Empat Pulau, Luka yang Terbuka Kembali

Keputusan Jakarta yang Membuka Urat Sakit di Ujung Barat Indonesia

JAKARTA | KabarSriwijaya.NET – Suatu pagi yang tak terlalu berbeda di bulan Juni, Aceh kembali merasa dicubit. Kali ini bukan karena isu eksploitasi tambang atau gejolak politik lokal. Tapi lantaran empat pulau kecil di ujung Kabupaten Aceh Singkil, yang selama ini diyakini sebagai bagian dari wilayah Aceh, mendadak—lewat sepucuk surat dari Jakarta—dinyatakan milik administrasi Sumatera Utara. Nama-nama itu: Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Besar dan Mangkir Kecil—mungkin asing di telinga banyak orang Jakarta, tapi tidak di hati orang Aceh.

“Jangan lagi buka luka lama,” suara legislator asal Aceh, Muslim Ayub, terdengar berat dan lantang di ujung telepon, Rabu (11/6/2025). “Pulaunya dicaplok. Bukan main-main.”

Surat keputusan itu datang dari Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, mengatur pemutakhiran data wilayah pemerintahan. Tak banyak basa-basi. Keempat pulau itu kini secara administratif masuk Sumatera Utara. Alasannya: kajian geospasial dan batas wilayah berdasarkan peta darat. Titik.

Pengamat sarankan 4 Pulau Singkil dikembalikan ke Aceg. (Foto: iStockphoto/ishak mutiara)

Tapi Aceh bukan sekadar peta. Bagi banyak orang di Serambi Mekkah, keputusan ini lebih dari sekadar urusan kartografi. Ini menyangkut sejarah, psikologi, dan luka yang belum sembuh.

Aceh, seperti sejarah mencatat, bukan provinsi yang mudah dilipat dalam meja birokrasi Jakarta. Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berdiri pada 1976, berangkat dari rasa ketidakadilan: sumber daya alam yang dieksploitasi, dan politik identitas yang disingkirkan. Gerakan bersenjata itu baru reda pasca-tsunami 2004 dan lahirnya Perjanjian Helsinki setahun kemudian. Aceh diberi otonomi khusus, hak membentuk partai lokal, dan kontrol terhadap sumber daya.

Kini, ketika luka-luka itu mulai menebal jadi bekas, keputusan sepihak dari Jakarta terasa seperti mengorek-ngorek bekas luka itu lagi. Humam Hamid, Guru Besar Sosiologi Universitas Syiah Kuala, menyebut langkah Mendagri sebagai “mental kolonial”. Ia melihat pergeseran batas itu tak sekadar persoalan garis pada peta, tapi menyentuh urat dalam: imaji kebangsaan dan harga diri masyarakat Aceh.

BACA BERITA LAINNYA :

Empat Pulau, Harga Diri : Aceh Menolak Berunding

“Ini seperti zaman Belanda. Tarik garis, tanpa peduli isi hati orang di balik garis itu,” katanya.

Humam menyarankan agar Tito membuka kembali lembaran sejarah Aceh. Mungkin, jika sempat, berkonsultasi pada tokoh-tokoh yang tahu betul bagaimana damai itu diperjuangkan: Jusuf Kalla, Susilo Bambang Yudhoyono—orang-orang yang menandatangani perdamaian dan merajut ulang Aceh dalam bingkai Republik.

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. (Arsip Puspen Kemendagri)

Tito punya argumen sendiri. Ia bilang, batas darat antara Aceh Singkil dan Tapanuli Tengah sudah diteliti oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI AL, dan Topografi AD. Dari situ, keempat pulau itu diputuskan masuk Sumut. Tapi ia sadar, tak semua pihak bisa menerima.

“Kami terbuka. Kalau ada yang mau gugat ke PTUN, silakan,” katanya di kompleks Istana, Jakarta, Selasa (10/6).

Nada dingin itu langsung dikritik. Trubus Rahadiansyah, pengamat kebijakan publik, menyebutnya sebagai bentuk arogansi birokrasi. “Ini bisa memanas. Bukan saatnya bicara lewat jalur hukum. Ini harusnya duduk bareng, bicarakan baik-baik,” ujarnya.

Bahkan Dede Yusuf, Wakil Ketua Komisi II DPR, merasa perlu menyarankan jalan tengah: bentuk tim verifikasi bersama, libatkan tokoh masyarakat, dan jangan keluarkan keputusan soal eksplorasi sumber daya apa pun sampai semua pihak sepakat.

“Yang penting bukan legalitas. Tapi legitimasinya di mata rakyat,” katanya, Jumat (13/6).

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, coba tampil tenang. Ia mengakui tak ada gunanya debat panjang jika keputusan tetap berada di tangan Jakarta. Tapi ia membuka diri jika harus duduk bersama.

“Kalau mau dibahas, ayo sama-sama. Tapi keputusan ya di pemerintah pusat,” katanya di Medan, Kamis (12/6).

Kunjungannya ke Aceh beberapa waktu lalu pun bukan, katanya, untuk membicarakan kerja sama pengelolaan pulau. Hanya ingin membuka ruang diskusi.

Tapi publik Aceh melihatnya lain. Di banyak tempat, aroma luka lama yang mengambang kembali. Keputusan ini dinilai datang terlalu cepat, terlalu sepihak, dan terlalu menyepelekan perasaan kolektif warga yang puluhan tahun hidup dalam bingkai keistimewaan dan sejarah berdarah.

“Pak Prabowo harus turun tangan,” ujar Humam. Ia yakin Presiden baru itu tahu benar relung-relung perasaan orang Aceh, setidaknya karena kedekatannya dengan mantan Panglima GAM, Muzakir Manaf. “Tito harusnya ngerti, harusnya ngerti itu.”

Empat pulau itu kecil. Tapi bagi banyak orang Aceh, tak ada pulau yang terlalu kecil bila sudah menjadi bagian dari harga diri. Jakarta boleh melihatnya sebagai garis batas di atas peta. Tapi rakyat Aceh melihatnya sebagai batas antara dihargai dan diabaikan.

TEKS : AHMAD MAULANA  | EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *