PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Sabtu malam, 14 Juni 2025, pukul 19.17 WIB, Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang berkabung. Memanggil salah satu figur intelektual terkemuka di Sumatera Selatan: Prof. Dr. H. Romli S.A., M.A. Kepergiannya tidak hanya meninggalkan ruang kelas kosong, tetapi juga kekosongan spiritual di hati ribuan mahasiswa, kolega akademik, dan para kader Muhammadiyah.
Menurut Mgs. M. Randicha Hamandia, S.Kom.I., M.Sos., CDS, CSP, CPM—Kaprodi KPI UIN Raden Fatah sekaligus eks mahasiswa beliau—Prof. Romli dikenal bukan sekadar guru, tetapi mentor yang merawat generasi muda dengan kepedulian luar biasa. “Beliau tak pernah membiarkan mahasiswa kesulitan, misalnya saat hendak mengikuti Pekan Ilmiah di Makassar: beliau mencarikan transportasi pesawat agar kami bisa berangkat layak,” kisah Dika, penuh haru.
Dari Desa Kotomuaro ke Menara Ilmu
Lahir 10 Desember 1957 di Kotomuaro, Padang Pariaman, Prof. Romli hanyalah anak biasa dari pasangan sederhana—Tengku Said Ali dan Nurbaiti. Ia menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Palembang, sebelum mengambil studi Syariah di IAIN Raden Fatah, lulus S1 tahun 1983 pada jurusan Jinayah Siyasah. Tak puas sampai situ, dalam hitungan tahun ia mengenyam S2 Syariah di Banda Aceh (1994), dan doktoralnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1999), dengan disertasi mengenai teori illat dalam hukum Islam.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Orang Baik Itu Telah Pulang : Catatan Murid untuk Guru Kehidupan
Yang Tak Pernah Menyebut Dirinya, Tapi Menjadi Segalanya
Sejak 1986, ia menjadi pengajar tetap Ushul Fiqh, membidani injung ilmu syariah di kampus yang sama. Ia juga pernah menjabat dekan Fakultas Agama Islam, pembantu rektor IAIN Raden Fatah, hingga menjadi Ketua Dewan Kehormatan di kampus ini—posisi yang menegaskan integritas akademiknya.
Sosok Dedikasi dan Rohani Sosial
Bukan hanya cendekiawan, Prof. Romli juga dikenal sangat sosial dan humanis. Kepekaannya terhadap kesulitan mahasiswa tercermin dalam kebijakan “reviewer kinerja” yang tidak memberatkan. Ketika dana minim mengancam partisipasi mahasiswa dalam kegiatan ilmiah, beliau memberikan solusi praktis.
Kepribadian inilah yang melekat kuat di ingatan Dika dan banyak mahasiswa lain—guru besar yang tak menempatkan diri di menara gading, melainkan turun ke lorong-lorong kehidupan mahasiswa untuk memastikan tanggung jawabnya sebagai pendidik tercapai.
Jejak Organisasi dan Kaderisasi
Prof. Romli adalah figur mobilisasi kemanusiaan. Di bawah naungan Muhammadiyah Sumsel, ia aktif sejak 1979—dari Ketua HMI Syariah hingga berbagai posisi di Pemuda Muhammadiyah, MUI, hingga Dewan Pengawas Syariah di Bank Sumsel Syariah dan Rumah Sakit Muhammadiyah.
Konsepsi beliau seputar “kejujuran dalam pendidikan” tak sekadar retorika. Dalam wawancara majalah Warta Dakwah (Sept 2015), beliau lantang menyatakan: “Pendidikan kita lumpuh karena nilai kejujuran mati… banyak anak lulus karena pesanan.” Kritik sosial yang tajam, tapi dibalut empati dalam semangat perubahan.
Langkah Awal dan Warisan Abadi
Selain menjadi dosen, beliau aktif menulis. Buku Muqarranah Mazahib Fil Ushul, Ushul Fiqh 1 & 2, hingga artikel-artikel di jurnal Intizor dan Nurani, serta rubrik agama di Sriwijaya Post. Ia juga mengemban tanggung jawab sebagai Pemimpin Umum Warta Dakwah Muhammadiyah.
Pada 2008, ia mengajak Imron Supriyadi—jurnalis sekaligus redaktur—mengelola majalah tersebut hingga 2013. Mereka merancang buku biografi beliau, yang masih menjadi amanah untuk diselesaikan.
Wafatnya Seorang Guru: Refleksi dan Amanah
Dalam setiap peran: pendidik, peneliti, kader, penulis, dan pemimpin masyarakat—Prof. Romli menyatu dalam integritas. Gaya kepemimpinanannya lembut tapi tegas; suara pemikiran kritisnya tajam tapi penuh hormat; visinya tentang pendidikan bukan hanya numerik, tapi juga moral.
Kepulangannya adalah kehilangan besar bagi UIN Raden Fatah, Muhammadiyah Sumsel, dan dunia akademik pada umumnya. Namun warisannya—dalam bentuk buku, artikel, nilai-nilai kejujuran, dan ribuan alumni yang kini berkiprah—akan terus menjadi lentera bagi generasi selanjutnya.
Epilog
Prof. Dr. H. Romli S.A., M.A. telah meninggalkan dunia lahiriah. Namun ia telah menanamkan benih-benih kejujuran, ketekunan, dan kemanusiaan dalam sekian banyak anak bangsa.
Di saat duka ini, hal terbaik yang bisa dunia akademik dan masyarakat lakukan adalah menjaga dan melestarikan nilai-nilai beliau—keadaban yang bersahaja, sinar yang terang, yang tak pernah padam meski ia telah berpulang.