Terima Kasih Ayah, Kau Telah Mengirimku ke Pesantren

Sebuah pesan moral bagi wali santri yang akan memasukkan anaknya ke Pondok Pesantren

 

Penulis : Imron Supriyadi

Entah berapa lama, Amran sudah meninggalkan grup Whatsapp (WA) keluarganya. Bukan karena Amran tidak suka dengan sanak saudaranya di Jawa Tengah, tapi Amran menjaga diri untuk tidak banyak komentar di grup itu. Amran takut, komentarnya hanya akan membangkitkan dendam lama. Itu pasti akan sangat menyakitkan.  Bukan hanya bagi keluarga di Jawa, tetapi juga bagi Amran.

Sebab, Amran masih ingat benar, betapa hujatan dan makian sanak saudaranya terhadap Salamun, ayah Amran, ketika Salamun akan memasukkan Amran ke pondok pesantren di tahun 1985 di Solo.

Belum lagi keluarga dari keluarga Alifa, ibu kandung Amran. Betapa sangat menyakitkan kalimat-kalimat yang terlontar ketika itu. Sekiranya itu terjadi hari ini, mungkin Amran yang akan membabat habis kalimat mereka.

Ada seribu belati yang menghunjam di batin Amran kala itu. Tapi, tak kuasa Amran berkata. Apalah arti kata-kata dari seorang anak tamatn sekolah dasar yang masih dibawah usia dewasa ketika itu.

Ilustrasi : Chatgbt
Ilustrasi : Chatgbt

 

“Kalau masuk pondok, nanti anakmu mau kerja apa? Ngajar Ngaji?!. Jadi kiai?! sekarang itu dunia kerja! Agama itu ndak usah di jejal-jejalkan, nanti akan tahu sendiri,” ujar Pak De Ari, sehari sebelum kami berpamitan hendak berangkat ke Sumatera satu hari sebelumnya.

“Keluarga kita ini keluarga kiai. Jadi ndak usah dipaksa-paksa anakmu masuk pesantren. Modal dari mbah kiai sudah cukup untuk bisa ngaji. Sekarang anakmu harus disekolahkan yang bisa cari kerja. Ini kok malah mondok,” Pak De Jalal, kakak kandung Salamun, yang sejak awal tidak setuju dengan niat Salamun mengirim Amran ke pondok pesantren.

“Mas, Amran ini anakku. Soal mondok atau tidak, itu urusanku. Aku datang ke sini cuma mau pamitan. Lain tidak. Besok kami sekeluarga mau ke Sumatera, anakku tetap akan kukirim ke Solo untuk mondok,” Salamun kemudian beranjak pergi, sembari menarik tangan Amran dan mengajak Alifa keluar dari rumah Pak De Jalal.

“Sebentar!” suara Pak De Jalal sedetik menahan kami beranjak pergi. Tapi, kami sudah berada di teras rumah Pak De Jalal. Sekali lagi, Pak De Jalal menahan langkah kami. Salamun masih menjaga tata krama dengan kakak kadungnya.

Dari wajahnya, Salamun menatap Pak De Jalal, seperti anjing dan kucing. Salamun melempar wajahnya ke arah lain ketika kemudian Pak De Jalal mendekati Amran. Salamun menghela napas panjang, melepas dadanya yang penuh kali itu.

“Am. Pak De masih punya hutang dengan kamu. Ingat nggak?!” ujar Pak De Jalal mengingatkan janjinya pada Amran sebelum tamat sekolah dasar.

Ilustrasi : Chatgbt

Tapi Amran hanya menggeleng kecil. Amran tak paham dengan hutang yang dikatakan Pak De Jalal ketika itu.

Sesekali Amran menoleh pada Salamun yang juga menatap Amran tanpa ekspresi. Amran seolah ingin segera ditarik Salamun untuk meninggalkan tempat itu.

Tapi tangan Pak De Jalal masih memegang erat. Alifa hanya ikut melihat Pak De Jalal yang bertekuk setengah jongkok di depan Amran.

“Dulu katanya, Amran ingin sekolah pakai sepeda motor? Kalau Amran di sini, Pak De janji, akan Pak De belikan sepeda motor. Amran nanti bisa sama-sama dengan Mbak Marika, anak Pak De. Gimana? Mau?” Pak De Jalal masih merayu.

Sekali lagi, Amran menoleh ke arah Salamun. Bergantian ke wajah Alifa yang masih berdiri. Amran seakan meminta persetujuan dari kedua orang tuanya. Baik Salamun dan Alifa, dalam lubuk hati terdalam, sore itu bermohon kepada Allah Swt, agar Amran tidak salah menjawab.

“Terima kasih Pak De. Tapi Amran mau ikut bapak dan ibu,” ujar Amran pelan. Jawaban itu menjadi gunungan salju yang mencair dan mengaliri relung hati Salamun dan Alifa. Awan mendung sore itu ikut tersenyum lega, beriring dengan rasa syukur Salamun dan Alifa.

Tapi, kalimat Amran telah kali itu, telah memangkas niat Pak De Jalal yang ingin menjodohkan Marika, anak angkatnya dengan Amran. Tapi, rencana itu hanya diketahui Salamun dan Pak De Jalal. Tak ada anggota keluarga lain yang  tahu tentang hal itu. Semua tersimpan rapat, sebagaimana data di kotak hitam dalam pesawat, yang tak sesiapa bisa membukanya.

Amran mendengar itu, setelah 15 tahun berlalu, ketika Salamun dan keluarga  sudah hijrah ke Sumatera. Tidak jelas motifnya apa, ketika Salamun pada suatu malam bercerita tentang Marika.

“Pak De mu itu, dulu ingin kamu jadi menantunya,” cerita Salamun pada Amran usai makan malam. Amran tak banyak komentar soal itu. Sebagai anak, Amran hanya menyimak kalimat yang keluar dari mulut Salamun.

“Itu masa lalu, sudahlah , Yah, dak usah diingat lagi, bosen aku dengarnya,” ujar Alifa sembari memberesi piring kotor bekas makan malam.

“Sekadar cerita keluarga. Ini juga untuk pelajaran untuk Amran,” jawab Salamun pelan.

Amran tidak ingin terjebak dalam perbincangan kosong. Apalagi membicarakan keburukan keluarga. Amran kemudian mengarahkan perbincangan itu ke hal yang lebih cerdas. Agar tidak keluar dari tema, Amran, kali itu mengajak Salamun bercengkrama tentang nikah dalam pandangan syariat Islam.

Amran memancing diskusi malam itu. Bagi Amran, debat soal syariat Islam bukan kekurangajaran antara anak dan ayah. Tapi ini bagian dari kajian ilmu. Bagi Amran, ini lebih baik dari pada harus membahas polah tingkah Pak De Jalal yang selalu berseberangan dengan ayahnya. Tak menjadi soal berbeda pandangan antara ayah dan anak, pikir Amran malam itu.

Sebab, perdebatan tentang syariat ini juga pernah terjadi di keluarga Sahabat Nabi Muhamamd SAW, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq. Amran masih ingat dalam sejarah, ketika itu Khalifah Abu Bakar hendak memberikan warisan kepada Aisyah.

Namun, Khalifah Abu Bakar berpegang pada prinsip, para nabi tidak meninggalkan warisan dalam bentuk harta, sebagaimana dalam hadits Nabi Muhamamd SAW. Awalnya, Aisyah memiliki pandangan berbeda. Tetapi akhirnya, Aisyah menerima keputusan ayahnya berdasarkan dalil yang kuat.

Berangkat dari kisah itu, Amran mengeluarkan pendapatnya tentang rencana pernikahan Amran dan Marika, anak angkat Pak De Jalal, yang sempat dimunculkan Salamun malam itu. Tapi tidak untuk ghibah, apalagi memfitnah. Itu jauh dari pilkiran Amran.

“Yah, setahu Amran, kalau sesuai syariat Islam, kalau ayah angkat seperti Pak De Jalal itu, tidak punya hak jadi wali dalam pernikahan Marika. Sebab, Marika dan Pak De kan tidak ada hubungan nasab. Dalam Islam, anak angkat tetap memiliki nasab kepada orang tua kandungnya,” ujar Amran.

Salamun tersenyum. Dalam hatinya ada kebanggaan yang tersembunyi, ketika Amran sudah mulai menguasai hukum syariat dalam hal pernikahan.

Hampir saja lisan Salamun hendak memuji Amran. Tapi kalimat itu ditahan. Sebab Salamun sangat tahu, senjata paling ampuh untuk membunuh orang  itu adalah pujian.

Apalagi, Salamun selalu menyampaikan pesan pada Amran dan  kepada anak murid ngaji di desanya. Kata Salamun, Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata : Orang yang terlalu banyak dipuji, akan mudah terjatuh dalam kesombongan dan kehancuran.

“Memangnya, kamu tahu dalilnya? Jangan asal mendebat, kalau tidak tahu dasar?!” Salamun mulai memancing argumentasi Amran.

“Ya, jelas, Yah. Itu ada di Suroh Al Ahzab ayat lima, bunyinya : panggillah mereka (anak angkat) dengan (menggunakan) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah,” tegas Amran.

“Nah, dalam ayat itu jelas, Yah. Penjelasan ini menunjukkan, bahwa dalam hukum Islam, status nasab anak angkat, tidak bisa berubah menjadi anak kandung dari orang tua angkatnya. Oleh karena itu, ayah angkat tidak memiliki hak sebagai wali dalam pernikahan, termasuk Pak De Jalal untuk Mbak Marika,” tambah Amran, yang membuat Salamun manggut-manggut, kagum.

“Terus, menurut pemahamanmu, siapa yang berhak jadi wali untuk Marika?” Salamun mengejar jawaban, sekaligus menguji intelektual Amran yang 8 tahun terdidik di pesantren.

“Yang pasti, Yah, para ulama sepakat, wali nikah harus berasal dari nasab atau hakim, bukan ayah angkat,” tegas Amran.

“Kalau yang dari yang empat madzhab, gimana?” Salamun kembali menyoal Amran. Kali itu, Amran seperti dalam sidang munaqosah skripsi di depan penguji, untuk gelar sarjana agama.

Ilustrasi : Chatgbt

“Ada empat imam atau madzahb di Indonesia yang jadi dasar. Pertama, Mazhab Syafi’i, itu ertuang dalam Imam Nawawi – Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, yang menyebutkan : Tidak sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan wali nasabnya, dan jika tidak ada, maka wali hakim. Kedua Mazhab Hanafi dalam Ibnu Abidin – Radd Al-Muhtar, menyebutkan : Wali nikah berasal dari jalur nasab atau sultan (wali hakim), bukan orang lain yang tidak memiliki hubungan darah. Kemudian, Mazhab Maliki atau Imam Malik dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra, menyatakan ; Jika seorang wanita tidak memiliki wali nasab, maka hakim yang menjadi walinya. Nah, yang keempat,  Mazhab Hanbali dalam Ibnu Qudamah – Al-Mughni, yang menyatakan : Tidak sah pernikahan seorang wanita kecuali dengan wali nasab atau penguasa (hakim) jika tidak ada wali nasab,” kalimat Amran menggelontor seperti aliran air yang lama terbendung.

“Inti dan kesimpulanya, gimana?” Salamun tak sabar, sebab sebentar lagi acara wayang kulit TVRI Jakarta akan segera dimulai.

“Masih panjang, Yah, kalau dijelaskan. Kok minta kesimpulan,” ujar Amran bersungut. Amran melirik ke arah layar televisi, ada presenter televisi yang membuka acara wayang kulit malam itu. Amran baru sadar, Salamun sudah siap menonton wayang kulit kehobiannya.

“Nah, kesimpulannya, Yah. Bagaimanapun, ayah angkat seperti Pak De Jalal, tidak berhak menjadi wali nikah bagi anak angkatnya, seperti Mbak Marika. Kedua; wali nikah yang sah harus dari garis nasab atau ayah kandung atau kerabat laki-laki dari pihak ayah kandung,” tambah Amran.

“Kalau tidak ditemukan wali nasabnya, gimana?” tukas Salamun kian mendesak jawaban singkat. Mata Salamun sudah ke arah layar televisi.  Amran mengentikan jawaban, ketika seorang prsenter televisi lebih menarik mata Salamun dari pada jawaban Amran.

“Pemirsa, lakon Wiranti Panggung, dengan dalang Ki Wahyu Carito, sebentar lagi akan anda saksikan. Kisah ini menceritakan…,” presenter televisi membuat Salamun fokus ke monitor televisi.

“Yah, sebentar nonton wayangnya. Sedikit lagi, Yah,” Amran merangkul ayahnya dari belakang.

“Iya..ya… simpulkan sekarang,” ujar Salamun menghibur Amran.

“Jadi, Yah, kalau tidak ada wali nasab, maka wali hakim yang menikahkannya. Caranya, mengajukan permohonan wali hakim ke KUA atau Pengadilan Agama. Ini sudah sesuai dengan kesepakatan ulama dalam mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali, Yah. Selesai. Silakan nonton wayang,” Amran hendak beranjak.

Seketika Iklan acara televisi muncul. Salamun terganggu dengan tayangan itu. Melihat Salamun beralih ke wajah Amran, seketika Amran duduk lagi. Amran melihat, masih ada hal tersimpan di balik jantung Salamun, yang hendak diceritakan malam itu.

“Waktu ayah mau kirim kamu ke pondok, banyak keluarga yang tidak setuju, termasuk Pak De mu itu. Coba kalau Pak De mu dengar penjelasan kamu malam ini, mungkin akan berpikir lain,” ujar Salamun hendak berkisah masa lalunnya. Amran tak ingin kembali mengorek luka lama yang hingga saat itu masih membiru.

“Nah, Yah, iklannya selesai. Wayang Kulitnya sudah siap mulai. Amran buat kopi dulu ya,” Amran mengalihkan perhatian, supaya malam itu dialog tidak berbau ghibah.

Salamun tak memberi reaksi. Salamun menggeser posisi duduk mengarah ke layar televisi yang sedang menyiarkan wayang kulit. “Alhamdulilah, ayah tidak melanjutkan obrolan tentang Pak De Jalal,” batin Amran girang.  Kakinnya kemudian melangkah ke dapur, untuk segelas kopi.

Setelah meletakkan segelas kopi, Amran kemudian sujud mencium tangan Salamun. Mata Salamun masih ke arah layar televisi. Hanya tangannya yang dijulurkan ke arah Amran untuk disalami. Tapi Salamun menggenggam tangan Amran, ketika Amran hendak beranjak ke kamar. Amran pun terhahan beberapa detik.

“Mau tidur?” tanya Salamun pelan, sembari menatap mata Amran. Tak jadi berdiri, Amran masih bersimpuh di hadapan Salamun.

Diciumnya kembali tangan Salamun. Amran perlahan berdiri setengah membungkuk dan memeluk Salamun dari arah depan. Tangannya melingkar di leher Salamun dengan kasih. Pipi keduanya bertemu.

“Amran masih punya pe-er hafalan Suroh Lukman, Yah. Belum mutqin, jadi nak diulang lagi, biar hafal nian,” ujar Amran yang kemudian melepas pelukan. Salamun memandang anak tunggalnya itu lega.

“Ayah jangan lupa, ayah belum shalat tarawih,” pesannya lirih di telinga Salamun.

Dua jam lebih, Amran dan Salamun tak ada di satu ruangan. Salamun asik dengan wayang kulitnya. Sementara, Amran sedang serius mengulang hafalan Al-quran, Suroh Lukman ayat 12 sampai 19, yang berisi tentang larangan berbuat syirik dan pentingnya berbakti kepada orang tua.

“Assalamualaikum Warohmatullohiwabarokatuh!. Bapak-bapak, ibu-ibu, waktu sudah menunjukkan pukul tiga. Saatnya Sahuuuuur…. Sahuuuuur… Sahuur…. Sekali lagi, waktu sudah meninunjukkan pukul tiga, saat sahuur..sahuur…. sahuuuur… matur sembah nuwun. Wassalamualaikum Warohmatullahiwabarokatuh,” tiba-tiba terdengar dari speaker masjid suara Kang Seno, marbot Masjid Al-Ikhlas. Dengan khas langgam jawa-nya  dari tahun ke tahun setiap Bulan Suci Ramadhan, Kang Seno selalu rutin membangunkan warga untuk menunaikan sahur.

Seketika Amran menghentikan muroja’ah Suroh Lukman. Amran mengambil handphone yang sedari malam tadi, hanya tergeletak di kamarnya. Sesaat, Amran melihat layar handphone-nya. Grup WA keluarga di Jawa masih terbuka. Ada beberapa WA yang sempat terbaca.

“Alhamdulillah, dik. Ahmad Sauqi, cucunya Mbak Jalal, anak Marika sudah mondok, Insya Allah jadi dai kondang seperti Kiai Abdul Somad,” tulis Mas Yono, kakak sepupu Amran.

“Amiin, semoga barokah,” jawab yang lain.

“Anak saya rencana akan saya pondokkan juga mas, supaya jadi anak yang sholeh,” tulis Parman, sepupu Amran lainnya.

“Syukurlah, kalau gitu. Anak saya yang mbareb (sulung), sudah tamat mondok. Alhamdulillah sekarang sudah hafal 30 juz. Sedang nunggu ujian akhir, utk dpt ijazah, mhn doanya dr semua ya, Amiin,” tulis Mbak Jamiah, adik sepupu Salamun.

Amran terus scrol-scrol WA di Grup keluarga di jawa. Napasnya tertahan. Ada ungkapan yang terselinap di dadanya. Jemarinya mulai membalas WA itu. Tangannya sedikit bergetar. Matanya tajam menatap layar handphone, sembari menulis ungkapan batinnya yang seketika bergejolak malam itu. Agak panjang Amran mengimentari WA saudara-saudaranya di Jawa Tengah.

“Alhamdulillah, Mas, Mbak, dan Pak De, Pak Lik. Sy yg jauh di Sumatera ikut senang membacanya. Satu hal yg lebih sy syukuri, nasib adik-adik saya, keponakan sy yg skrg mondok, tak seperti sy wkt sy akan dipondokkan oleh ayah sy. Banyak yg tdk setuju. Ayah sy dihujat dan dimaki-maki. Smpi hr ini, kalimat itu msih teringat. Sangat menyakitkan. Syukurlah, Allah sdh menyadarkan keluarga, kl ternyata mondok itu penting dan bermanfaat. Pesan sy kpd adik2 dan keponakan sy di jawa atau dimanapun, kl ada suara yang melarang kita masuk pondok pesantren, anggap sj itu suara syetan, abaikan sj. Salam dr sy semoga sukses sll. Hidup santri!” tulis Amran kesal.

“Am..!..Am..!” sebuah panggilan dari luar kamar terdengar. Belum sempat keluar, Alifa sudah mendorong pintu kamar Amran. Tampak Amran masih duduk memegang handphone. Spontan Amran berdiri dan menyalami ibunya yang sudah di depan pintu kamarnya. Sesaat Amran memeluk Alifa.

“Amran lupa mbangunkan Ibu. Eeeh, ternyata Ibu duluan bangun. Maaf ya, Bu, Amran lalai,” ujar Amran. Alifa hanya senyum kecil.

“Ayo, sahur, Nak. Ayah sudah nunggu,” Alifa kemudian beranjak, diikuti Amran yang memeluk Alifa dari belakang. Meski sudah dewasa, hampir kuliah, tapi di hadapan Alifa, Amran seperti anak kecil. Mungkin ini kata orang, resiko anak tunggal, jauh bertahun pisah di pesantren, ketika pulang, selalu minta dimanja. Begitulah Amran. Manja di hadapan kedua orang tuanya. Tetapi ketika memimpin organsasi di pesantren, Amran tampak tegas dan sigap, Tak menyangka betapa sangat manja ketika di rumahnya.

“Ada salam dari keluarga di Jawa,” ujar Amran memecah kesunyian di tengah persiapan sahur. Salamun masih mengepulkan asap rokok dari mulutnya. Sementara Alifa, menyiapkan sajian sahur yang belum terhidang.

“Dari grup WA?” tanya Alifa, merespon Amran.

“Masih kau baca grup itu?!” tanya Salamun agak tidak senang.

“Iseng, Yah. Itung-itung silaturahmi dengan saudara, supaya panjang umur,” ujar Amran memangkas kekesalan hati Salamun yang pagi itu masih terkesiap di raut wajahnya.

“Ada kabar apa, nak?” tanya Alifa pelan. Alifa tidak ingin anaknya kecewa karena tidak direspon ayahnya. Alifa hanya melirik kecil ke Salamun agar tidak dicegah.

“Biasalah, Bu. Saling bangga-banggaan anaknya, cucunya yang sudah hafal quran, yang mau mondok-lah, yang  nunggu ijazah tahfidz-lah,” ujar Amran agak ketus. Amran  menyulut sebatang rokok, membuang secuil dendam yang masih tersemburat di ujung hatinya. Salamun hanya melirik kecil, sembari menyeruput kopi pahit tanpa gula. Salamun sangat mengetahui detak jantung Amran, kali itu Amran ada menyimpan kesal dengan WA yang dibacanya.

“Ya, baguslah, nak. Itu kemajuan, namanya. Kamu berkomentari?” tanya Alifa.

Teringat komentarnya di WA belum terkirim, Amran beranjak masuk kamar dan mengambil handphone, kemudian menunjukkan ke Alifa tentang balasan WA-nya.

“Bu, ini komentar Amran. Tapi belum Amran kirim. Coba ibu baca dulu,” Amran kemudian menyerahkan handphone ke ibunya. Sejenak Alifa berhenti menyiapkan hidangan sahur.

Hanya beberapa detik Alifa selesai membaca. Wajahnya serius. Sesekali menatap Amran. Salamun hanya menoleh kecil pada Alifa, seakan ingin mengetahui isi kalimat di WA-nya Amran.

“Apa komentar Amran?!” tanya Salamun ingin tahu.

“Cara anak muda. Masih sangat emosional. Ndak usah kamu kirim, itu kesombongan, namanya!,” tegas Alifa melarang Amran.

“Biar kasih pelajaran, Bu. Supaya ingat, kalau dulu merekalah yang tidak setuju pada ayah waktu Amran dikirim ke pesantren. Sekarang mereka membangga-mbanggakan. Mereka tidak ingat kalau masa itu mereka mencibir ayah. Sekarang berbalik, Bu!” Amran masih kesal.

“Terus kamu dapatnya apa?!” tanya Salamun menohok Amran. Sesaat, Amran terdiam. Kali itu, Amran benar-benar kena skak-ster dari Salamun.

Alifa tak berkomentar. Tapi wajahnya setuju dengan kalimat suaminya. Alifa kemudian menyiapkan secentong nasi untuk Salamun. Alifa sesekali memandang Amran. Mata Alifa memberi kode khusus.

Amran sangat paham dengan kode kernyit mata kanan ibunya. Seketika, Amran beranjak dari duduk dan memeluk Salamun dari belakang. “Terima kasih, Yah. Ayah, sudah mengirim Amran ke pesantren, maafkan Amran kalau masih emosional,” ujarnya lirih.**

Pondok La Roiba – Ramadhan, 20 Maret  2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *