Gus Amu : Menyemai Islam dengan Hati, Merawat Umat dengan Cinta

Ia menjelma menjadi mata air kecil yang mengalir ke ladang-ladang sosial dan kemasyarakatan

MUARAENIM | KabarSriwijaya.NET — Di tengah gemuruh zaman yang kadang terlalu bising oleh ambisi, hadir seorang anak muda dari bumi santri yang berjalan pelan tapi pasti—membawa sejuk kepada umat, bukan dengan suara keras, tapi dengan keteladanan yang lembut. Namanya Ahmad Mujtaba. Tapi masyarakat lebih akrab menyapanya dengan hangat: Gus Amu.

Bukan sekadar nama, apalagi gelar. Gus Amu adalah potongan kisah dari sebuah keluarga ulama, suluh dari seorang kiai yang dikenal dengan nama KH. Gerentam Boemi—sebuah nama yang terdengar seperti guntur tapi isinya mata air. Ayahandanya, KH. Muhammad Dainawi, mendirikan Pondok Pesantren Al-Haramain Al-Islami, tempat ilmu dan cinta dijahit menjadi satu.

Aroma Kitab Kuning

Maka, tak aneh jika Gus Amu sejak kecil sudah akrab dengan aroma kitab kuning dan lantunan doa di langit-langit langgar. Tapi yang istimewa darinya bukan sekadar karena dia anak kiai, melainkan karena dia memilih untuk tidak sekadar mewarisi, tapi juga memaknai dan menghidupkan.

Ia kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, menggenggam gelar Magister dalam Studi Islam. Tapi ilmu di bangku kuliah hanya menjadi jembatan bagi ilmu kehidupan yang lebih luas: ilmu menjumpai manusia, ilmu mendengar keluhan umat, ilmu meraba luka bangsa.

Ahmad Mujtaba, (Gus Amu) Ketua PC Nahdlatul Ulama Kabupaten Muara Enim (Foto.muaraenimonline.com)

Dan dari situ, Gus Amu tidak hanya tumbuh menjadi seorang akademisi. Ia menjelma menjadi mata air kecil yang mengalir ke ladang-ladang sosial dan kemasyarakatan. Ia tidak tinggal di menara gading. Ia menyapa petani, mendengar nelayan, menuntun santri, dan merangkul pemuda.

Amanah Diperpanjang

Sejak 2018, Gus Amu diberi amanah untuk memimpin Nahdlatul Ulama (NU) di Kabupaten Muara Enim.

Lalu pada 2023, amanah itu diperpanjang lagi—sebab umat butuh pemimpin yang tak hanya bisa memerintah, tapi juga bisa mengerti. Bukan yang memaksa, tapi yang menginspirasi.

Dalam pidato pelantikannya, ia berkata:

“NU bukan sekadar organisasi. Ia adalah rumah besar bagi umat. Tempat pulang yang memeluk, bukan mengecam.”

Kalimat itu bukan sekadar retorika. Ia menjadikannya jalan hidup. Di tangannya, PCNU Muara Enim bergerak menjadi rumah yang terbuka, menjawab zaman dengan dialog, bukan prasangka. Menjadi wadah yang tak menakut-nakuti dengan neraka, tapi menuntun umat ke jalan cinta dan keselamatan.

duduk lesehan di teras rumah warga

Masyarakat mengenal Gus Amu sebagai sosok ramah dan sederhana. Ia tak sungkan duduk lesehan di teras rumah warga, mendengar keluh kesah mereka seperti mendengar suara langit. Ia tak segan turun ke lokasi bencana, membawa bantuan dan pelukan doa.

Ia percaya, pemimpin itu bukan orang yang dilayani. Tapi orang yang hadir saat umat tak lagi punya harapan.

“Pemimpin itu bukan yang duduk di belakang meja. Tapi yang mengulurkan tangan di tengah debu,” ujarnya suatu hari, seusai menyalurkan bantuan untuk korban kebakaran di pelosok desa.

Selain kepeduliannya, Gus Amu dikenal piawai dalam berbicara dan menjelaskan Islam dengan bahasa yang mudah dicerna—bukan hanya oleh santri, tapi juga oleh anak muda yang galau, ibu-ibu di pasar, hingga para pengusaha yang mencari arah hidup.

membawa mimpi besar

Ia bukan ulama yang kaku. Tapi ulama yang mampu memeluk perubahan. Islam di tangannya tidak menjadi beban yang menakutkan, tapi menjadi lentera yang menuntun jalan.

Visi Gus Amu tidak hanya berhenti di Muara Enim. Ia membawa mimpi besar: memperkuat peran pesantren, menanamkan moderasi, dan memberdayakan ekonomi umat.

Pesantren baginya bukan hanya tempat menghafal kitab, tapi tempat mengasah empati dan membangun masa depan. Ia ingin santri tidak hanya fasih bicara fikih, tapi juga cakap dalam dunia digital, agribisnis, dan teknologi.

menjadi label eksklusif

Ia ingin Islam tidak menjadi label eksklusif, tapi menjadi jalan kebersamaan. Jalan di mana orang bisa menemukan harapan, bukan sekadar hukum.

“Kita harus bergerak bersama. Membangun umat yang kuat, sejahtera, dan penuh keberkahan,” katanya dalam satu forum, dengan suara yang tak meninggi, tapi masuk ke hati.

Ahmad Mujtaba, atau Gus Amu, bukan hanya pemimpin. Ia adalah narasi. Narasi tentang bagaimana Islam bisa hadir dalam cinta, dalam kerja, dalam senyum dan air mata umat. Ia bukan cahaya yang menyilaukan, tapi pelita yang menenangkan.

Dalam dunia yang gaduh oleh debat identitas dan kehilangan arah, Gus Amu datang seperti doa yang dijawab—menyemai Islam dengan hati, merawat umat dengan cinta.

TEKS : AHMAD MAULANA  |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *