Kurban yang Tak Selalu Berbentuk Sapi

Mampukah kita menyembelih rasa nikmatnya tidur, hanya untuk bangun dan salat Subuh?

Penulis : Imron Supriyadi

Saya tidak tahu persis berapa jumlah orang yang salat Idul Adha di Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, Palembang, pagi itu, Jumat (6 Juni 2025). 

Tapi saya tahu satu hal: yang datang bukan sekadar untuk salat. Mereka datang untuk mengenang ulang — sebuah peristiwa spiritual ribuan tahun lalu, yang terus hidup lewat seekor hewan kurban.

Tahun ini, Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, datang bersama wakilnya, Prima Salam. Lengkap dengan istri dan para pejabat. Duduk bersama masyarakat biasa. Membaur. Tidak ada jarak. Dan itu baik.

Tapi yang lebih penting dari kehadiran itu adalah pesan yang dibawa.

Setelah salat, Ratu Dewa menyampaikan sesuatu yang mungkin terdengar sederhana, tapi tidak mudah dilakukan dalam dunia birokrasi: pengorbanan waktu, pikiran, bahkan kenyamanan pribadi demi kepentingan bersama.

“Pemerintahan pun butuh pengorbanan,” katanya.

Ucapan itu tidak perlu diterjemahkan. Semua orang tahu, pemerintahan hari ini seringkali menjadi tempat orang berlindung dari rasa bersalah, bukan malah tempat untuk merasa bersalah karena tak cukup melayani. Maka saat seorang kepala daerah bicara soal pengorbanan, kita patut berharap, jangan-jangan memang ada yang berbeda di baliknya.

Tapi pagi itu bukan hanya soal wali kota. Juga bukan soal jumlah sapi yang akan dikurbankan. Tahun ini panitia Masjid Agung mencatat 14 ekor sapi dan 16 ekor kambing. Lebih banyak dari tahun lalu. Jumlah yang cukup untuk menunjukkan, bahwa semangat berbagi masih hidup — meski harga sembako naik, dan kadang hati masyarakat ikut sesak.

Lalu saya terdiam cukup lama saat mendengar ceramah dari Ustadz Mukmin Zainal Arifin. Ceramah yang tidak dibuat-buat. Tidak banyak kutipan Arab yang rumit. Tidak banyak ancaman surga dan neraka. Tapi ada satu kalimat yang menggigit:

“Mampukah kita menyembelih rasa nikmatnya tidur, hanya untuk bangun dan salat Subuh?”

Saya rasa itulah inti Idul Adha hari ini. Bukan soal sapi. Bukan soal kambing. Tapi soal apa yang sanggup kita korbankan dalam hidup yang semakin sibuk dan serba cepat ini.

Kita bisa saja kurban sapi seharga belasan juta. Tapi kita tetap bisa merasa bangga, sekaligus tetap pelit pada waktu, perhatian, dan empati. Kita bisa foto bersama hewan kurban lalu mempostingnya dengan caption religius. Tapi tetap enggan menyembelih ego saat berhadapan dengan pasangan. Atau menyembelih kesombongan saat menghadapi kritik dari bawahan.

Idul Adha selalu datang sebagai pengingat. Bahwa iman bukan untuk dikhotbahkan. Tapi dibuktikan — lewat tindakan, bahkan diam.

Ustadz Mukmin juga mengatakan bahwa takwa bukan sesuatu yang berhenti di masjid. Ia harus hidup di ruang rapat, di jalanan, di kantor pelayanan, bahkan di ruang sidang anggaran. Sayangnya, banyak dari kita lebih takut pada CCTV daripada pada Tuhan.

Sungguh, kita bisa membangun masjid terbesar sekalipun. Tapi jika tidak ada kejujuran di dalamnya, maka yang terdengar hanya gema takbir, bukan gema kesadaran.

Saya membayangkan, jika para pejabat juga menganggap penandatanganan dokumen penting sebagai bentuk kurban. Jika para guru melihat kesabaran mendidik anak-anak yang keras kepala sebagai bentuk kurban. Jika para orang tua menyembelih keinginan untuk marah-marah setiap hari sebagai bentuk kurban. Mungkin dunia ini akan terasa lebih lapang.

Kurban tidak selalu berbentuk hewan. Kadang ia berbentuk diam saat kita mampu membalas. Atau memaafkan meski kita punya alasan untuk marah. Atau tetap memberi saat tahu tidak akan pernah dibalas.

Usai salat, Ratu Dewa dan para pejabat meninjau hewan kurban. Warga menyambut. Anak-anak menatap dengan rasa ingin tahu. Mungkin bagi mereka, Idul Adha hanya tentang daging dan sate. Tapi kelak, ketika dewasa, mereka akan tahu bahwa kurban paling penting adalah saat mereka belajar menahan diri.

Dan itu tidak bisa dibeli.

Palembang pagi itu tidak hanya merayakan Idul Adha. Tapi juga memberi contoh bahwa pemerintah pun bisa ikut bersujud. Bukan karena politik. Tapi karena sadar: tugas utama bukan hanya membangun kota, tapi juga menjaga jiwanya.

Saya pulang dari masjid dengan satu pertanyaan yang terus bergema:

“Apa yang sudah saya kurbankan tahun ini?”

Dan saya belum bisa menjawabnya dengan yakin.

Palembang – Muaraenim, 7 Juni 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *