sudah sepihak.
Muzakir tak menyembunyikan kekesalannya. “Itu bukan barang diskusi,” ujarnya tegas. “Kalau kita duduk bahas, itu sama saja kita mengakui. Padahal itu milik kita.”
Pulau memang tak bersuara. Tapi dalam geografi politik Indonesia, tiap jengkal tanah bisa menyalakan api. Aceh tahu betul bagaimana negara memperlakukan mereka sebagai wilayah yang bisa dinegosiasikan ulang. Tapi mereka juga tahu betul bagaimana cara mempertahankan batas, meskipun harus sendirian.
Dan kali ini, ketika peta kembali digeser tanpa suara dari rakyat, Aceh memilih diam yang penuh perlawanan: menolak duduk di meja perundingan.
Empat pulau. Empat nama kecil di ujung peta. Tapi bagi Aceh, mereka bukan sekadar pulau. Mereka adalah garis batas antara pengakuan dan pengabaian.
TEKS : WARMAN P | EDITOR : IMRON SUPRIYADI