Seni yang Merdeka, Dakwah yang Luhur: Menyikapi Gagasan HSBI dari Pusat ke Daerah

HSBI Setelah Pelantikan Pengurus Baru mau Apa? Bagaimana dengan Seniman di luar Jakarta

Oleh: Imron Supriyadi
Jurnalis dan Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim

Ada sesuatu yang menarik dari pernyataan Menteri Kebudayaan, Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc., yang sekaligus juga kini menjabat Ketua Umum Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI).

Dalam satu kesempatan, ia mengatakan bahwa seni dan budaya adalah cermin peradaban bangsa, dan dalam perspektif Islam, seni bukan sekadar hiburan, melainkan sarana dakwah, penguat akhlak, serta pengikat persaudaraan.

Bagi sebagian orang, kalimat itu mungkin terdengar normatif, seperti kutipan pidato seremonial yang biasa kita dengar di panggung-panggung resmi.

Tapi bagi saya—dan bagi banyak pelaku seni Islam di daerah yang hidup di antara gamelan, rebana, naskah teater, dan puisi—kalimat itu seperti penanda arah kompas baru.

Ada peluang untuk menghidupkan kembali semangat kesenian Islam yang dulu melahirkan karya monumental, bukan sekadar festival berdebu yang lahir setiap tahun anggaran.

Namun, tentu saja, semua gagasan besar akan menjadi abu-abu jika tidak dipahami secara kritis dan bebas dari kepentingan politik sesaat. Di sinilah HSBI diuji: apakah ia akan menjadi ruang kemerdekaan berkesenian, atau justru menjelma menjadi perpanjangan tangan kekuasaan?

Akar Historis yang Tak Boleh Dilangkahi

HSBI bukanlah lembaga baru yang lahir dari mimpi politik modern. Ia berdiri sejak 24 September 1956 di Jakarta, digagas oleh H. Abdullah Aidid, Kepala Jawatan Penerangan Agama di Kementerian Agama RI saat itu.

BACA JUGA ARTIKEL TERKAIT :

Ia mendirikan HSBI untuk menghimpun para seniman, budayawan, ulama, dan cendekiawan Muslim agar bersama-sama bergerak dalam bidang seni dan budaya Islam, dalam arti seluas-luasnya dalam kehidupan kebudayaan nasional.

Latar sosial-politiknya cukup tegas. Pada masa itu, Indonesia baru keluar dari euforia kemerdekaan, dan ruang kebudayaan sedang diperebutkan oleh berbagai ideologi.

Ada LEKRA yang berhaluan kiri, ada kelompok seniman humanis dan nasionalis, dan di sisi lain berdiri HSBI yang membawa corak Islam dengan semangat dakwah dan kebangsaan.

HSBI menjadi rumah bagi para seniman Muslim yang ingin berkarya tanpa harus menunduk pada ideologi non-Tuhan. Ia bukan gerakan politik, melainkan gerakan kebudayaan yang menyadari bahwa Islam punya bahasa estetika sendiri—dalam tari, musik, puisi, dan teater—yang berakar pada nilai-nilai adab dan tauhid.

Dalam catatan Ensiklopedia Islam, HSBI di masa awal punya struktur lengkap: Ketua M. Nur Alian, Sekjen M. Anthony, dan Bendahara M. Asrori. Aktivitasnya pun tak main-main. Tahun 1961 mereka mementaskan drama kolosal “Titik Terang” dalam rangka Maulid Nabi, menampilkan 15 ekor kuda dan ditonton oleh lebih dari 30.000 orang.

Dua tahun kemudian, pada 1963, HSBI menyelenggarakan “Pesta Penyair Islam”, yang mempertemukan anak-anak muda dari PMII, HMI, PII, Pemuda Anshor, Pemuda Muhammadiyah, dan GPII. Ini bukan sekadar pertunjukan; ini adalah pertemuan ruh kebudayaan Islam yang lintas organisasi, lintas golongan, bahkan lintas tafsir.

Bayangkan: pada masa ketika politik sedang terbelah tajam, HSBI justru menciptakan panggung dialog di atas teater dan sajak. Sebuah bentuk “ijtihad kultural” yang berani dan beradab.

Antara Dakwah dan Estetika: Menjaga Ruang Merdeka

Namun sejarah juga mengajarkan bahwa setiap gerakan yang menyentuh wilayah budaya tak pernah steril dari tekanan ideologi. Pada dekade 1960-an, HSBI ikut berhadapan dengan badai tarik-menarik antara komunisme, nasionalisme, dan Islamisme. Tapi yang menarik: HSBI memilih bertahan lewat karya, bukan konfrontasi.

Ketika pemerintah pada 1980-an menetapkan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi organisasi masyarakat, HSBI pun menyesuaikan diri. Dalam Muktamar VII tahun 1986, mereka menetapkan asas Pancasila, tapi tidak mencabut akar Islam dalam semangat organisasinya.

Ini bukan bentuk kompromi, melainkan adaptasi: HSBI menegaskan bahwa seni Islam tak harus melawan negara, tetapi bisa menjadi bagian dari peradaban bangsa.

Sampai 1986, HSBI tercatat telah memproduksi 510 drama radio, 306 drama panggung, dan 180 drama televisi—angka yang luar biasa untuk ukuran ormas seni berbasis agama. Karya-karya itu bukan sekadar hiburan, melainkan sarana membangun kesadaran seni yang bernafaskan dakwah dan kemanusiaan.

Maka, ketika hari ini (9 Agustus 2025) Fadli Zon mengajak seniman Islam untuk memperkuat HSBI dan menghidupkan kembali semangat berkesenian Islami, kita perlu melihatnya bukan semata sebagai proyek institusional, melainkan kelanjutan dari perjalanan panjang kesadaran budaya yang pernah menyalakan api di dada Abdullah Aidid dan kawan-kawan.

Seni Islam: Antara Panggung dan Politik

Di sinilah persoalan paling pelik muncul: apakah kesenian Islam bisa berkembang tanpa menjadi alat politik?
Jawabannya: bisa—asal ia berpihak kepada nurani, bukan partai.

Seni Islam yang sejati adalah seni yang merdeka. Ia bisa tampil di panggung partai tanpa menjadi alat partai; ia bisa berdakwah di balai desa tanpa harus membawa bendera ormas.

Ketika seorang penyair Islam menulis puisi tentang keadilan, ia bukan sedang berpolitik; ia sedang menegakkan amanah keimanan. Ketika seorang aktor teater membawakan kisah nabi di atas panggung, ia sedang menanamkan moralitas publik, bukan mempromosikan ideologi.

Bahaya muncul ketika kesenian Islam dijadikan kendaraan elektoral—diisi dengan lagu-lagu pujian untuk kandidat, atau pertunjukan yang dikontrak untuk citra politik. Pada titik itu, seniman kehilangan kemerdekaannya, dan kesenian kehilangan rohnya.

HSBI seharusnya menjadi pagar api agar hal itu tak terjadi. Ia bukan tempat bagi “seniman penjilat”, tapi ruang bagi “seniman mujahid”—mereka yang menulis, bernyanyi, menari, dan menafsirkan dunia dengan semangat tauhid, bukan popularitas.

Menjemput Ruh HSBI di Daerah

Sebagai pelaku seni di daerah, saya percaya kebangkitan HSBI di tingkat nasional harus diikuti oleh penguatan di daerah. Daerah-daerah seperti Sumatera, Jawa Timur, Kalimantan, dan Sulawesi punya kekayaan kesenian Islam yang luar biasa: dari syair gurindam, rebana hadrah, teater dakwah, hingga kaligrafi dan tari sufi. Tapi sayangnya, banyak potensi itu tidur, menunggu disentuh.

Kita butuh HSBI yang bukan sekadar hadir di hotel berbintang dengan spanduk besar, tapi benar-benar turun ke pesantren, madrasah, sanggar kecil, hingga warung kopi tempat para penyair berdiskusi. HSBI harus belajar mendengarkan bunyi bedug dari kampung, bukan hanya bunyi mikrofon dari podium.

Kita butuh HSBI yang menumbuhkan, bukan mengatur. Yang memfasilitasi, bukan mengontrol. Yang mengajak, bukan menggurui. Karena sejatinya, kesenian Islam bukan datang dari atas, melainkan tumbuh dari bawah: dari hati yang gelisah, dari iman yang ingin berbicara dalam bahasa warna, nada, dan kata.

Mungkin inilah saatnya HSBI membuka kembali bab sejarahnya dengan pendekatan baru: membangun ekosistem seni Islam yang berbasis komunitas. Pemerintah boleh memberi fasilitas, tapi tidak boleh memonopoli gagasan. Sebab, seni Islam bukan proyek, melainkan amanah kebudayaan.

Seni, Dakwah, dan Kemanusiaan

Saya teringat pada satu kalimat yang sering diucapkan oleh Budayawan Emha Ainun Nadjib—Cak Nun: “Kesenian adalah cara Tuhan mengajarkan kelembutan kepada manusia.”

Kalimat itu seperti cermin bagi ruh HSBI. Bahwa tugas utama seni Islam bukan menaklukkan dunia, melainkan menaklukkan keangkuhan dalam diri manusia.

Ketika musik gambus dimainkan dengan penuh cinta, ia menjadi zikir yang terdengar indah. Ketika teater mementaskan kisah nabi atau rakyat kecil, ia menjadi khutbah yang hidup. Ketika kaligrafi ditulis dengan tangan gemetar karena cinta pada nama Allah, itu bukan sekadar lukisan—itu ibadah.

Maka, membangkitkan HSBI bukanlah sekadar urusan organisasi atau anggaran. Ia adalah upaya spiritual, upaya menjaga keseimbangan antara keindahan dan kebenaran. Antara ekspresi dan etika. Antara panggung dan sajadah.

Harapan menjadi Mercusuar

Enam puluh sembilan tahun perjalanan HSBI telah mengajarkan banyak hal: bahwa Islam dan seni bukan dua dunia yang berseberangan, melainkan dua sayap yang bisa terbang bersama. Di tengah derasnya arus globalisasi, HSBI bisa menjadi mercusuar yang menjaga nilai, identitas, dan estetika umat.

Namun syaratnya hanya satu: HSBI harus tetap merdeka. Tidak tunduk pada kepentingan partai, tidak menjadi alat propaganda, dan tidak mengklaim diri sebagai satu-satunya suara seni Islam.

Seni Islam adalah ruang publik bagi semua yang hatinya terpaut pada Tuhan, yang jiwanya terbuka pada keindahan, dan yang pikirannya bebas dari kebencian.

Jika hal itu bisa dijaga, maka gagasan Fadli Zon bukan sekadar pidato, tapi bisa menjadi lompatan sejarah.
Dan kalau HSBI di pusat mulai menata langkahnya, maka HSBI di daerah harus bersuara: lewat rebana yang berdetak, lewat teater yang merenung, lewat puisi yang menyalakan nurani.

Karena sejatinya, dakwah itu tidak selalu di mimbar. Kadang ia justru di panggung, di kanvas, di syair, bahkan di hati seniman yang diam-diam berdoa di balik tirai.**


Daftar Rujukan:

  • Ensiklopedia Islam, artikel “Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI)”
  • Sanggar Nuun (2020), “Sejarah Pergulatan Wacana Kesenian dan Kebudayaan 1950–1966”
  • Detiknews, 10 Agustus 2025
  • VOI Indonesia, 9 Agustus 2025
  • UIN Jakarta Journal of Virtu, Vol. 8 (2023)
  • Antara News (2025)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *