
Sebelum membahas lebih jauh terhadap kitab puisi Kekibang karya Yudistio Ismanto, tak salah jika saya ungkap sekilas perkembangan sastra Indonesia dari zaman ke zaman. Hal ini menjadi penting, karena setiap bait puisi, deretan cerita pendek, novel dan naskah drama yang merupakan karya sastra, tidak lepas dari pengaruh situasi sosial, politik dan budaya di masyarakat yang berkembang saat karya itu lahir.
Dalam sejumlah literatur disebutkan, perjalanan sastra Indonesia dapat dikelompokkan menjadi beberapa masa, yaitu Periode Balai Pustaka (1917), Pujangga Baru (1933), Angkatan 1945, Angkatan’50, Angkatan ’66. Angkatan ini disebut sebagai generasi baru yang berani melakukan Perlawanan terhadap sistem yang mereka anggap telah menyeleweng dari cita-cita bangsa. Beberapa tokohnya seperti, Ajip Rosidi, Rendra, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, A A.Navis, dan Idris.
nuansa kritis sastra
Kemudian Angkatan ’80. Di era ini nuansa kritis sastra hampir dikatakan nyaris tidak terdengar. Meskipun secara diam-diam, sejumlah tokoh sastra yang kritis terus menulis, meskipun tidak muncul ke permukaan.
Sebab represi kekuasaan Orde Baru (Soeharto) di era ini demikian kuat, sehingga sejumlah pelaku sastra memilih “jalur lain” yang arah penulisannya lebih nge-pop, ketimbang pada kritik sosial.
Selanjutnya Angkatan Reformasi. Di era ini, diramaikan juga oleh sejumlah sastrawan kawakan, seperti; Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer.
Sajak-sajak para sastrawan di era ini lebih mengangakt tema sosial-politik, seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru. Warna sastra di era ini, sangat dipengaruhi oleh pergeseran kekuasaan politik dari Soeharto ke BJ Habibie. Kemudian KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri.
sastrawan angakatan 2000
Terakhir Angkatan 2000-an. Korrie Layun Rampan salah satu sastrawan Indonesia, pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya sastrawan angakatan 2000. Ada deretan sastrawan yang dimasukkan dalam bukunya. Baik penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukan Korrie ke dalam angkatan 2000.
Termasuk diantaranya para pelaku sastra yang sudah menulis sejak tahun 80-an. Seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir tahun 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rose Herliany.
Tetapi didalamnya tidak masuk nama Habiburrahaman Ek Sirazy (Penulis Novel Ayat-Ayat Cinta) dan juga Andrea Hirata (Novel Laskar Pelangi), terlepas Andrea juga tidak mau disebut sebagai sastrawan. Di kalangan sastrawan keduanya “dianggap” penulis satra yang dapat hoki (keuntungan mendadak).
Tentang Sastra Daerah
Ketika bicara sastra daerah, yang terbersit dalam benak kita adalah sastra yang berbahasa daerah, atau karya sastra yang menceritakan tentang daerah tertentu, meskipun ditulis menggunakan bahasa Indonesia modern. Definisi kedua ini dibantah oleh salah satu pelaku sastra di Palembang, A Rapani Igama (Dikusi Sastra Dewan Kesenian Sumsel-DKSS ; 2010).
Menurutnya sekalipun menceritakan suatu daerah tetapi jika masih ditulis dengan bahasa Indonesia maka karya itu tetap saja masuk dalam sastra nasional. “Disebut sastra daerah kalau ditulis dengan bahasa daerah,” tegasnya.
Sementara Erwan Surya Negara, pelaku kebudayaan di Sumsel dalam diskusi itu juga mendesak kepada sejumlah seniman di Sumsel agar menerbitkan buku sastra daerah dengan bahasa daerah.
Menurutnya, dengan terbitnya sejumlah karya sastra berbahasa daerah akan memperlihatkan kekayaan budaya Sumsel di mata publik. “Kenapa kita kalah dengan Sunda yang dengan bangga menulis cerita sastra dengan bahasa Sunda, Jawa juga begitu. Kenapa kita malu? Mestinya hal ini harus dimulai, supaya sastra Sumsel bisa bersejajar dengan daerah lainnya!” tegasnya ketika itu.
Penyair Gunung
Kita bersyukur di Empat Lawang telah lahir sastrawan yang sering disebut Penyair Gunung Syamsu Indra Usman. Dari pojok Desa di Ulu Musi, seorang Indra mampu menerbitkan sejumlah buku sastra yang berbahasa daerah, seperti Kampuh Keluang, Behuk Atus dan lainnya.
Di Palembang ada Iqbal J Permana dengan bukunya Seluang Poetica, yang kini sedang diterjemahkan dalam bahasa Swedia oleh Stefan Danerek, kritikus dan doktor sastra Indonesia modern asal Swedia. Dan di Kabupaten Lahat sendiri, telah lahir seorang Yudistio Ismanto dan Jajang R Kawentar, juga akan menyusul pelaku sastra lainnya. Semoga!
tumbuh sastra di daerah
Terlepas dari itu, diakui atau tidak, sastra daerah telah banyak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra nasional. Bahkan saya berani mengatakan, sastra nasional tidak akan lahir tanpa dimulai dengan menjamur dan tumbuhkembangnya sastra di daerah.
Faktanya, cerita-cerita rakyat yang pada awalnya bermula dari sastra tutur (lisan), yang didongengkan menjelang tidur, dalam perkembangannya kemudian menjadi teks yang ikut mewarnai sastra nasional di era kekinian.
Di Sumsel, sastra daerah lebih sering dikenal dengan sastra lisan. Hal ini dikarenakan sastra daerah merupakan jenis sastra yang kebanyakan disebarkan dari mulut ke mulut. Sejalan dengan apa yang dikatakan Endraswara, sastra lisan adalah karya yang disebarkan dari mulut kemulut secara turun temurun (2008: 151).
Di Sumsel kita kenal dengan sejumlah cerita rakyat dan legenda. Sebut saja misalnya; Si Pahit Lidah, Putri Pinang Masak, Bujang Jelihim, Dayang Rindu, Bujang Ranggonang, Batu Betangkup, Parang Betuah dan lain sebagainya.
Kenapa Ada Sastra?
Sadar atau tidak, sastra lahir dari masyarakat masa lampau atau mendahului munculnya sastra Indonesia modern. Sastra daerah juga termasuk dalam salah satu aspek budaya Indonesia yang perlu digali untuk memperkaya budaya nasional.
Selain itu, sastra daerah juga sangat lekat pada jiwa, rohani, kepercayaan dan adat istiadat masyarakat suatu bangsa dan yang mereka pakai untuk menyampaikan nillai-nilai luhur bagi generasi muda.
Sastra daerah mempunyai kedudukan yang strategis dan kerangka pembangunan sumber daya manusia, yaitu untuk memperkuat kepribadiaan ke-indonesiaan yang berdasar pada kebhinekaan tunggal ika.
Dilema Sastra Daerah
Menjadi pelaku sastra daerah dengan bersikap “menjadi” sastrawan dan menulis berbahasa daerah, bukan pilihan mudah. Untuk mengambil sikap tegas dengan tetap menulis dan menerbitkan buku sastra daerah perlu pengorbanan berat. Termasuk di dalamnya, tidak jarang “membelakangkan” dapur di rumah.
Mimpi mendapatkan material, harus disimpan dalam-dalam, kecuali di akhir tahun, ada program pengadaan buku sastra daerah di Dinas Pendidikan Nasional atau di perpustakaan wilayah dan daerah. Lain itu, jangan terlalu banyak berharap kalau putaran ongkos cetak akan kembali segera.
Tetapi, bagi pelaku sastra, sepenggal pengalaman saya, hampir muatan ingin dapat materi apalagi untuk kaya, jauh di benak. Mesti tidak menolak jika Tuhan tiba-tiba menyuruh sastrawan daerah untuk segera menjadi kaya. Satu hal ini, saya juga masih “menunggu kepantasan” dari langit. Tidak tahu kapan datangnya, belum juga jelas.
kepuasan pelaku sastra
Tetapi kepuasan seorang pelaku sastra yang paling utama adalah ketika karyanya dibaca dan diapresiasi. Soal kembali ongkos cetak atau tidak, itu bagian proses untuk penggodokan diri agar menjadi orang yang sabar dan kebih berkualitas di mata Tuhan. Termasuk Yudistio juga harus sabar untuk satu hal ini. Sebab kata Tuhan; orang yang sabar disayang Tuhan.
Menyatakan diri sebagai sastrawan daerah sebagaimana Yudistio dan Syamsu Indra Usman, atau Iqbal J Permana (meski menjadi salah satu karyawan swasta), membutuhkan energi luar dan dalam.
Persaingan karya sastra modern yang demikian ketat, dihunjam lagi dengan dunia maya (internet) yang siapa saja bisa menulis karya sastra dengan ragam aliran, juga manjadi bagian tantangan atau juga peluang bagi sastrawan daerah.
Tetapi nasib sastra daerah tidak akan setragis yang saya katakan diatas, jika para pemegang kebijakan juga tidak ikut peduli memperhatikan sastra daerah. Tentu ini akan terjadi jika para pelaku sastra daerah sudah lebih dulu menjaga ke-istiqomah-an dirinya menulis dan terus menulis.
Maksud saya, jangan berharap batu gunung akan runtuh ke bawah, jika kita tidak mulai menaiki dan meruntuhkannya dari atas. Disinilah Yudistio sedang diuji untuk tetap menjaga konsistensinya menulis sastra daerah.
Orang-orangan = mobil-mobilan.
Lahirnya buku Kekibang menurut saya ada sejumlah catatan yang saya pikir penting untuk menjadi bahan renungan semua pihak.
Sebab, dalam setiap karya sastra, baik daerah maupun nasional tetap saja memiliki pesan moral dan tawaran nilai-nilai ideal yang saat ini sudah mulai tergerus modernitas dan pragmatisme.
Manusia sudah demikian egois, sehingga lebih memilih menjadi mahluk individualis materialis, yang hanya mau hidup enak tanpa peduli terhadap alam sekitar.
Pilihan judul buku Kekibang, yang berarti orang-orangan di sawah, menurut saya sangat konteks dengan realitas sosial dan politik di negeri ini. Meskipun, saya yakin seorang Yudistio akan tersentak ketika saya mengatakan, kalau bukunya mewakili orang-orangan yang saat ini sedang menggejala di “sawah” baik sawah struktural negara atau keluarga, termasuk sejumlah instansi swasta dan pemerintah, termasuk “sawah” tempat mereka mengais sesuap nasi.
Statusnya hanya mainan
Kita sering menyebut mainan anak-anak dengan mobil-mobilan, robot-robotan, masak-masakan. Sama persis ketika Yudis menyebut orang-orangan di sawah (Kekibang), karena disebut orang-orangan, maka jelas bukan orang sesungguhnya. Statusnya hanya mainan, seperti mobil-mobilan, dan bukan mobil sesungguhnya.
Kekibang juga orang-orangan, berarti bukan orang sesungguhnya, tetapi sebuah boneka yang diserupakan orang kemudian ditanam berdiri di tengah sawah.
Kalau kita tarik dalam konstelasi potret sosial politik Indonesia, demikian banyak saat ini sejumlah orang yang menjelma sebegai “orang-orangan” di sawah, yang fungsinya hanya untuk menakut-nakuti di kala siang menjelang, untuk menghalau (menakut-nakuti) bukan membuat tyakut sesungguhnya terhadap hama (burung pipit dan kaput di malam hari). Atau menjadi “orang-orangan” yang dikendalikan oleh sistem politik.
petani pemilik sawah
Kalau dibuat analogi, petani pemilik sawah atau kebun sejak awal, dengan sistem ketatanegaraan sekarang, para petani sudah percaya kepada Kekibang untuk menjaga tetapi “seolah-solah” melakukan penjagaan hak hidupnya petani, hak kesejahteraannya, hak pendidikannya, hak penguasaan atas lahan yang sudah dimilikinya kepada sistem dan aparat negara, dari tingkat paling atas sampai di level terbawah.
Dengan harapan, para petani akan hidup tenang bersama anak dan isteri tanpa ada gangguan dari mare (hama burung pipit dan kaput).
Seperti disebut Yudistio dalam Kekibang ; Bemibang mibang kekibang tengah ume/Ngahapi angin nek ngusir mare/Mare banyak mare beringas/….But tebubut betandang rabanan kaput/Kaput dek takut ngan kekibang bebarut ceput/Kaput dide agi besimput//
Yang diserahi oleh petani untuk menjaga adalah presiden, gubernur, bupati, pangdam, kapolda, dan jajarannya, kapolres dan jajarannya, camat, lurah, kepala desa atau Ketua RT di kawasan kota.
Jangan Ambil Dusunku
Tetapi dari awal para petani sudah salah langkah. Sebab ternyata yang dijadikan ”polisi penjaga” sawah hanya ”orang-orangan” bukan orang sesungguhnya, yang kapan pun bisa menjelma menjadi siapa saja. Harapannya, jangan sampai hasil penan petani menjadi padi-padian, atau kopi-kopian.
Namanya juga orang-orangan, suatu kali yang Kekibang bisa menjelma menjadi hama kebun para petani, dengan cara kompromi politik dengan burung pipit dan kaput (babi) untuk melakukan konspirasi yang berakibat pada penyerobotan lahan petani untuk para kaput, tikus dan singa si penguasa hutan.
Siapa yang rugi? sudah pasti petani. Sebab petani salah memberikan mandat kepercayaan, bukan pada orang sesungguhnya tetapi ”orang-orangan” sama seperti boneka, mau diapakan juga tetap saja boneka.
Bisa boneka dari nafsu kekuasannya, boneka dari negeri asing, boneka dari kerakusannya, boneka dari ketiadaan kemanusiaan dalam dirinya, dan sesekali akan membonekakan Tuhan. Naudzubillah!
Karena yang menjaga hanya ”orang-orang-an” di sawah, jadi harapan petani untuk duduk dan tidur tenang hanya bisa disampaikan kepada angin ; (Ngahapi angin nek ngusir mare/Mare banyak mare beringas) ditengah beringasnya burung pipit (maling kecil tapi ribuan : Cit bedecit suare si burung pipit/ Burung pipit singgah beghimpit-ghimpit) dan babi (maling berkelas/sistemik) yang tidak takut dengan Kekibang.
Karena, ternyata babi dan burung pipit sangat paham, ternyata yang menjaga sawah hanya ”mainan orang-orangan” makanya yang dia tidak takut. Karena boneka hanya akan ikut arus angin bertiup; (Kaput dek takut ngan kekibang bebarut ceput/Kaput dide agi besimput).
kegelisahan Yudistio
Dalam puisi ini, saya menangkap kegelisahan seorang Yudistio ketika batinya manatap realitas negeri, yang iklim kepeduliannya antara satu sama lainnya kian erosi, tergerus oleh tsunami kepentingan indvidu.
Kesadaran di negeri ini bukan lagi dibangun dari niat watawa shaobil haq watashobi shobr (saling tegur sapa dalam kebenaran dan kesabaran) yang membuahkan kesadaran solidaritas, melainkan didasari oleh kesadaran “egoisme perut” yang tak ada habisnya hingga di pintu kubur.
Dan negeri ini, sebentar lagi hancur, bila tidak segera diselamatkan. Betapa tidak jika ternyata “kampungnya” Yudistio yang sebelumnya hijau dengan pohon kopi, sekarang disulap menjadi lahan batu bara? Ditambah lagi escavator sudah masuk di aliran Sungai Lematang. Lubuk sudah menjadi kubangan limbah kebudayaan.
Dalam bait-bait puisinya Yudis seolah sedang berkata; Jangan Ambil Dusunku. Simak dalam bait puisi : Lematang mengalir bimbang/ Badas bebantas pulau tenggelam/Tangan panjang escavator menaghi-naghi anjam/Kemane kah mancing ame lubuk lah leguk tekeghuk/Dimane kah ngibas jale ame gi uleh tunggulan bute (bait akhir puisi Lematang Mengalir Bimbang).
Dalam Kucing Ayek, Yudis juga menggambarkan kegelisahnnya dengan mewakilkan kepada Kucing Air ; Kucing ayek raje beselam raje beghendam/Dek kah dege mane kah lege/Ame palak’e dibuat bene/Idup diancam leh manusie Utan ngan Lematang dibancai jeme //
Tercerabut nilai-nilai kearifan
Masih banyak puisi lain dalam buku ini yang senapas dengan Lematang mengalir Bimbang dan Kucing Ayek. Tapi bait puisi diatas mewakili dari kegelisahan hampir sebagian masyarakat Indonesia, terutama terhadap realitas Kabupaten Lahat, yang kini nyaris kehilangan identitas.
Tercerabut nilai-nilai kearifannya, sebagai akibat dari masuknya industri besar tambang batubara. Ranah penghijauan yang dulu dinikmati setiap pagi dengan angin semilir, kini berubah menjadi debu batubara.
Warga kini memillih menjadi tamu di rumah sendiri. Inilah yang dulu pernah dikhawatirkan Bung Karno, jangan sampai kita menjadi budak di tanah sendiri. Dan kekhawatiran Sang Proklamator ini menjadi kenyataan.
Dari sekian banyak kegelisahan, akhirnya Yudis memang harus kembali pada pesan kearifan lokal, yang kini sudah hampir punah. Etika dengan orang tua dan nilai juang yang harus tetap dipacu meski dihimpit oleh realitas yang pedih, juga tertulis jelas dalam puisi-puisi yang lain.
Misalnya dalam puisi Bujang Bedengkang, ada satu tanggungjawab moral seorang anak bangsa yang tetap harus taat pada orang tua, sehingga tanah leluhur akan tetap terjaga demi mewujudkan bangsa yang lebih mandiri dan bermartabat, tanpa harus terus menerus ”dijajah” oleh ideologi kapitalisme global, yang sudah masuk ke dusun-sudun. Semoga, Yudistio bukan hanya sebatas menulis dalam teks, tetapi Yudis harus menjadi puisi itu sendiri.[*]
Palembang, 18 Oktober 2012
*Makalah ini disampaikan pada Acara Bedah Kitab Puisi”Kekibang” Karya Yudistio Ismanto, di Lahat 19 Oktober 2012.
**Jurnalis dan Pelaku Sastra Indonesia tinggal di Palembang