Kambing, Anak, dan Marhaban : Sebuah Tafsir Sosial Akikah

Ada Tradisi. Ada Ajaran. Keduanya Berkolaborasi dalam Ritual Sosial Keagamaan : Akikah, Kurban dan Marhaba

Penulis : Imron Supriyadi, Jurnalis & Pengasuh Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim

Pada sebuah obrolan, usai makan siang di Hari Idul Adha 1446 H, seorang santri, bertanya soal hubungan Idul Adha, Akikah dan Marhaba. Mengapa akikah harus kambing? Apa hubungannya antara kambing, bayi merah, dan Barzanji?

Mengapa setiap kali ada anak lahir di kampung kita, yang disembelih kambing, tapi yang dibaca malah kisah Rasulullah SAW dari lahir sampai hijrah? Ini acara akikah atau haul maulid Nabi?

Perlahan, pertanyaan itu saya urai. Begitulah Indonesia. Segala sesuatu bisa dirayakan dengan tumpeng, doa bersama, dan… Barzanji. Dan di antara semua tradisi Islam yang paling sering jadi alasan untuk memotong kambing tanpa rasa bersalah, akikah barangkali juaranya.

Mari kita mulai dari hukum syariat dulu. Supaya para ustadz dan santri yang kebetulan membaca ini, tidak mengira saya sedang menggugat ritual. Tidak, saya sedang merayakannya—dengan sedikit gatal di kepala.

Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak tergadai dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud).

Ada yang bilang ini hadis sahih, ada yang bilang hasan. Tapi semua sepakat: kalau Anda punya anak, dan Anda punya kambing, sembelihlah dua ekor kalau anak Anda laki-laki, satu ekor kalau perempuan.

Mengapa Bukan Ayam

Kenapa harus kambing? Bukan sapi, bukan ayam potong, bukan ayam Kalkun, bukan juga telur asin. Jawabannya bukan karena kambing lebih enak digulai. Ini bukan soal kuliner, ini soal ibadah. Karena Rasulullah menyuruh kambing, ya kita ikut. Titik. Ini agama, bukan seminar logika.

Tapi jika Anda tetap memaksa ingin tahu kenapa, mungkin bisa kita lacak jejaknya ke padang pasir yang jauh di masa lalu. Saat seorang ayah tua, bernama Nabi Ibrahim, bermimpi diminta menyembelih anaknya. Lalu, dalam adegan paling dramatis dalam sejarah profetik, Ismail kecil pasrah digorok, tapi Allah menggantinya dengan seekor domba.

Kurban dan Akikah

Nah, apakah akikah itu tiruan kurban Nabi Ibrahim dalam skala rumahan? Bisa jadi. Bukan secara hukum, tapi secara simbolik. Kurban untuk merayakan ujian iman yang lulus, akikah untuk menandai awal perjalanan iman yang baru lahir. Yang satu ujian pengorbanan, yang satu syukuran kehidupan.

Tapi jangan buru-buru membawa bayi ke kandang kambing. Ada syarat-syaratnya. Kambing harus sehat, cukup umur (minimal satu tahun kalau kambing, enam bulan kalau domba), tidak pincang, tidak buta, dan tidak lagi jadi bahan taruhan judi sabung hewan. Kalau bisa, bukan kambing curian juga. Kalau itu yang terjadi, sama halnya kita sedang mencuci kain untuk shalat dengan air kotor.

Jangan Memaksakan Diri

Secara syariat, akikah itu sunnah muakkadah (yang dikuatkan mendekati wajib). Artinya sangat dianjurkan. Tapi jangan sampai demi akikah, orang tua sampai harus jual motor, utang koperasi, atau nabung lewat arisan yang 18 bulan baru cair. Atau sampai utang ke pinjol, yang bila tertunda angsurannya dendanya bisa seharga Mobil Alphard.

Artinya, jangan memaksakan diri. Kalau belum mampu, tidak mengapa. Bahkan Rasulullah daam satu riwayat, pernah meng-akikahi dirinya sendiri, ketika beliau sudah dewasa. Hadis ini memang diperdebatkan tingkat sahihnya, tapi maknanya kuat: selama belum di-aqiqahi, masih sah melakukannya walau sudah dewasa.

Tidak sekadar potong kambing

Nah, di kampung-kampung Indonesia, akikah ini tidak sekadar potong kambing lalu dibagi nasi kotak. Biasanya ada tenda biru, ada pembacaan Barzanji, ada tausiyah yang 80 persen berisi peringatan bahaya HP dan TikTok, dan 20 persen sisanya adalah doa minta anak jadi saleh dan sukses.

Kenapa Barzanzi & Wali Songo

Yang menarik: kenapa Barzanji dibaca di acara akikah? Padahal, Barzanji itu biografi pujian terhadap Rasulullah SAW. Kenapa tidak cukup doa saja? Kenapa harus dengan untaian syair Arab yang dibaca mendayu-dayu sampai mikrofon mendengung?

Jawabannya bukan di kitab fiqih, tapi di catatan sejarah Wali Songo. Sunan Kalijaga dan para kiai kampung di masa lalu melihat bahwa masyarakat lebih suka acara yang ada hiburannya, lebih suka yang puitis ketimbang yang murni dalil. Maka dibuatlah bentuk-bentuk dakwah kultural: rebana, Barzanji, selawatan.

Suara Pujian dan Bid’ah?

Akikah pun diisi dengan lantunan cinta kepada Nabi, supaya si anak yang baru lahir disambut bukan hanya dengan daging kambing, tapi juga dengan suara pujian dan kisah teladan. Anak lahir dalam pelukan umat yang cinta Rasul, begitu kira-kira semangatnya.

Apakah ini ada di zaman Rasulullah? Tidak. Apakah ini bid’ah yang buruk? Tidak juga.

Meminjam istilah Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) : Bidáh itu identik dengan kreatifitas. Ini bid’ah hasanah: inovasi dalam ibadah sosial yang memperkuat ruh Islam.

Frekuensi Spiritual

Karena barangkali yang dibutuhkan oleh bayi yang baru lahir bukan hanya gizi dari ASI dan vitamin, tapi juga frekuensi spiritual dari getaran Barzanji. Anak yang sejak kecil disambut dengan cerita Nabi, insya Allah akan tumbuh dengan semacam radar batin: tahu mana yang lurus, mana yang bengkok, meski nanti tetap bisa salah pilih pacar juga.

Dari sisi psikologi, akikah ini bukan sekadar simbolik. Ini deklarasi sosial. Orang tua menyatakan: “Kami menerima amanah ini, dan kami mempersembahkan syukur kami kepada Tuhan, dan kepada kalian semua.” Anak tidak lahir ke dalam kesendirian. Ia lahir ke tengah masyarakat yang menyambutnya.

Proses Tajrid

Kalau mau lebih mendalam, dari sisi tasawuf, akikah adalah proses tajrid. Dalam konsep tasawuf, “tajrid” berarti proses melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan duniawi untuk mencapai kemurnian penghambaan kepada Allah SWT.

Tajrid itu, dalam Kitab Al-Hikam, Karya Syeh Athoillah Syakandary—merupakan proses pengosongan batin dari ambisi-ambisi materi, ego, dan segala bentuk kesenangan lahiriah, agar hati siap menerima cahaya ilahi tanpa hijab.

Isyarat Spiritual

Dalam konteks akikah, penyembelihan hewan bukan semata simbol syukur, tapi juga isyarat spiritual: melepaskan anak dari dominasi dunia dan menyerahkannya secara utuh kepada kehendak Allah.

Akikah merupakan laku simbolik tajrid, di mana orang tua — secara batin — menanggalkan rasa memiliki yang absolut atas anaknya, dan mengakui bahwa anak itu adalah titipan dari Tuhan, bukan milik pribadi.

Secara esensial, tajrid dalam akikah mengandung pesan bahwa kehidupan manusia, sejak lahir, harus sudah diarahkan menuju keikhlasan dan penghambaan.

Dengan menyembelih hewan akikah, orang tua seperti sedang mengorbankan sisi duniawi yang mungkin akan membebani perjalanan ruhani sang anak kelak. Anak diperkenalkan pada nilai pengorbanan, tauhid, dan keterlepasan sejak dini — meski ia belum bisa memahami itu secara intelektual.

Anak Bukan Warisan

Dalam kaca mata tasawuf, akikah bukan sekadar ritual keluarga, tapi praktek awal “tajrid sosial”: mengenalkan bahwa hidup bukan soal memiliki, tapi melepaskan. Bahwa anak itu bukan warisan gen semata, tapi amanah untuk diarahkan menjadi makhluk Allah yang bebas dari tirani dunia, dan terikat hanya kepada-Nya.

Singkatnya tajrid— melepaskan keterikatan duniawi dari seorang anak. Ia lahir dalam keadaan fitrah, dan lewat akikah, ia ‘dipotong’ dari ikatan keakuan, egosentrisme, dan dijadikan bagian dari tauhid.

Seperti Ismail ke Ibrahim

Karena itu dalam beberapa tafsir makrifat, akikah juga dimaknai sebagai penyerahan anak kepada Tuhan. Seperti Ismail kepada Ibrahim. Orang tua menunduk, menyembelih ego, menyatakan: “Ya Allah, anak ini bukan milikku. Ini titipan-Mu.”

Makanya kalau akikah hanya menjadi alasan bagi tukang katering untuk naik omzet, lalu Barzanji dibaca asal-asalan, anak tak pernah tahu bahwa dirinya pernah disyukuri sedemikian rupa—ya sayang sekali. Kita potong kambing, tapi lupa potong kesombongan.

Zaman berubah. Tapi semangat akikah tetap bisa relevan. Di era digital, akikah bisa disiarkan lewat Zoom, ditonton lewat Instagram Live. Tapi nilai-nilai dalamnya tak boleh hilang: syukur, ketundukan, keterhubungan sosial dan spiritual.

Deklarasi Siap Jadi Orang Tua

Dan kepada para orang tua masa kini, akikah bukan hanya soal menyembelih hewan. Tapi menyembelih ketidaksiapan. Akikah adalah deklarasi bahwa kamu siap jadi orang tua. Siap menanggung dunia dan akhirat untuk anak yang kamu peluk.

Jadi, jika anak Anda belum diaqiqahi karena saat lahir Anda belum punya uang, lakukanlah saat Anda sudah mampu. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Dan jika Anda sudah tua, rambut sudah putih, tapi merasa belum pernah disyukuri lahir Anda—maka sembelihlah seekor kambing, lalu undang teman-teman Anda, baca Al-Fatihah, dan bilang: “Hari ini, saya merayakan keberadaan saya di dunia.”

Karena hidup memang pantas dirayakan. Dan kambing, entah mengapa, selalu siap menemani kita dalam upacara-upacara yang penuh makna.**

 Sabtu, 7 Juni 2025 (1 hari usai Idul Adha) Muaraenim-Ponpes Laa Roiba

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *