
MUARA ENIM | KabarSriwijaya.NET – Dalam upaya menyemarakkan semangat pembentukan kembali Dewan Kesenian Kabupaten Muara Enim, Solidaritas Pegiat Seni (SPS) Kabupaten Muara Enim menggelar kegiatan Nonton Bareng Film Dokumenter “Mother Earth”, Senin malam (3/11/2025) bertempat di halaman Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu, Muara Enim.
Film “Mother Earth” mengangkat kisah tentang adat Tunggul Tubang di Kecamatan Semende, yang sarat nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Bumi Serasan Sekundang.
Kegiatan ini diharapkan menjadi ruang refleksi bersama bagi para seniman, budayawan, dan masyarakat untuk memahami kembali akar budaya daerah dan memperkuat identitas kesenian lokal Muara Enim.
Ruang kebersamaan
Menurut Koordinator Kegiatan, Ihsanul Fikri, acara ini menjadi langkah strategis menuju terbentuknya kembali wadah kesenian daerah.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin menghadirkan ruang kebersamaan. Para pegiat seni, pemerintah daerah, dan masyarakat dapat kembali duduk bersama, menyatukan semangat untuk menghidupkan kembali Dewan Kesenian Muara Enim,” tegas Fikri, Senin (03/11/2025)
Selain pemutaran film, acara juga akan diisi dengan pertunjukan Kuntau, pembacaan puisi, dan musik keroncong. Kegiatan dikemas secara santai dengan konsep duduk lesehan di helipad Gedung Kesenian Putri Dayang Rindu.
Acara ini turut diundang Bupati dan Wakil Bupati Muara Enim, serta kepala dinas terkait bidang kebudayaan, pariwisata, dan kepemudaan.
Sekilas Tentag Film “Mother Eart”
Film dokumenter berjudul “Mother Earth: Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang” merupakan karya komunitas Ghompok Kolektif Palembang, yang sebelumnya secara resmi diputar perdana dalam acara Diseminasi Film yang berlangsung di UPT Perpustakaan salah satu universitas negeri di Palembang, Senin (3/11/2025).

Film ini mendapat dukungan dari Kementerian Kebudayaan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Dana Indonesia, sebagai bagian dari program penguatan riset, seni, dan kebudayaan nasional melalui medium film.
Tradisi Tunggu Tubang
Karya ini mengangkat tradisi Tunggu Tubang dari masyarakat adat Semende, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan—sebuah sistem adat matrilineal yang menempatkan perempuan sebagai penjaga warisan rumah dan sawah, serta simbol ketahanan pangan berkelanjutan.
Perwakilan Ghompok Kolektif, Ahmad Rizki Prabu, kepada Redaksi Sriwijay.NET menjelaskan, proses produksi film ini memakan waktu sekitar satu tahun dengan melibatkan hampir 20 orang kru.
“Tradisi Tunggu Tubang bukan hanya warisan budaya, tetapi juga strategi ketahanan pangan dan keberlanjutan hidup yang masih relevan hingga hari ini,” ujarnya.
Menjawab tantangan global
Sementara itu, Sutradara film, Muhammad Tohir, menegaskan, kisah Tunggu Tubang memiliki nilai universal yang dapat menjawab tantangan global terkait krisis pangan dan pelestarian lingkungan.
“Sistem adat Semende sudah berjalan ratusan tahun dan tetap relevan dengan kondisi sekarang. Kearifan lokal ini menunjukkan harmoni manusia dan alam,” tegas Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang ini.
Ketika itu, acara diseminasi dihadiri Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Selatan yang diwakili oleh Kepala Seksi Nilai Budaya dan Bahasa Daerah, Dian Permata Suri, serta Pamong Budaya Ahli Pertama, Dedi Afrianto. Kegiatan perdana itu, terselenggara atas kolaborasi antara Ghompok Kolektif dan UPT Perpustakaan UIN Raden Fatah Palembang.
Warisan Budaya Tak Benda
Dalam sambutannya, Dian Permata Suri ketika itu menyampaikan bahwa film ini berkontribusi besar dalam pelestarian tradisi Tunggu Tubang yang saat ini tengah diusulkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
“InsyaAllah Tunggu Tubang akan lolos seleksi WBTB tahun 2026. Film ini memperkuat pengusulan tersebut dan menjadi media edukasi budaya bagi masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, Dedi Afrianto menambahkan bahwa proyek Tunggu Tubang Tak Akan Tumbang adalah salah satu pemenang nasional dari banyak proposal budaya yang diajukan ke Kementerian Kebudayaan melalui LPDP dan Dana Indonesia.
“Kami berharap karya-karya seperti ini terus lahir dari Sumatera Selatan, termasuk dari mahasiswa UIN Raden Fatah,” ujarnya.
Menjaga kelestarian tradisi
Eliana, salah satu Tunggu Tubang sekaligus narasumber film Mother Earth yang hadir dalam diskusi, menegaskan komitmennya menjaga kelestarian tradisi tersebut.
“InsyaAllah, kami bersama masyarakat Semende akan terus menjaga dan melestarikan Tunggu Tubang,” tegasnya.
Selain pemutaran film, kegiatan itu diisi dengan diskusi kebudayaan bersama akademisi Dian Maulina, akademisi UIN Raden Fatah, serta penulis buku ”Badah Puyang” Ahmad Rizki Prabu dan Yuni Rahmawati.
Dokumentasi budaya
Diskusi ini menyoroti pentingnya dokumentasi budaya, peran perempuan dalam sistem adat, serta relevansi nilai tradisi dalam menjaga pangan dan lingkungan.
Dengan dukungan LPDP dan Dana Indonesia, film ”Mother Earth” diharapkan menjadi sarana edukasi, refleksi, sekaligus inspirasi bagi masyarakat luas dalam menjaga keberlanjutan bumi dan kebudayaan, khususnya di Kabupaten Muara Enim sebagai tanah asal tradisi Tunggu Tubang.
TEKS : IMRON SUPRIYADI | FOTO : NET



																						







