Muaraenim | KabarSriwijaya.NET – Pagi di Pondok Pesantren Laa Roiba esok tampaknya akan berbeda. Bukan lantunan tilawah atau deru panah yang lebih dulu terdengar, melainkan bunyi “cesss!” dari wajan yang bertemu minyak panas.
Ya, lomba masak santri akan digelar mulai pukul 07.30 WIB — sebuah ajang seru di mana kepiawaian mengolah bumbu diuji, bukan hanya lidah yang dimanjakan, tapi juga hati yang diajak bersyukur.
Melului imbauan di Grup Keluarga Laa Roiba, Ustadzah Hidayatul Aliyah, menyampaikan agar para peserta — ustadz dan ustadzah — diminta datang lebih awal, terutama mereka yang juga akan berlaga di babak final panahan.
Dapur akan menjadi arena tanding kedua setelah lapangan, dan rupanya semangat kompetisi tetap menyala meski aroma bawang merah dan cabai mulai menari di udara.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Pondok hanya menyiapkan kompor dan gas. Sederhana, tapi justru di situlah letak seni memasak. Alat-alat selebihnya dibawa sendiri oleh peserta. “Kalau mau bawa kompor pribadi juga boleh,” begitu pesan panitia yang terdengar seperti ajakan lembut: memasaklah dengan caramu sendiri, asal tak melanggar prinsip dapur santri.
Bahan-bahan dasar telah disiapkan — seolah sebuah orkestra rempah menunggu konduktor masing-masing: bawang merah, bawang putih, bawang bombai, cabai merah, cabai setan (yang siap membuat siapa pun menitikkan air mata kebahagiaan), timun, tomat, garam halus, dan tentu, penyedap rasa alami: masako. Tapi tunggu dulu — ada satu aturan sakral: dilarang menggunakan bumbu instan.
Aturan ini bukan sekadar teknis lomba. Ia mengandung filosofi khas pesantren: bahwa kelezatan sejati lahir dari proses, bukan instan. Dari kesabaran menumbuk bumbu, bukan dari sachet yang tinggal tuang. “Memasak itu ibadah rasa,” kata seorang ustadz yang siap ikut dalam lomba dan menyiapkan ulekan, “dan setiap tetes keringat di dapur, jika diniatkan dengan benar, bisa jadi ladang pahala.”
Lomba masak ini bukan semata soal siapa yang paling sedap racikannya, tapi siapa yang paling ikhlas dalam menyajikan rasa. Di PP Laa Roiba, dapur menjadi madrasah; wajan menjadi kitab; dan aroma tumisan jadi dzikir yang melayang ke langit.
Besok pagi, bukan hanya nasi yang akan tanak, tapi juga persaudaraan — diaduk dengan tawa, disajikan dengan cinta.
Selamat berkarya, wahai para juru masak ustadz dan ustadzah. Karena di tangan antum semua, bahkan bawang pun bisa jadi pelajaran tentang sabar dan air mata yang manis.
TEKS : TIM BULETIN LAA ROIBA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI