JAKARTA | KabarSriwijaya.NET — Di sebuah rumah kecil berpagar putih di Jalan Asem Baris Raya, Jakarta Selatan, Rabu sore (9/7/2025), selembar surat keputusan diteken. Nomor: 006/DPN-PERMAHI/Kep/VI/2025. Isinya: menetapkan Palembang sebagai tuan rumah Kongres Nasional ke-X Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI), Oktober mendatang.
Tak banyak orang tahu, di balik selembar SK itu, tersembunyi kisah panjang tentang organisasi mahasiswa hukum yang belakangan ini lebih banyak terdengar karena konflik internal ketimbang aksi hukum progresif. Saling tuding, saling rebut legitimasi, bahkan perpecahan pengurus di beberapa daerah, membuat nama PERMAHI meredup — bukan karena kurang intelek, tetapi karena terlalu lama larut dalam pusaran konflik yang melelahkan.
Namun bagi RM Taufiq, Ketua DPC PERMAHI Palembang, ini bukan sekadar forum lima tahunan. Ini panggilan sejarah.
“Kongres ini bukan hanya ajang ganti kepemimpinan. Ini panggung untuk menata ulang arah juang kita,” katanya dalam nada berat tapi yakin, kepada awak media di Jakarta.
Ketika Organisasi Terluka, Kongres Menjadi Obat
Selama lebih dari dua dekade, PERMAHI menjadi rumah bagi mahasiswa hukum yang gelisah melihat ketidakadilan. Namun rumah itu kini retak. Kader-kadernya, yang tersebar dari Banda Aceh hingga Merauke, kadang lebih sibuk mengurus legalitas kepengurusan daripada mengadvokasi rakyat kecil.
Taufiq tahu itu. Maka Palembang bukan sekadar lokasi — ia adalah simbol.
“Bumi Sriwijaya itu roh persatuan,” ujarnya lirih. “Dari kota tertua ini, kita ingin membumikan kembali semangat gotong royong. Wong kito galo — orang kita semua. Kita semua satu.”
Mungkin itu sebabnya Oktober dipilih. Bulan ketika pada 1928, para pemuda dari berbagai daerah berdiri dan bersumpah atas satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Dan PERMAHI ingin meminjam semangat itu — mengikrarkan ulang sumpah persatuan di tengah riuhnya disintegrasi internal.
Retorika Persatuan dan Kenyataan Politik Internal
Namun, benarkah sumpah pemuda bisa dibacakan ulang untuk menyatukan organisasi yang terbelah? Kongres-kongres sebelumnya membuktikan: idealisme bisa ambruk ketika forum-forum besar berubah jadi kontestasi kuasa. Di sinilah ujiannya: bisakah Palembang memulihkan luka lama, atau justru menjadi panggung retak baru?
Taufiq tidak menampik tantangan itu. Tapi ia lebih memilih berharap.
“Kami ingin seluruh kader hadir, tak sekadar bicara, tapi menyusun komitmen kolektif,” katanya. “Etika organisasi harus jadi landasan. Kongres ini bukan soal siapa menang, tapi apa yang disepakati.”
Dampak di Luar Aula
Tak hanya organisasi yang berharap banyak dari Kongres ini. Palembang, kota dengan jejak sejarah panjang dari Sriwijaya hingga VOC, juga menyiapkan diri. Bukan hanya karena akan kedatangan ratusan kader hukum dari seluruh Indonesia, tapi karena potensi perputaran ekonomi dan sorotan nasional.
“Kami melihat ini peluang. Sektor pariwisata, ekonomi lokal, bahkan branding kota sebagai poros kepemudaan nasional akan terbantu,” jelas Taufiq. “Ini bukan sekadar forum, ini peristiwa.”
Di sela rencana besar itu, ia juga berharap ada dukungan. Dari alumni PERMAHI. Dari pemerintah kota. Dari masyarakat. Ia tahu, tanpa kolaborasi, sebaik apa pun naskah kongres, hanya akan berakhir sebagai teks yang dibacakan, lalu dilupakan.
“Kami mohon doa dan dukungan semua pihak. Ini hajat besar. Dan Palembang harus mampu menjawabnya,” tutupnya.
PERMAHI akan menggelar Kongres Nasional X di Palembang, Oktober 2025. Ini bukan hanya urusan mahasiswa hukum. Ini tentang generasi muda yang masih percaya bahwa hukum bisa menjadi alat perubahan, bukan alat kekuasaan.
Namun dalam kongres, seperti halnya dalam sejarah republik, segalanya bisa terjadi — termasuk persatuan atau kehancuran. Dan semua itu dimulai dari satu panggung kecil… di sebuah kota tua di tepi Musi.
TEKS : RELEASE | EDITOR : IMRON SUPRIYADI | FOTO : NET