BANYUASIN | KabarSriwijaya.NET — Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Pangkalan Balai terasa menegang. Di bangku pengunjung, keluarga seorang remaja perempuan berusia 16 tahun duduk dengan wajah penuh harap, Senin, (01/09/2025).
Mereka tidak sendiri. Di sisi lain, kuasa hukum dari Posbakumadin Korwil Sumsel, Ulul Azmi, S.H., mendampingi korban dan saksi korban. Hari itu, mereka datang bukan sekadar untuk memberi keterangan, tetapi juga untuk menegaskan tuntutan: vonis seberat-beratnya bagi pelaku rudapaksa.
Kasus yang menyeret AR—warga Teluk Kijing, Musi Banyuasin—bukanlah perkara sederhana. Ia menyangkut masa depan seorang gadis belia yang, oleh tipu daya dan kepercayaan yang dikhianati, harus kehilangan kehormatannya. “Perbuatan pelaku telah menghancurkan masa depan korban. Maka kami meminta majelis hakim menjatuhkan hukuman maksimal,” tegas Ulul Azmi.
Malam Panjang di Betung
Kronologi yang terungkap di persidangan menyayat hati. Berawal dari ajakan pelaku yang masih satu desa dengan korban, remaja itu mengikuti tanpa curiga. Mereka berkeliling dari Musi Banyuasin ke Banyuasin, hingga akhirnya tiba di sebuah penginapan di Kecamatan Betung. Di sana, korban diajak berpesta bersama rekan pelaku.
Namun, pesta itu hanyalah kedok. Perlahan, satu per satu rekan pelaku pergi meninggalkan tempat, menyisakan korban dan AR dalam situasi sepi. Upaya pertama pelaku gagal. Tapi pada pukul 23.00 malam, percobaan kedua berhasil. Malam itu, kesucian seorang remaja direnggut dengan paksa.
Luka yang Tak Sekadar Fisik
Di luar ruang sidang, ibu korban menyuarakan jerit hatinya. Dengan mata berkaca, ia berkata, “Pelaku itu satu desa dengan kami. Sudah kenal, bahkan dipercaya. Tapi ia tega menghancurkan masa depan anak saya. Saya berharap hakim menjatuhkan vonis berat. Ini bukan hanya luka anak saya, tapi luka kami sebagai keluarga.”
Kata-kata sang ibu menggambarkan rasa dikhianati. Sebuah kepercayaan yang berbuah petaka. Dalam banyak kasus, kekerasan seksual bukan sekadar soal tindakan fisik, melainkan trauma mendalam yang membekas seumur hidup.
Menunggu Putusan Hakim
Kini, publik menanti sikap tegas majelis hakim. Tuntutan yang disuarakan pihak keluarga dan kuasa hukum bukanlah sekadar emosi, tetapi seruan agar hukum benar-benar berpihak pada korban. Di sisi lain, kasus ini juga menjadi ujian moral bagi sistem peradilan di negeri ini: sejauh mana ia mampu memberikan rasa adil kepada mereka yang lemah.
Majelis hakim memang memegang kunci. Namun suara korban dan keluarganya sudah jelas: hukuman berat adalah jalan satu-satunya untuk memberi efek jera dan mengembalikan sedikit rasa keadilan yang telah hilang.
“Ini bukan hanya tentang satu anak, tapi tentang bagaimana negara melindungi warganya dari kekerasan yang mencabik-cabik masa depan,” pungkas Ulul Azmi.
TEKS / FOTO : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI