Kelenteng, Keramahan, dan Negara yang (Akhirnya) Hadir

Kelenteng Wie Leng Keng Simbol spiritualitas umat Buddha Tridharma

Oleh: Imron Supriyadi

Sabtu pagi, 23 September 2023, langit Palembang teduh menyambut gema dupa yang menguar dari Kelenteng Wie Leng Keng. Wajah tua rumah ibadah itu kini tampil baru—dinding merah menyala, ornamentasi emas menyilaukan, dan arsitektur Tionghoa yang kembali utuh setelah bertahun-tahun menanti pemugaran. Di balik riuh tepuk tangan peresmian, terpatri satu pesan yang pelan tapi kuat: negara hadir.

Sebagai salah satu jurnalis di Palembang, ikut menyaksikan langsung peristiwa kecil yang maknanya besar ini. Kelenteng Wie Leng Keng tidak hanya bangkit sebagai bangunan fisik, tetapi juga sebagai simbol spiritualitas umat Buddha Tridharma yang selama ini berdiri dalam sunyi dan setia.

Kementerian Agama, melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, Bapak Supriyadi, datang tak hanya membawa sambutan, tetapi juga membawa harapan: agar pelayanan terbaik diberikan kepada setiap umat, tanpa kecuali. “Layanilah umat dengan penuh kasih,” pesan beliau, “agar mereka hadir dengan damai dan pulang dengan bahagia.”

BACA ARTIKEL TERKAIT :

Peresmian Kelenteng Wie Leng Keng: Negara Hadir, Kerukunan Dikuatkan

 

Ungkapan itu terdengar sederhana, tetapi di negeri yang kadang lupa bagaimana cara menjadi rumah untuk semua, ajakan itu seperti getaran genta suci: mengingatkan, menegur, sekaligus menyentuh.

Membangun Rumah, Merawat Jiwa

Tempat ibadah bukan sekadar bangunan—ia adalah rumah bagi jiwa. Memugar kelenteng bukan hanya soal menambah tiang dan mengecat ulang dinding. Lebih dari itu, kita memugar ingatan kolektif, kepercayaan umat, dan relasi kemanusiaan. Dalam setiap ukiran naga dan singa, terdapat kisah ketekunan, pengorbanan, dan keyakinan yang tidak pernah padam, bahkan ketika langit belum selalu ramah.

Maka, kehadiran Kelenteng Wie Leng Keng dalam wajah barunya adalah peristiwa kebudayaan. Ia mencerminkan kerja sama antara Yayasan Wibawa Sakti, umat Buddha, pemerintah, dan aparat keamanan. Sebuah kerja kolaboratif lintas sektor yang, jika dipelihara, akan melahirkan rumah ibadah yang bukan hanya sakral, tetapi juga terbuka, ramah, dan membangun peradaban.

Pak Dirjen menekankan hal ini dengan jernih: bahwa tugas pengurus kelenteng bukan hanya menjaga fisik bangunan, tetapi menjadikannya tempat pembinaan umat. Tempat bertumbuhnya nilai-nilai damai, welas asih, serta pengabdian pada sesama.

Ketika Negara Menjadi Sahabat

Dalam beberapa dekade, kita pernah menyaksikan rumah ibadah menjadi titik ketegangan. Regulasi sulit, izin dibatasi, dan kecurigaan datang dari pintu-pintu yang mestinya terbuka. Tapi hari itu, negara tidak datang membawa pengawasan. Negara datang membawa perlindungan.

Kapolda Sumatera Selatan, Irjen Pol A. Rachmad Wibowo, dan Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono, hadir tidak dalam kapasitas penjaga formalitas, tapi sebagai penjamin keamanan batin. Dari Kementerian Agama Sumsel, Dr Syafitri Irwan, S.Ag, M.Si, menyampaikan terima kasih atas peran aparat yang menjaga rumah ibadah sebagai ruang damai, bukan ruang waswas.

Inilah wajah Indonesia yang kita rindukan: negara sebagai pelayan, bukan penguasa. Negara sebagai penjamin harmoni, bukan sekadar pengatur seremoni. Dan rumah ibadah sebagai ruang spiritual sekaligus ruang sosial—tempat di mana keberagaman menjadi harmoni, bukan ancaman.

Di Balik Dupa dan Genta

Saya melihat seorang anak kecil mendekap dupa dengan khidmat. Ia belum tahu siapa Dirjen, siapa Kapolda, dan apa itu pemugaran. Tapi ia tahu satu hal: tempat ini adalah rumah ibadah keluarganya. Tempat yang mengajarkannya menunduk bukan karena takut, tetapi karena cinta.

Pesan ini yang ingin kami rawat: bahwa umat berhak pulang ke rumah ibadah mereka dengan hati ringan. Bahwa setiap warga negara, apa pun keyakinannya, berhak disambut oleh negaranya dengan rasa hormat, bukan kekhawatiran.

Dan di tengah dunia yang makin gaduh dengan ujaran kebencian, provokasi identitas, serta pengerdilan keyakinan yang berbeda, rumah ibadah justru harus menjadi penjernih nalar dan pemulih nurani.

Menjadi Negara yang Benar-Benar Hadir

Peresmian Kelenteng Wie Leng Keng hanyalah satu bab kecil dalam buku panjang Indonesia. Tapi ia menyimpan pelajaran penting: bahwa kehadiran negara bukan soal proyek besar, melainkan soal kepekaan. Bahwa melayani umat bukan tugas seremonial, melainkan panggilan untuk memastikan setiap manusia—apa pun agamanya—diakui keberadaannya, dijamin haknya, dan disayangi kemanusiaannya.

Saya yakin dan percaya, di semua agama, pelayanan terbaik bukan hanya dilakukan pada hari raya atau saat peresmian. Ia dilakukan setiap hari, dalam bentuk sikap terbuka, pendampingan yang adil, dan keberpihakan pada nilai-nilai universal: kasih sayang, kedamaian, dan keadilan.

Mari kita jaga rumah-rumah ibadah kita. Rawatlah bukan hanya dindingnya, tetapi juga jiwanya. Karena bangsa ini tidak dibangun oleh satu kepercayaan saja, tetapi oleh ribuan tangan yang berdoa dengan caranya masing-masing, pada Tuhan yang satu. Dan negara, tugasnya adalah memastikan tak satu pun dari mereka merasa sendirian.**

Palembang, 24 September 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *