Pak Roni, Murid yang Menangis, dan Guru yang Menghidupkan Uswatun Hasanah

Pelajaran atas Batalnya Mutasi Kepsek SMPN I Prabumulih

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis & Pengasuh Santri Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Suatu sore di Prabumulih, sebuah video pendek menyebar di media sosial. Puluhan siswa SMPN 1 Prabumulih menangis sambil menyambut kepala sekolah mereka, Pak Roni Ardiansyah. Ada pelukan, ada tepukan bahu, ada raut wajah yang lega bercampur haru. Para guru pun ikut menyeka air mata. Seolah yang mereka sambut bukan sekadar kepala sekolah, melainkan sosok ayah, guru, sekaligus teladan.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa peristiwa itu sampai mengundang simpati publik begitu luas?

Kita tahu, Pak Roni bukan figur politisi, bukan pula pesohor hiburan. Ia seorang pendidik. Dalam beberapa pekan terakhir namanya muncul di media karena satu hal yang tampak sepele: ia menegur siswa yang membawa mobil ke area sekolah.

Teguran yang pada awalnya biasa saja itu kemudian menjadi riak besar. Namun ketika riak itu mereda, justru terungkap satu hal penting: kecintaan murid dan guru pada sosok yang mereka anggap “bapak” pendidikan di sekolah.

Fenomena ini menarik kita renungi. Ia bukan hanya tentang seorang kepala sekolah. Ia adalah cermin bagaimana sebuah teladan, yang dijalankan konsisten, bisa memunculkan daya spiritual yang melampaui aturan administratif.

Guru: Lebih dari Sekadar Pekerjaan

Dalam literatur pendidikan modern, guru disebut role model. Dalam bahasa kita, guru bukan sekadar pengajar, tapi pendidik—mendidik dengan tutur, sikap, dan cara hidupnya. Dalam Islam, peran ini sangat kental. Kata ustadz atau mu’allim mengandung tanggung jawab moral yang jauh lebih berat daripada sekadar “mengajar”.

Pak Roni, kalau kita cermati, berdiri di tengah nilai-nilai ini. Ia berani menegakkan disiplin meski konsekuensinya berat. Ia mengingatkan bahwa sekolah bukan tempat pamer status, melainkan ruang untuk belajar. Ketika beliau dipindahkan, murid dan guru menangis. Ini bukan tangisan biasa. Ini tangisan yang muncul karena kehilangan teladan.

BACA BERITA TERKAIT :

Ada sebuah pepatah Arab yang sering dikutip di pesantren: ath-thariqatu ahammu min al-maddah, wal-mudarrisu ahammu min ath-thariqah—“Metode lebih penting dari materi, dan guru lebih penting dari metode.” Artinya, sebaik apa pun kurikulum, metode, atau fasilitas, bila tidak ada guru yang hidup di dalamnya, semuanya hambar. Pak Roni membuktikan pepatah ini: bukan karena ia menciptakan program spektakuler, tapi karena ia hadir sebagai teladan.

Uswatun Hasanah: Nabi Muhammad Sebagai Guru

Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan: “Laqad kāna lakum fī Rasūlillāhi uswatun hasanah” (QS. Al-Ahzab: 21) — sungguh pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kalian. Rasulullah bukan hanya pembawa risalah, ia juga guru sejati. Beliau membangun masyarakat bukan dengan instruksi semata, tetapi dengan contoh kehidupan.

Apa yang Nabi lakukan saat menghadapi tradisi jahiliyah? Beliau tidak langsung menabrak, tidak pula kompromi buta. Nabi melakukan pendekatan gradual, persuasif, penuh kasih sayang.

Nabi mengajarkan akhlak dengan menjadi akhlak itu sendiri. Ketika berdakwah di Madinah, beliau menulis Piagam Madinah sebagai dasar kesetaraan warga. Ketika menaklukkan Makkah, beliau tidak balas dendam. Inilah uswatun hasanah: keteladanan yang menyentuh hati lebih dulu sebelum akal.

Pak Roni, tentu saja, bukan Nabi. Tapi kita boleh bercermin pada bagaimana nilai-nilai uswah itu termanifestasi dalam tindakan beliau. Menegur anak pejabat adalah hal sepele di atas kertas, tetapi itu menunjukkan prinsip keadilan. Menegakkan disiplin tanpa membeda-bedakan status sosial adalah nilai dasar Nabi. Dan ketika murid serta guru menunjukkan simpati, itu menunjukkan magnet moral yang dihasilkan oleh keteladanan.

Kepemimpinan Moral vs Kepemimpinan Administratif

Dalam ilmu manajemen pendidikan, kepala sekolah punya dua ranah: administratif dan instruksional. Administratif menyangkut surat, program, anggaran. Instruksional menyangkut pengajaran, pembinaan karakter, budaya sekolah. Kepala sekolah yang hanya sibuk administrasi akan kehilangan “roh”. Sebaliknya, yang menghidupkan instruksional leadership sering mendapat tempat khusus di hati warga sekolah.

Pak Roni berada pada kategori kedua. Ia terlihat berupaya hadir di tengah siswa, mengayomi guru, dan menjaga aturan sekolah dengan konsisten. Ini yang menjelaskan mengapa ketika ada riak persoalan, dukungan moral justru berdatangan. Guru-guru merasa bahwa nilai yang diperjuangkan Pak Roni adalah nilai mereka juga.

Ini sekaligus mengingatkan kita bahwa pendidikan adalah ekosistem moral. Tidak cukup dengan bangunan mewah atau program digital. Yang paling dibutuhkan adalah moral leadership.

Air Mata Murid: Bukti Nyata Pendidikan Karakter

Ketika murid-murid menangis menyambut kembali kepala sekolahnya, kita melihat bukti paling konkret dari pendidikan karakter. Ini bukan lagi soal nilai rapor atau ranking lomba. Ini tentang keterikatan emosional, tentang nilai hormat kepada guru. Siswa yang tumbuh dalam lingkungan yang menghargai guru akan lebih mudah menghargai orang tua, masyarakat, bahkan negaranya.

Di sinilah letak pentingnya figur guru yang konsisten. Dalam psikologi pendidikan, attachment atau keterikatan emosional dengan guru yang positif sangat berpengaruh pada motivasi belajar, kepercayaan diri, dan pembentukan karakter moral. Dengan kata lain, pendidikan karakter tak bisa diciptakan dengan modul di kertas; ia lahir dari hubungan manusiawi yang nyata antara guru dan murid.

Dari Sekolah ke Kehidupan Sosial: Efek Domino Keteladanan

Apa yang kita pelajari dari peristiwa Pak Roni bukan hanya pelajaran untuk sekolah. Ia adalah cermin bagi masyarakat. Jika kita ingin punya pejabat, pengusaha, atau profesional yang jujur dan adil, kita harus memulainya dari ruang kelas—dengan guru yang jujur dan adil.

Nabi Muhammad mengajarkan: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari). Akhlak itu tidak turun dari langit tanpa perantara. Ia tumbuh dari interaksi sehari-hari, dari guru yang menegur dengan adil, dari kepala sekolah yang mencontohkan keberanian moral.

Guru Teladan: Investasi Sosial Jangka Panjang

Sering kali kita mengukur kualitas sekolah dari nilai ujian nasional atau akreditasi. Padahal yang paling menentukan masa depan bangsa adalah kualitas guru. Guru teladan bukan sekadar pintar, tetapi juga kuat integritasnya. Dalam ekonomi pendidikan, guru teladan adalah investasi jangka panjang yang keuntungannya tak ternilai: mereka membentuk manusia berkarakter.

Pak Roni memberi kita bukti kecil tentang ini. Ketika seorang kepala sekolah berani tegak, ia tidak hanya menjaga nama sekolah, tetapi juga membentuk memori moral murid-muridnya. Suatu saat, murid-murid itu akan menjadi orang dewasa. Mereka mungkin lupa rumus atau definisi pelajaran, tetapi mereka akan ingat bahwa pernah punya kepala sekolah yang adil dan berani.

Menjadikan Keteladanan Sebagai Gerakan Bersama

Opini ini bukan sekadar pujian untuk Pak Roni. Ini adalah ajakan untuk kita semua—guru, orang tua, pejabat, aktivis pendidikan—agar menjadikan keteladanan sebagai gerakan bersama. Kita bisa memperbaiki kurikulum, mengganti sistem ujian, atau menambah fasilitas, tetapi jika teladan guru hilang, semua akan gersang.

Kita harus belajar dari Nabi Muhammad: beliau mengubah masyarakat Arab Jahiliyah bukan dengan dekrit, tetapi dengan teladan. Beliau berdiri di pasar, menyapa anak-anak, membantu tetangga, menahan amarah. Beliau menunjukkan bahwa moralitas bukan pidato, tetapi tindakan.

Air Mata Itu Mengajarkan Kita

Peristiwa Pak Roni di SMPN 1 Prabumulih mengingatkan kita pada satu hal mendasar: pendidikan adalah hubungan manusia dengan manusia. Ia adalah proses spiritual, bukan sekadar teknis. Air mata murid-murid itu adalah air mata kejujuran, tanda bahwa mereka melihat sosok kepala sekolah sebagai teladan yang nyata.

Di era ketika figur guru sering tergeser oleh teknologi dan media sosial, kita memerlukan lebih banyak “Pak Roni”—guru dan kepala sekolah yang berani menegakkan nilai, mengayomi murid, dan siap menerima risiko dari kejujurannya. Kita memerlukan lebih banyak guru yang hidup dengan prinsip uswatun hasanah, menjadi teladan, bukan sekadar pengajar.

Kalau Nabi Muhammad bisa menaklukkan hati penduduk Makkah dengan kasih sayang, mengapa kita tidak bisa menaklukkan hati murid dengan keteladanan? Pendidikan sejati bukan soal hafal ayat atau rumus, tetapi soal memanusiakan manusia.

Pak Roni memberi kita contoh kecil namun nyata: bahwa sebuah teguran, sebuah keberanian moral, dan sebuah keikhlasan bisa menyalakan bara keteladanan. Bara itu akan terus hidup dalam jiwa murid dan guru, bahkan mungkin menyalakan api kebaikan di masyarakat yang lebih luas. Dan siapa tahu, dari air mata murid-murid itu lahirlah generasi baru yang berani, adil, dan berakhlak mulia—seperti yang diimpikan Nabi kita.**

Pondok Pesantren Laa Roiba-Muaraenim, 19 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait