Muaraenim | KabarSriwijaya.NET– Hari itu, langit Muara Enim tak sepenuhnya cerah, tapi halaman Pondok Pesantren La Roiba penuh cahaya lain. Kamis, 15 Mei 2025, pesantren yang baru berusia enam tahun itu tak sekadar merayakan usia. Ia sedang menandai tekad: menjadi pelita dalam zaman yang gelap oleh arus tanpa arah.
Meneguhkan Makna
Milad ke-6 La Roiba bukan pesta, melainkan ikhtiar meneguhkan makna. Diwakili Kabag Kesra, Iskandar, S.Kom, M.M, Bupati Muara Enim, H. Edison, SH, M.Hum, menyampaikan pesan yang melampaui seremoni: bahwa para santri bukan hanya murid agama. Mereka harus menjadi pionir zaman—menyambut gelombang teknologi, bukan menyingkir darinya.
“Santri hari ini,” ujar Iskandar dalam sambutan yang tenang namun tegas, “bukan lagi sekadar penjaga tradisi. Ia mesti paham algoritma, bukan hanya alfiyah. Media sosial dan teknologi bukan lawan. Mereka adalah alat—untuk dakwah, untuk menyampaikan nur ilahi dalam bahasa dunia.”
BACA BERITA TERKAIT LAINNYA :
- Laa Roiba dan Sebuah Sekolah Bernama Harapan
- Terbit “Menyemai Cahaya Kata” Buku “Anti Grogi” MC, Khatib dan Imam
- Sekolah Khatib & Imam La Roiba : Membaca Dakwah dari Akar Rumput
Dalam suasana yang lebih reflektif ketimbang seremonial, peluncuran program Sekolah Khatib dan Imam (SKIM) menjadi tajuk penting. Disampaikan langsung oleh Kepala Sekolah SKIM, Imron Supriyadi, S.Ag., M.Hum, program ini diharap bukan hanya melahirkan penceramah, tapi pemikir yang mampu membaca zaman dan mengajak umat merenungi makna hidup yang melaju cepat.

Hari itu, La Roiba tidak hanya bicara. Ia menampilkan: dari tarian wibawa santri MI, MTs, hingga Madrasah Aliyah, hingga panggung yang dibakar sunyi oleh Teater Batu Hitam. Naskah bertajuk Lentera Gulita, karya Imron Supriyadi, tak menyuguhkan tontonan. Ia menyodorkan pertanyaan-pertanyaan tak sederhana: tentang cahaya dalam dunia yang kehilangan arah, tentang suara dalam gelap yang terlalu ramai.
Di antara jeda tepuk tangan dan pembacaan prestasi santri, suasana berubah pelan menjadi senyap. Pendiri dan Pimpinan PP La Roiba, KH Taufik Hidayat, S.Ag., M.Hum., bersama sang istri Hj. Tina Taufik Hidayat, menyematkan apresiasi kepada santri terbaik. Namun bukan piala yang jadi inti, melainkan pengakuan: bahwa belajar adalah jalan pulang menuju cahaya.
Bukan dari Gedung
Tampak hadir Mad Nawi dan Siti Royuna—ayah dan ibu Kiai Taufik. Wajah mereka menjadi cermin sejarah, bagaimana sebuah pesantren dimulai bukan dari gedung, tapi dari harapan orangtua yang tidak ingin anak-anaknya hilang arah.
Acara ditutup dengan doa dan muhasabah. Namun, ini bukan sekadar formalitas. Ketika Kiai Taufik memimpin dzikir dan tangis mulai jatuh, suasana berubah menjadi lantai pengakuan. Di bawah tenda, di atas tanah yang biasa, gema “Astaghfirullah” terdengar seperti ratap umat yang ingin kembali suci.
Tak ada orkestra. Hanya suara lirih, putus-putus, dari dada jamaah yang tergetar. Lalu satu demi satu mereka maju, menaruh uang di kotak donasi. Bukan karena disuruh, tapi karena merasa terpanggil—untuk membangun Masjid R Hasan di Pesantren La Roiba 2, Desa Panang Jaya.
Tuhan Tak Membiarkan Kebaikan
“Yakinlah,” kata Kiai Taufik sambil menatap hadirin, “tak ada kebaikan yang dibiarkan Allah berlalu tanpa jawaban. Mari kita bangun rumah Allah, dan semoga kelak, Allah bangunkan untuk kita istana di surga.”
Kian hikmat acara itu ketika dihadiri sejumlah tokoh agama, utusan ormas Islam, unsur pemerintah di Kabupaten Muara Enim, perwakilan unsur tripika di Kecamatan Muaraenim, jemaah pengajian dari berbagai masjid dan mushola, binaan para ustadz dari PP La Roiba, para donatur PP La Roiba, perwakilan kolega dari BUMN, BUMD se-Kabupaten Muarenim, di warga sekitar di Kecamatan Muaraenim, beserta sebagian wali santri, baik dari dalam maupun luar Muaraenim.
TEKS : WARMAN P | EDITOR : T. PAMUNGKAS