Penulis : Imron Supriyadi
Baru kali pertama saya ketemu. Tapi dengar namanya, sudah sejak Ahmad Mujtaba–yang dikenal–Gus Amu terpilih Ketua PCNU Kabupaten Muaraenim 2018. Adalah Kiai Abdul Majid–orang tua saya–juga sesepuh bagi semua warga di Muaraenim, kemudian “memaksa” saya untuk ketemu dengan Gus Amu.
Menolak ajakan, bagi jurnalis hukumnya “haram”. Jangankan ketemu dengan orang baik, ngopi bareng dengan bajingan sekalipun, bagi jurnalis, anugrah Tuhan–yang tidak sembarang dipilih.
Ini “doktrin” Pemimpin Redaksi saya ; Mas Suparno Wonokromo (alm) ketika tahun 1996, saya belajar di Harian Pagi Sumatera Ekspres dan tumbuh sampai sekarang.
“Siapapun temui, dik. Tak ada kata menolak untuk wartawan. Sebab siapapun dia, adalah sumber berita berharga! urusan siapa dia, layak dan tidak jadi berita, itu nomor dua.Temui dulu ajak ngobrol, gali informasi sebanyak-banyaknya,” ujar Mas Parno, kalau itu.
Ajakan Mbah Majid ketemu Gus Amu kali itu, tidak membuat saya terkejut. Bahkan, ini yang saya bilang anugrah tadi.
Sebab, rencana awal, beberapa pekan sebelumnya, saya dan Mbah Majid baru merancang pertemuan dengan Gus Amu, setelah lebih dulu ketemu dengan Endang Suparmono, Sekretaris PCNU Muaraenim.
Banyak hal yang digagas Mbah Majid, terutama berbincang tentang NU yang kini dikomndoi Gus Amu. Ide-nya membumbung tinggi. Saya hanya mengangguk antusias dengan gagasan Mbah Majid.

“Sebelum ke Gus Amu, kito ngobrol dulu samo Endang, sekretaris NU Muaraenim?” ujar Mbah Majid. “Itu Adab,Im. Kamu kenal Endang, kan?” Mbah Majid memastikan kalau saya “satu napas” dengan Endang. “Insya Allah, kenal, Mbah,” jawab saya pendek.
Bagi saya, Endang bukan orang asing. Sebab sejak gerakan 1998, ketika rezim reformasi kemudian jatuh, saya dan Endang menjadi bagian dari gerakan itu, khususnya di Palembang.
Intensitas pertemuan kami kian rekat ketika saya dan Endang sama-sama dalam satu partai (1999-2024), meski akhirnya kami berdua memilih untuk merdeka dari segala kungkungan sistem–dan memilih “tunduk dan patuh” pada isteri–tentu kami memilih isteri tak pernah kompromi.
“Halo, Assalamu’alaikum!, Ini Endang nak ngomong,” Mbah Majid memastikan historis kami melalui telepon, siang itu.
“Apo kabar Mas Bro!” Endang menyapa saya hangat via telepon.
“Kesinilah, Mas. Mbah Majid dan Gus Amu nunggu sampean, kito ngupi kudai, Ce!,” kalimat Endang meyakinkan Mbah Majid, kalau saya dan Endang benar-benar “tak berjarak” dan “satu irama” sehingga Mbah Majid kali itu tak perlu banyak cerita ke Gus Amu tentang saya.
Endang sebagai orang nomor dua di PCNU Muaraenim, sudah cukup menjadi “rekomendator” kalau saya termasuk orang yang punya “makom” dan layak ketemu dengan Putra Kiai Gerentam Bumi itu.
“Im, ditunggu, Gus Amu, yo! Sekarang kamu ke Rumah Makan Sedehana. Cepet, yo, waktunyo dikit!” Mbah Majid memang begitu kalau dengan saya. Simpel. Jelas. Tegas. Tak harus banyak ba-bi-bu. Jawabnya cuma satu : ya, Mbah, saya luncur ke lokasi, sekarang!. “Klik!” HP langsung non aktif.
Kami ketemu. Suasana santai. Rilek. Gus Amu sangat humble. Baru beberapa menit saya coba berseloroh dengan Endang, untuk memecah “kekakuan” apalagi Gus Amu juga baru kali pertama ketemu muka dengan saya.
Obrolan jadi agak serius ketika kami pindah meja, dan posisi Gus Amu duduk berhadapan simetris dengan saya. Ada banyak hal yang kemudian saya tangkap kali itu dari Gus Amu.
Diantaranya ketika Gus Amu berkisah tentang perilkau aktifis ormas berbasis agama Islam–yang kemudian tingkahnya “tidak agamis” lalu keluar dari nilai-nilai. “Kalau mau berpolitik yang berbasis nilai agama, ya harus kembali pada khittah-nya, jangan agama jadi alat politik, ya rusak lah! ” ujar Gus Amu.
Faktanya ya memang begitu. Ada diantara orang yang belajar agama secara tekstual. Dalam bahasa Gus Mus–agamanya masih daging. Ada pula yang mengajarkan agama lahir dan batin. Tapi tak banyak yang menjadi agama itu sendiri—yakni hadir dengan kelembutan, memeluk dengan hikmah, dan menyembuhkan luka umat tanpa perlu banyak bicara.
Di tengah zaman yang sibuk berteriak soal kebenaran masing-masing, hadir seorang anak muda dari bumi Muara Enim yang lebih suka mengajak pelan-pelan, bukan memaksa cepat-cepat. Namanya ya Gus Amu, yang baru pertama saya ketemu fisik. Ini bukan rencana manusia.
Sebab jauh sebelum Gus Amu dan saya bercengkrama-ngopi bareng (Juni 2025) –kami sudah dipertemukan dalam gelombang–ketika napas kami, Mbah Majid atau siapapun–masih di-Arys (lauhil mahfdz). Perntanyaan awamnya : Kok tidak kemarin-kemarin ketemu?
Kalau meminjam istilah Mbah Majdi–untuk bertemu dengan tukang kambing, harus lebih dulu tertarik dengan kambing. Minimal saat Idul Adha–ada keinginan beli kambing, minimal tanya harga.
“Baru frekuensi-nya sama, antara kamu dengan tukang kambing. Kalau kamu wartawan, ndak pernah bikin berita kambing, yo pasti ndak ketemu. wawancarannya dengan kepala dinas, kades, yo frekuensinya sebatas itu, Im. Jadi Allah mempertemukan kita, ada frekuensi yang sama dulu, supaya nyambung. Persis kayak Radio, Im. Kamu kan wong radio. Coba kalau frekuensinya buruk, tuningnya tidak pas, yo pasti ndak nyambung. Atau pemancarnya satu rendah dan yang satu tinggi. Mungkin nyambung, tapi banyak noice-nya. Sebentar-sebentar putus. Apa aklibatnya? Informasinya dak sampai. Yo, putus-putus!”
Tumbuh dari Pesantren
Jadi melalui media, skenario Allah itu mengantarkan saya untuk membaca sejumlah artikel di media, tentang Gus Amu. Ini menjadi menarik, ketika dalam satu perhelatan politik NU, nama besar KH Denawi Gerentam Bumi muncul. Lagi-lahi Mbah Majid-lah yang ketika di- era 2005-2008, kemudian mengenalkan saya dengan KH Denawi–sampai sowan ke Pesantren Al-Haromain, ketika kami mendapat tugas khusus dari Kepala Kantor Kementerian Agama Muaraenim, Drs H Amuni Hambali–untuk hunting ke Semende–membuat profilkeluarga sakinah. Itu kali pertama saya, dipertemukan dengan Kh Denawi di kediaman beliau.
Selanjutnya secara natural, saya dan Kiai Denawi–dipertemukan melalui berbagai event dan lembaga Penyuluh Agama Islam (PEMAIS) Kementerian Agama Muaraenim. Termasuk ketika kami sama-sama dilembagakan sebagai Dai Kamtibmas–oleh Polres Muaraenim, di zaman Irjen. Pol. (Purn.) Drs. Zulkarnain Adinegara.
Pada perhelatan politik di internal NU Sumsel, nama Gus Amu–sesaat masih asing di telinga saya. Tapi ada nama KH Denawi–saya kemudian tak bisa menghentikan informasi itu. Apa hubungan Gus Amu dan KH Denawi? Baru kemudian saya menghela napas–kaau Gus Amu adalah titisan KH Denawi.
Dari beberapa informasi dan sejumlah artikel yang kemudian saya browsing–menyimpulkan–Gus Amu bukan tokoh dadakan. Ia tumbuh dari tanah pesantren, menyerap ilmu seperti akar pohon menyerap air. Ayahnya, KH. Muhammad Dainawi—yang dijuluki KH. Gerentam Boemi—bukan hanya ulama, tapi juga penyiram hati, terutama hati saya.
Dari tangannya lahir Pondok Pesantren Al-Haramain Al-Islami, yang menjadi rumah ilmu dan rumah pulang bagi banyak orang. Dalam banyak tradisi pesantren, anak kiai biasanya punya dua pilihan: meneruskan pesantren, atau menjadi “figur simbolik” yang hanya muncul di acara-acara resmi.
Tapi Gus Amu memilih jalan ketiga: menjadi bagian dari denyut umat, masuk ke celah-celah kehidupan, tanpa kehilangan akarnya sebagai santri.
Ia menempuh pendidikan di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, bukan untuk mencari gelar, tapi untuk memperluas cakrawala. Di kampus, ia belajar bahwa Islam tidak bisa hanya diajarkan lewat mimbar. Ia harus dihayati, dirasakan, dan dihidupi—dengan santun dan senyum.
Dan di sinilah keistimewaannya. Banyak orang bisa ceramah. Banyak pula yang bisa memimpin organisasi. Tapi tak banyak yang bisa menjadi jembatan antara langit dan bumi.
Gus Amu, dengan tutur yang tenang dan wajah yang teduh, menjadikan agama terasa hangat, bukan menekan. Ia tidak membawa Islam seperti polisi membawa peluit, tapi seperti ibu membawa air hangat untuk anak demam.
Pemimpin yang Tak Takut Menjadi Kecil
Pada tahun 2018, Gus Amu didaulat memimpin PCNU Muara Enim. Tentu banyak yang memandang jabatan ini prestisius. Tapi ia sendiri menganggapnya beban yang harus dijalani dengan rendah hati. “Pemimpin itu seperti air,” katanya suatu hari. “Ia harus mengalir ke bawah, menyentuh akar, bukan diam di atas genteng.”
Apa yang disampaikan Gus Amu bukan hanya kalimat indah. Ia menjalani betul. Ketika banjir melanda kampung, ia bukan datang membawa kamera dan foto. Ia datang membawa pelukan. Ketika umat bingung dengan konflik antar kelompok, ia tak hadir sebagai hakim, tapi sebagai pendengar.
Banyak pemimpin sibuk merancang program yang wah, tapi lupa menyapa yang lemah. Gus Amu justru sebaliknya. Ia sering kali hadir tanpa spanduk, tanpa nama besar. Ia percaya, agama bukanlah billboard, tapi jalan sunyi menuju hati manusia.
Dalam berbagai forum keislaman, ia tidak mengeluarkan istilah rumit. Ia bicara sederhana, tapi menyentuh. Ketika bicara soal ukhuwah, ia tak bicara tentang teori, tapi tentang bagaimana rasanya ketika orang miskin tidak punya teman bicara, dan anak yatim tak punya pelukan.
Membawa NU ke Rumah Rakyat
Nahdlatul Ulama di tangan Gus Amu bukan organisasi yang kaku. Ia menjadikannya tempat pulang bagi umat. Bagi petani, nelayan, guru, pedagang kaki lima, hingga pemuda yang galau.
“NU itu bukan hanya milik orang alim,” ujarnya suatu waktu. “NU milik semua yang mencintai negeri ini, yang ingin hidup damai, dan mau belajar bersama.”
Visi Gus Amu sederhana tapi dalam: NU harus hadir di setiap detak kehidupan umat, bukan hanya di rapat-rapat pengurus. Maka ia membuka NU sebagai ruang dialog, bukan monolog. Menjadi tempat menyambung, bukan memutus.
Di tengah meningkatnya ujaran kebencian, Gus Amu mengajak semua untuk kembali pada hikmah, bukan hanya hukum. Di tengah banyaknya perdebatan tafsir, ia memilih untuk menafsirkan kebaikan dalam tindakan, bukan dalam perdebatan panjang.
Pesantren dan Moderasi
Sebagai pengasuh pesantren, Gus Amu tidak ingin para santri hanya pintar membaca kitab, tapi juga pintar merasakan hidup orang lain. Ia membangun program pesantren yang terbuka terhadap isu-isu sosial, digital, bahkan ekonomi.
Baginya, moderasi beragama itu bukan kompromi, tapi keberanian untuk tidak memihak pada kebencian. Ia menanamkan nilai ini pada santri, bahwa menjadi Muslim berarti menjadi rahmat, bukan beban.
Ia sering mengatakan, “Jangan merasa paling benar. Karena kebenaran yang sejati tidak membuat orang sombong, tapi membuat orang takut menyakiti.”
Dalam forum-forum pemuda, Gus Amu tidak datang dengan gaya menggurui. Ia lebih suka duduk bersila, mendengarkan curhat, dan menyisipkan petuah seperti embun di ujung daun. Lembut tapi masuk.
Jalan Panjang Membangun Umat
Kini, Gus Amu bukan hanya pemimpin NU atau pengasuh pesantren. Ia menjadi simbol dari model kepemimpinan yang merakyat tapi bermartabat, berilmu tapi rendah hati, aktif tapi tidak riuh.
Tantangan ke depan tidak ringan. Dunia Islam dihadapkan pada tantangan globalisasi, radikalisasi, dan digitalisasi. Tapi Gus Amu percaya bahwa akar itu lebih penting daripada suara. Ia terus mengakar ke masyarakat, membangun hubungan emosional, bukan hanya administratif.
Ketika banyak orang berlomba menonjolkan diri, Gus Amu memilih menjadi bayangan yang menyejukkan. Ia percaya, bahwa yang dikenang bukanlah yang banyak bicara, tapi yang banyak hadir di hati umat.
Dan mungkin, dalam diam-diam itu, dalam kerja-kerja kecil itu, Gus Amu sedang membuktikan bahwa agama bisa hidup tanpa harus selalu bicara keras.
Dalam dunia yang makin cepat dan bising, kita perlu lebih banyak tokoh seperti Gus Amu. Tokoh yang tidak hanya bicara soal Tuhan, tapi juga berjalan bersama manusia. Yang tidak hanya paham kitab, tapi juga paham luka. Yang tidak hanya mengisi podium, tapi juga mengisi ruang-ruang kosong dalam hati umat.
Akhirnya, seperti yang sering dikatakan Gus Mus:
“Kadang, agama itu terlalu besar untuk diurusi orang-orang yang suka membesar-besarkan diri.”
Dan di tengah mereka, Gus Amu hadir—bukan untuk membesarkan diri, tapi membesarkan cinta dan harapan umat.**
Palembang – Muaraenim, 2023-2025