MUARAENIM | KabarSriwijaya.NET – Siang itu, pukul 14.00 WIB di ruang Rapat Kantor Kementerian Agam Muaraenim, sekelompok orang duduk melingkar. Di atas meja, kotak snack siap mengawal Rapat Koordinasi menjelang HAri Santri Nasional (HSN) ke-11 di Kabupaten Muaraenim.
Di luar, meski panas terasa terik, namun pepohonan di halaman kantor menggoyang daun-daunnya perlahan, seperti turut berzikir menyambut Hari Santri yang kian dekat.
Siang itu, 8 Oktober 2025, menjadi hari di mana para pegiat pendidikan Islam, tokoh agama, aktifis organisasi di Kabupaten Muara Enim mematangkan niat dan langkah.
Di ruang itu, hadir berbagai wajah: para kepala seksi Kemenag, guru madrasah, pengurus pondok pesantren, hingga perwakilan dari Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Semuanya merespon serius penuh perhatian ketika H. Solihan, S.Ag., M.Pd.I, Kepala Seksi Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam (PAKIS), membuka rapat dengan kalimat basmalah yang sederhana namun tegas.
Di Balik Persiapan, Ada Doa yang Mengalir
Persiapan teknis memang menjadi inti rapat siang itu. Hadir pula H. Muhammad Amin, Lc dari seksi Penyelenggara Haji dan Umrah, H. Yanimansyah dari Zakat dan Wakaf, serta para perwakilan dari MIN, MTsN, dan MAN se-Muara Enim.
Dari berbagai penjuru pondok, nama-nama seperti Darussa’adah, Raudhotut Taufiq, Laa Roiba, hingga Miftahul Huda juga turut menjejak langkah.
Mereka membicarakan hal-hal yang tampak sederhana tapi sesungguhnya bernilai simbolik: lomba hadroh, bulutangkis antar-santri, jalan santai yang menyatukan guru dan murid dalam tawa dan peluh.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
- H. Jumali, Juri HSN ke-11 “Menggugat” APBD Pemkab Muara Enim
- Jalan Santai Hari Santri Nasional di Muara Enim
- Puncak Hari Santri Nasional ke-11 di Muara Enim Akan Dimeriahkan Tabligh Akbar
- Menanam Nada, Mengalahkan Kolonial Lagu Hadroh
Semua itu berpuncak pada Tabligh Akbar dan Upacara Hari Santri Nasional ke-11, 22 Oktober mendatang, di Lapangan Merdeka Muara Enim—ruang luas di mana ribuan santri nanti akan melantunkan doa bersama langit yang teduh.
“Kalau dulu para kiai dan santri angkat senjata melawan penjajah,” tutur Solihan pelan, “kini santri mengangkat ilmu, pena, dan doa sebagai senjata peradaban.”
Hari Santri Nasional di Muaraenim dapat menjadi gambaran masyarakat kecil yang berjuang di tengah arus besar modernitas tanpa kehilangan rasa syukur. Semangat itulah yang kini coba dihidupkan dalam denyut santri Muara Enim—bahwa menjadi santri bukan nostalgia masa lalu, melainkan laku hidup yang selalu relevan.
Ruang Baru untuk Santri Indonesia
Tahun 2025 ini, tema nasional Hari Santri adalah Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia. Sebuah tema yang kuat dan padat makna.
Di Muara Enim, tema itu dihayati bukan hanya sebagai slogan, tetapi sebagai amanah. Santri diharapkan tak hanya menjaga syariat, tetapi juga martabat: etika dalam bicara, kesantunan dalam berpikir, dan kebersihan hati dalam bekerja, menuju pedaban dunia yang lebih baik.
Salah satu rencana yang mengemuka dalam rapat itu adalah pemberian penghargaan bagi santri berprestasi. Rencananya, Bupati Muara Enim akan menyerahkan piagam kepada para santri yang telah membawa harum nama daerah di tingkat nasional dan internasional.
Di antaranya, dua santri dari Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiin dan satu dari Al-Falah yang menorehkan prestasi gemilang dalam ajang Musabaqah Qiraatul Kutub Nasional, bahkan menembus kompetisi internasional.
“Kalau ilmu mereka sudah sampai ke langit, semoga akhlaknya tetap membumi,” ujar salah satu guru dari MAN 1 Muara Enim dengan senyum kecil.
Ruh Santri yang Tak Pernah Padam
Di tengah gempuran zaman, pesantren dan madrasah di Muara Enim masih teguh menjadi penjaga akidah dan adab. Dari langgar di desa kecil hingga aula sekolah di kota, gema shalawat dan derap rebana masih terdengar.
Bagi mereka, Hari Santri bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat tentang asal-usul: bahwa ilmu sejati tumbuh dari keikhlasan, bukan dari sorotan kamera atau deretan penghargaan.
“Santri bukan hanya murid dari pesantren. Santri adalah hati yang bersujud sebelum kaki melangkah. Ia bukan sekadar membaca kitab kuning, tapi juga membaca kehidupan yang kadang lebih kuning dari kitab itu sendiri.”
TEKS : IMRON SUPRIYADI | FOTO : REPRO KEMENAG MUARAENIM