SERANG | KabarSriwijaya.NET – Kamis sore, 21 Agustus 2025. Suasana di pabrik peleburan timbal milik PT Genesis Regeneration Smelting (GRS), Kecamatan Jawilan, tampak normal setelah tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyelesaikan sidak. Para wartawan yang sejak pagi mengikuti agenda itu bersiap pulang. Kamera sudah tersimpan, catatan liputan dilipat rapi. Namun di luar pagar, bahaya justru menunggu.
Sekelompok orang menghadang, diduga dari pihak perusahaan, sejumlah anggota organisasi masyarakat, bahkan oknum aparat. Tak ada ruang negosiasi, hanya bentakan dan kemudian pukulan. Sejumlah jurnalis dihajar membabi buta. Sebagian berusaha bertahan, sebagian lain lari tunggang-langgang.
Rasyid, wartawan BantenNews.co.id, masih trauma saat menceritakan ulang. “Ketika kami hendak mengambil motor, langsung dijegat dan dipukuli. Banyak teman-teman yang dikeroyok membabi buta. Ada juga yang lari sejauh lima kilometer demi menyelamatkan diri,” katanya.
Nama-nama yang jadi korban bukan asing: Yusuf dari Radar Banten, Rifky dari Tribun Banten, Sayuti dari SCTV, Avit dari Tempo, hingga Depi dari Antara. Mereka datang untuk bekerja—meliput sidak pemerintah. Yang mereka terima justru kekerasan.
Luka yang Bukan Sekadar Fisik
Keesokan harinya, Jumat, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Banten, Timan, mengeluarkan kecaman keras. “Ini tidak bisa ditolerir. Kami mendesak Polda Banten dan Polres Serang segera memproses semua pelaku yang terlibat,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa pengeroyokan ini bukan hanya melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tetapi juga tindak pidana murni.
Kekerasan terhadap jurnalis, apalagi saat melaksanakan tugas peliputan, bukan sekadar serangan fisik. Ia adalah pukulan langsung terhadap kebebasan pers—pilar yang dijamin konstitusi.
Desakan dari Organisasi Pers
Suara serupa datang dari pusat. Ketua Divisi Advokasi dan Pembelaan Wartawan DPP PJS, Eko Puguh Prasetijo, menilai polisi tak boleh berlama-lama. “Polda dan Polres Serang harus menjatuhkan hukuman berat sesuai ketentuan hukum tanpa pandang bulu. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga serangan terhadap kebebasan pers,” katanya.
DPD PJS Banten bersama pengurus cabang berencana menghadap Kapolda Banten, mendesak tindakan tegas terhadap seluruh pihak yang terlibat.
Kecaman juga datang dari Lembaga Pendidikan Pers Sriwijaya (LP2S) Palembang. Imron Supriyadi, Direktur LP2S Sriwijaya menilai insiden pengeroyokan di Jawilan sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers yang sangat berbahaya bagi demokrasi.
“Apa yang dialami rekan-rekan jurnalis di Serang bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga upaya menakut-nakuti media agar bungkam. Jika ini dibiarkan, publik akan kehilangan hak atas informasi yang jernih,” ujar Imron.
LP2S Sriwijaya mendesak aparat penegak hukum bergerak cepat. Menurut lembaga ini, kasus kekerasan terhadap wartawan tak boleh berhenti pada permintaan maaf atau penyelesaian damai semu. “Harus ada proses hukum yang jelas, agar ada efek jera. Wartawan adalah ujung tombak keterbukaan informasi, bukan sasaran amarah atau intimidasi,” tegasnya.
Daftar Panjang Kekerasan
Kasus di Jawilan hanyalah satu dari sekian banyak serangan yang dialami jurnalis di Indonesia. Dari era reformasi hingga hari ini, catatan lembaga advokasi media menunjukkan angka yang terus berulang. Wartawan dikejar, dirampas alat kerjanya, dikriminalisasi dengan pasal karet, bahkan dipukuli.
Ironinya, para pelaku kerap merasa aman—entah karena bersandar pada kuasa modal, jaringan ormas, atau bahkan perlindungan aparat. Situasi yang menimbulkan pertanyaan mendasar: seberapa jauh sebenarnya negara melindungi kemerdekaan pers?
Menunggu Sikap Tegas
Polres Serang memang turun mengamankan situasi setelah pengeroyokan. Tapi bagi para jurnalis, penyelidikan cepat dan hukuman setimpal adalah harga mati. Tanpa itu, insiden Jawilan akan menambah panjang daftar kasus yang berakhir tanpa keadilan.
Dari meja redaksi hingga jalanan, desakan sama terus terdengar: hentikan kekerasan terhadap jurnalis. Karena setiap pukulan yang mendarat di tubuh wartawan, sejatinya adalah pukulan terhadap hak publik untuk tahu.
TEKS : YULIE AFRIANI | EDITOR : WARMAN P











