MUARAENIM | KabarSriwijaya.NET – Isyak baru saja berlalu. Puluhan santri Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim, masih melingkar mengaji, Istilah di pesantren : halaqoh. Salah satu ustadz berada di antara lingkaran santri yang mengaji dan menyimak kemmembenarkan bacaan Al-quran yang kurang tepat.
Hanya 30 menit, usai shalat isyak. Halaqoh usai. Kelas X berkewajiban ikut serta dalam Sekolah Khatib dan Imam (SKIM) Laa Roiba, malam itu, Rabu 17 Juni 2025. “Ini hari kedua, akan kita lanjutkan,” ujar Usatdz Imron Supriyadi, S.Ag, M.Hum, salah satu mentor SKIM Laa Roiba.
“Malam ini belajar lagi seperti kemarin, Tadz?” tanya salah satu santri kelas X.
“Sebelum kita dibungkus kain kafan, jangan pernah berhenti belajar,” ujar mantan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang ini.
“Kepada seluruh kelas sepuluh, yang sudah selesai halaqoh, harap segera menuju Gedung BLK, untuk mengikuti SKIM. Sekian dan terima kasih!” suara santri terdengar dengan pengeras suara Masjid Julaibib, memanggil kelas X agar hadir belajar sebegaimana hari pertama.
Praktik Muqodimah
Belajar di mulai. Satu per satu, peserta SKIM Laa Roiba diwajibkan maju dan praktik membacakan muqodimah, layaknya seorang dai berceramah atau khutbah jumat. Hari kedua, baru sebatas praktik muqodimah. Ada di antara peserta yang enggan maju dan berdiri. Padahal, tinggal dua santri yang belum tampil.
“Di sekolah ini, semua peserta wajib maju ke depan. Soal bisa dan tidak, itu urusan nomor dua. Ayo…maju..maju..Ustadz kawani di depan kelas,” Ustadz Imron memberi semangat, sembari menarik tangan dan memapah bahu peserta agar maju dan tampil.
Tiga Materi
Hari kedua, ada tiga materi dasar dalam pertemuan itu. Ustadz Imron, mentor Publik Speaking di Sumsel ini memberi arahan tentang pentingnya teori “segitiga di depan pusat” dan mata satu jengkal diatas kepala.
“Dua hal ini idak bisa hanya teori, tapi harus dipraktikkan. Makanya di SKIM Laa Roiba, semua peserta wajib tampil dengan segala keterbatasannya,” ujar jurnalis senior di Sumsel ini.
Teori segitiga di depan pusat dan mata satu jengkal diatas kepala, dipraktikkan peserta beriring dengan latihan membaca muqodimah di depan kelas. Satu persatu peserta tampil dan menerapkna teori segitiga di depan pusat dan mata satu jengkal diatas kepala.
Mayoritas, ujar Kepala SKIM Laa Roiba. Ketika seseorang sambutan, berpidato selalu dua tangannya menyilang tak bergerak di depan badan. Atau satu di belakang yang sama sekali tidak berfungsi sebagai gerakan rasa.
“Itu namanya tangan yang mati, tangan yang tak berjiwa. Tangan yang tidak memberi rasa kepada audience, jadinya kaku,” ujarnya, sembari mencontohkan orang berpidato yang tangannya menyilang di depan badan tanpa gerakan. Peserta tertawa spontan melihat garakan kaku itu.
Direkam Video
Semua peserta yang praktik direkam melalui video. Tujuannya, di pertengahan belajar, setelah dua bulan di beri materi akan di evaluasi. Hal ini dilakukan untuk melihat keberhasilan peserta menerima materi.
Rekaman ini sengaja dibuat, untuk mengukur keberhasilan para mentor dan peserta. Di awal pertemuan, semua peserta direkam, tanpa lebih dulu diberi teori. Di pertengahan belajar, setelah diberi materi akan direkam Kembali.
Melalui system ini, tim penyelenggara SKIM, akan bisa melihat, bagaimana hasil sebelum dan sesudah diberi materi. Terakhir, saat ujian sebelum memperoleh sertifikat, akan dilakukan praktik terakhir.
Targetnya, semua peserta, ketika nanti selesai sekolah selama enam bulan, akan benar-benar menguasai skill publik speaking, baik ketika menjadi khatib, imam atau sedang memberi sambutan di depan publik.
“Jadi sertifikat yang didapat benar-benar bisa dipertanggungjawabkan, bukan sebatas pelatihan dua hari kemudian bubar tak berbekas. Selam aini yang terjadi kan seperti itu. Pesertanya sudah biasa tampil. Kalau di SKIM, peserta wajkib belum pernah tampil, sehingga SKIM bisa membentuk peserta!” tegas Ustadz Imron.
Materi hari kedua berakhir setelah waktu menunjukkan pukul 21.30 WIB. Bagi santri PP Laa Roiba kelas X, sengaja dibuka kelas malam, sehingga tidak mengganggu proses belajar mengajar di pagi hingga siang hari.
“Tapi untuk kelas umum, kita buka kelas pagi-siang dan siang-sore. Dua shiff kita buka kelas, dengan satu kelas maksimal lima belas sampai dua puluh peserta. Ini kita lakukan, supaya proses belajar mengajar lebih efektif, dialogis dan hasilnya maksimal. Kita tidak pakai target minimal. Itu terlalu rendah. Kalau kita bisa maksimal, mengapa harus minimal, itu menjadi motivasi kita agar para peserta serius, terlebih lagi para mentor harus dua rius,” tegas mantan mentor public speaking di Palembang ini optimis.**
TEKS : TIM NEWS TV LAA ROIBA | FOTO : DOK.SKIM LAA ROIBA/WAHYUDI DAN NICO