Di bawah terik Palembang pada pagi Jumat, 29 November 2024, ribuan Aparatur Sipil Negara (ASN) di hampir semua instansi pemerintah berkumpul di halaman. Mereka hadir bukan sekadar memenuhi kewajiban upacara Hari Ulang Tahun KORPRI ke-53.
Lebih dari itu, mereka hadir untuk mendengar—seperti rumah tua yang merindukan angin masuk ke celah-celah pintu kayu. Angin kebaikan yang mengusir debu ragu dan kemunculan KORPRI versi baru: Korps Pegawai ASN Republik Indonesia.
Saya ingin membicarakan satu hal yang sederhana, tapi agung: jiwa pemersatu. Bukan jiwa itu yang dibicarakan di atas podium, namun jiwa yang muncul ketika dua ASN dari latar berbeda saling tersenyum di lorong kantor. Ketika mereka melayani satu warga, yang mungkin berangkat dari suku lain, agama lain, atau pilihan politik lain.
Kita dan Bangsa yang Butuh Pemersatu
Indonesia bukan tentang yang besar menindas kecil. Ia adalah tentang ribuan pulau, ratusan bahasa, bermacam adat, yang masih ingin tetap satu. Diam saja ia hancur, bersatu saja rapuh. Maka tubuh ASN tidak cukup hanya bergerak; harus bergerak dengan “rasa”. Rasa bahwa kita beda, dan perbedaan itu bukan fatal.
Dalam momentum undang-undang ASN nomor 20 tahun 2023, kita tidak hanya bicara tentang nomenklatur, bahkan bukan sekadar proses digitalisasi tugas. Kita sedang membicarakan transformasi hati.
Ketika KORPRI berubah menjadi korps ASN nasional, tidak cukup hanya seragam baru. Seragam itu harus menyatu dari dalam: menjadi tanggal lahir alam bawah sadar yang tahu bahwa kita adalah “pemersatu”, bukan hanya “pelaksana kebijakan”.
ASN: Bukan Sekadar Jabatan, Tapi Pengabdian
ASN bukan jabatan kosong. Ia adalah tempat di mana seseorang dibayar oleh rakyat bukan untuk milih mereka, tapi untuk melayani rakyat. Ada selok-belok nilai yang harus disadari: integritas bukan barang mewah yang bisa dicampur aduk; netralitas bukan baju ganti kubu; loyalitas bukan sekadar duduk di meja pimpinan yang menang.
Sebagai pengingat bersama, saya ulang kembali: ‘KORPRI adalah satu-satunya wadah ASN’. Tidak boleh ada dualisme atau organisasi bayangan. Bila ingin nyuarakan aspirasi, katakan melalui korps yang resmi.
Bila ingin menyuarakan gagasan pembangunan, tunjukkan lewat wadah yang konsisten. Jangan sampai ASN bercerai-berai dalam kepentingan parpol, grup WhatsApp, grup medsos, atau sekadar geng sesama almamater.
Melayani dengan Rasa, Bukan Sekadar Tugas
E-Government bukan sekadar digitasi sistem. Ia adalah cara agar ibu-ibu tak antre 5 jam di loket, bapak-bapak dapat mengurus tanpa jauh-jauh ke kota, dan anak-anak sekolah tidak keburu gurun data administrasi. Teknologi harus menjadi partner rasa, bukan lawan nurani.
Banyak ASN takut digital, karena merasa terintimidasi teknologi. Padahal yang ditakutkan adalah rasa malu jika tidak cepat belajar. Di sinilah kita harus merangkul: buka pelatihan yang ramah, bukan memaksa lewat jargon ‘wajib bisa e-lapor’. Rasa percayalah, lebih kuat daripada perintah.
Netralitas sebagai Bentuk Cinta pada Negara
Tahun 2024 telah memberi kita pelajaran berulang: ketika ASN mencampuri pilpres atau pilkada, maka celah kecurigaan tumbuh; rakyat bertanya, “Apakah uang negara benar-benar netral?” Netralitas ASN bukan berarti diam dan tak peduli. Netral berarti cinta pada seluruh anak bangsa, tanpa memandang siapa yang sedang duduk di kursi kekuasaan.
Kita pernah punya contoh dari Orde Baru—ketika jabatan negara hanya untuk pendukung. Kini, jalan kita harus berbeda. ASN bukan penyokong rezim, tapi penjaga institusi yang berlaku untuk semua rezim, sepanjang itu sah. Di situ letak kedewasaan birokrasi kita.
Solidaritas saat Dunia Bergerak Cepat
Kita hidup di zaman kemacetan luar biasa: arus informasi viral dalam hitungan detik; keresahan sosial tumbuh lewat komentar; konflik identitas meledak di media sosial. Dalam dunia yang rapuh, ASN tak boleh sendiri. Bila satu kantor main sendiri, kantor lain acuh, maka layanan masyarakat menjadi bahasa tidak merata.
Solidaritas ASN berarti berbagi bahan info baru; memberi “jalan bantuan” saat program instansi lain menumpuk masalah; memberi “kalerang” pada teman yang kesulitan menjelaskan kebijakan baru. Persaudaraan bukan diucapkan lewat pidato, tetapi terlihat dalam tindakan harian.
Mempersiapkan ASN untuk Indonesia 2045
Visi Indonesia Emas 2045 haruslah dibarengi dengan persiapan mental dan teknis ASN: Pertama; Digitalisasi inklusif: Setiap pojok desa punya sinyal. Warung kopi punya server. Dan ASN desa mendapat pelatihan lunak terhadap teknologi.
Kedua; Integritas yang berdampingan dengan kompetensi: Jangan sampai pintar bekerja, tapi gemar memotong jalur atau mengambil sesajen di koridor. Hebat teknis harus diiringi karakter.
Ketiga; Kebersamaan lintas budaya dan agama: ASN adalah “dokumen hidup” keberagaman. Harus bisa merayakan hening bersama di masjid, gereja, pura, vihara—ketika ada hari besar agama. Hadir bukan sebagai tamu, tetapi sebagai bagian dari.
Upacara Bukan Ritual Kosong
Upacara KORPRI bukan sekadar berkumpul rapih dan hormat lagu Indonesia Raya. Itu adalah saat memutuskan bahwa kita bersama. Saat memanggil kuri kita: “Apakah Anda bersedia merawat integritas birokrasi sampai selesai masa tugas?” Upacara adalah saat mencipta getaran moral.
Api Pengabdian Yang Tidak Padam
KORPRI dan ASN adalah wadah dan jiwa. Makan pagi bersama, nonton upacara, itu wajar. Tapi yang lebih penting adalah membakar api pengabdian dalam hati. Ada tugas: mengabdi pada negara, melayani rakyat, menjaga keadilan, dan merawat persaudaraan.
Tidak ada ASN yang “besar” sendirian. Yang besar adalah saat semua ASN, dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas hingga Rote, bersatu hati membangun negeri dalam keberagaman yang terjaga.
Jika ada yang bertanya: “Untuk apa ASN?” Maka jawab kita: “Demi anak cucu kita—yang akan melihat ke belakang dan berkata, ‘Mereka dulu merajut persatuan di waktu bangsa bertumbuh.”
Dan apabila kelak kita semua telah tiada, semoga para penerus membaca jejak ini dan berkata: “Mereka merawat Indonesia dengan cinta, bukan retorika. Mereka benar-benar menjadi pemersatu.” Amin.**
00.00 WIB | Pesantren Nurul Huda – Palembang, Jumat, 30 November 2024