Prof Romli, S.A – Yang Tak Pernah Menyebut Dirinya, Tapi Menjadi Segalanya

Selamat Jalan Guru Kehidupan....

AGAMA, BUDAYA, Islam, Seni25 Dilihat

Puisi Imron Supriyadi 

Yang Tak Pernah Menyebut Dirinya, Tapi Menjadi Segalanya

(Untuk Guru Kami, Prof. H. Romli S.A.)

Di hari Sabtu,
ba’da Isya yang sunyi,
angin membawa kabar,
bahwa satu bintang telah kembali ke langitnya.

Bukan suara gemuruh yang menyambut,
bukan denting lonceng atau dering alarm dunia,
tapi doa-doa diam,
air mata yang gugur satu-satu di sajadah ilmu,
dan dada-dada murid yang tiba-tiba kosong.

Kami menyebutmu: Guru.
Tapi engkau tak pernah menyebut dirimu.
Tak pernah berkata: “Aku ini Muhammadiyah.”
Tapi dunia tahu,
engkau adalah Muhammadiyah itu sendiri.
Bukan karena jabatan,
tapi karena laku yang menanam iman
di ladang akal sehat dan akhlak mulia.

Rumahmu di Balayuda,
tempat aku mengetuk dua kali seminggu.
Bukan meminta,
tapi menjemput makalah—
yang entah mengapa,
selalu terasa seperti menjemput api suci
yang siap menerangi kelas dan jiwa.

Kau ajar kami Ushul Fiqh,
tapi sesungguhnya kau ajarkan hidup.
Bahwa ilmu itu bukan hafalan,
tapi keikhlasan untuk terus bertanya
dan rendah hati untuk menerima jawaban.

Kau bilang:
“Tak usah malu jadi marbot,
kalau itu jalan kepada Allah.”
Kau jalani sendiri nasihatmu,
bukan dari menara gading,
tapi dari lantai masjid yang dingin.
Itulah sebabnya suaramu lebih keras
meski tak pernah berteriak.

Kau pernah menepuk bahuku,
bukan untuk memberi gelar,
tapi menguatkan semangat:
“Menulis berita itu tugas,
mengajar ngaji itu kewajiban.
Jangan pernah merasa rendah jadi guru ngaji.”
Dan kalimat itu, Prof,
menjadi penopang di hari-hari ketika dunia
terlalu gaduh untuk mendengar bisikan kebenaran.

Engkau mendidik,
bukan membentuk boneka,
tapi membesarkan kader yang bisa berdiri,
bisa berpikir,
bisa hidup dan menghidupi orang lain.

Kau tak alergi debat,
tapi juga tak pelit menguatkan.
Bila kami salah, kau luruskan.
Bila benar, kau dukung.
Bila ragu, kau bimbing.
Dan bila keras kepala,
kau dekati dengan hati.

Engkau wafat, Prof,
tapi jejakmu tak pernah padam.
Kami masih mencatat,
masih mengutip,
masih mengulang kalimatmu
seperti doa pagi dan dzikir malam.

Kau bilang:
“Pendidikan kita lumpuh karena nilai kejujuran mati.”
Dan itu kau ucap
dengan sedih,
tapi juga dengan semangat untuk membangunkan kembali
generasi yang tertidur di ruang kelas yang disesaki janji palsu.

Kami tahu,
ada satu tugas yang belum kami tunaikan:
biografi yang tertunda,
kisah hidupmu yang terlalu besar
untuk hanya ditulis dengan pena.
Tapi kami berjanji,
di antara berita dan ngaji,
kami akan menulisnya
dengan tinta cinta dan dakwat keteladanan.

Engkau pergi, Prof,
tapi tak pernah lenyap.
Engkau telah menyalakan obor,
dan kami muridmu,
akan menjadi penjaga cahaya itu.
Agar terus hidup,
agar tetap hangat,
agar tak padam di tengah zaman yang beku dan keliru.

Selamat jalan,
guru yang tidak hanya mengajar,
tapi membimbing kami
menjadi manusia.

Semoga Allah menyambutmu
sebagaimana engkau menyambut kami di kelas:
dengan senyum, dengan ilmu, dengan kasih,
dan tanpa pernah menghakimi.

**

Al-Fatihah untukmu, Prof. Romli.

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Civitas UIN Raden Fatah Palembang Berduka: Kehilangan Guru, Kehilangan Teladan
Orang Baik Itu Telah Pulang : Catatan Murid untuk Guru Kehidupan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *