Pagi itu, kabut menggantung di atas perkampungan pinggiran Sungai Lematang. Bau tanah basah bercampur aroma kayu bakar dari tungku pembakaran batu bata.
Nano Soekarno, lelaki berkulit legam dan bertelapak kasar, menatap barisan bata merah yang baru keluar dari perapian. Tangannya gemetar bukan karena lelah, tapi karena gelisah.
Sudah tiga bulan harga batu bata anjlok. “Mas, ini bukan cuma soal bata, ini soal perut,” keluh istrinya, Siti.
Siti hanya diam, menatap tumpukan batu bata yang tak terbeli. Di matanya, seolah setiap bata itu menyimpan doa—doa yang belum dijawab.
Nano sering bilang, “Kalau bata bisa bicara, mungkin mereka akan menangis. Karena dibakar berkali-kali demi rumah orang lain, tapi tak bisa jadi rumah buat dirinya sendiri.”
Namun di tengah getir itu, Nano bukan tipe orang yang menyerah. Suatu sore, di warung kopi dekat masjid, ia berkumpul dengan kawan-kawan seprofesinya.
“Kalau terus begini, kita habis,” ujar seorang perajin.
Nano mengangguk, lalu berkata pelan, “Kita harus punya wadah. Asosiasi. Biar kita bisa punya harga, punya suara, punya martabat.”
Semua terdiam. Tak ada yang percaya seorang pembuat bata bisa bicara seperti politisi. Tapi Nano tidak sedang berpolitik. Ia hanya bicara dari perut yang lapar dan iman yang masih hidup.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Tahun itu, 2027, berdirilah Asosiasi Perajin Batu Bata Swarna Dwipa. Nano jadi ketua. Ia bukan orang kaya, tapi paling jujur. Setiap keputusan, ia mulai dengan doa, dan diakhiri dengan istighfar.
Suatu hari, seorang wartawan datang mewawancarainya.
“Pak Nano, apa tujuan Bapak mendirikan asosiasi ini?”
Nano tersenyum.
“Supaya kami bisa makan tanpa merampas, dan bisa kaya tanpa lupa bersyukur.”
Kata-kata itu viral di media. Nama Nano mulai dikenal. Dari perajin kecil, ia jadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan ekonomi. Ia mulai bicara di forum-forum, diundang di acara televisi lokal, bahkan diminta memberi masukan untuk kebijakan daerah.
Lalu sesuatu yang tak disangka terjadi: rakyat mendorong Nano maju sebagai calon Walikota Swarna Dwipa.
Awalnya ia menolak.
“Saya ini cuma tukang bata, bukan tukang janji,” katanya.
Tapi rakyat terus memohon. Akhirnya ia maju. Dan menang.
Kota Baru: Dari Bata ke Berkah
Begitu dilantik, Nano tidak lupa asalnya. Ia berkata di pidato pertama: “Negeri ini akan kuat kalau dibangun dari bata-bata kejujuran.”
Program pertamanya bukan proyek mercusuar, tapi perut rakyat.
Ia keluarkan kebijakan: setiap kepala keluarga mendapat bantuan hidup Rp5 juta per bulan, sebagai modal dasar kehidupan bermartabat. Dana itu bukan sedekah, tapi hasil pengelolaan ekonomi berbasis koperasi masjid.
Ia bentuk lembaga bernama Koperasi Akbar Barokah, berpusat di setiap masjid. Di sinilah rakyat menyimpan uang, berbelanja, dan berdagang.
Setiap masjid juga menyediakan sarapan gratis setelah Subuh, lengkap dengan uang bensin bagi yang datang berjamaah.
Masjid menjadi pusat hidup, bukan hanya pusat ibadah. Orang-orang antre wudhu bukan karena takut dosa, tapi karena rindu sarapan berkah dan tawa jamaah.
Dan keajaiban pun terjadi:
Subuh di Swarna Dwipa seperti hari raya. Masjid penuh setiap hari, bukan cuma Jumat.
Koperasi Masjid dan 9 Naga
Tapi di balik keberkahan itu, ada yang resah. Sembilan pengusaha besar—dijuluki “9 Naga”—mulai kehilangan pelanggan. Mini market mereka sepi, karena warga lebih suka belanja di koperasi masjid.
Suatu malam, 9 Naga mendatangi rumah Nano.
“Pak Wali,” kata salah satunya, “kami ingin ikut program Koperasi Akbar Barokah.”
Nano menatap mereka lama, lalu berkata,
“Silakan. Tapi ada syarat: ikut aturan main. Tak boleh riba, tak boleh tipu-menipu. Hanya dagang yang jujur.”
Mereka mengangguk. Lima tahun kemudian, 9 Naga ikut makmur. Tapi memasuki tahun kedua, mulai tampak niat busuk. Mereka ingin menguasai sistem koperasi, menyusupkan jaringan lama: suap, pungli, monopoli.
Doa yang Membalas
Nano tahu. Tapi ia tidak marah. Ia hanya berkata kepada jamaah, “Baca Yasin, empat puluh kali putaran, selama 40 hari. Doakan agar kebenaran kembali berkuasa.”
Dan mereka pun melakukannya. Setiap malam, dari masjid ke masjid, gema surat Yasin menggulung kota seperti ombak cahaya.
Belum sampai empat puluh hari, bisnis 9 Naga mulai tumbang satu per satu. Gudang mereka terbakar tanpa sebab, saham jatuh, pegawai bubar.
Suatu malam, mereka datang lagi ke rumah Nano, lusuh dan gemetar.
“Pak Wali… kami mohon ampun… kembalikan kami ke jalan yang benar.”
Nano menatap mereka, lalu berkata pelan sambil memutar tasbih:
“Hal jazā’ul iḥsāni illal iḥsān.” (Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.)
Ia berdiri, menepuk bahu mereka.
“Bangun lagi, tapi kali ini dengan kejujuran. Karena Allah tak pernah menutup pintu bagi yang mau bertobat.”
Di akhir masa jabatannya, Kota Swarna Dwipa menjadi kota yang disebut banyak orang sebagai negeri baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Rakyat sejahtera. Tak ada lagi kelaparan, tak ada rumah tanpa penghuni, tak ada masjid yang kosong.
Dan setiap kali orang lewat di depan rumah Nano Soekarno, mereka berbisik pelan:
“Dialah wali yang tak dinobatkan, tapi menyalakan cahaya di tengah bata.”
Nano tak pernah merasa jadi wali. Ia hanya perajin batu bata yang mengerti satu hal: bahwa bata paling kokoh di dunia adalah kejujuran yang dibakar dengan kesabaran.**
Ponpes Laa Roiba-Muaraenim, 01 November 2025



																						










