PLN dan DPR Mengikat Komitmen Transisi Energi: Menyongsong Terang di Ujung Sumsel

PT PLN (Persero) menegaskan komitmennya dalam mendukung transisi energi sekaligus pemerataan akses listrik di Sumatera Selatan.

PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Di ruang ballroom Hotel Novotel Palembang yang dingin berpendingin udara, puluhan orang berdiskusi serius. Para legislator dari Komisi XII DPR RI, pejabat Kementerian ESDM, jajaran Pemprov Sumsel, hingga para eksekutif PLN berkumpul dalam satu forum penting: Panitia Kerja (Panja) Ketenagalistrikan DPR RI. Di forum inilah masa depan energi Sumatera Selatan, bahkan Indonesia, sedang dibicarakan.

Wajah-wajah serius terlihat menyimak paparan. Di layar proyektor, angka-angka meluncur: 17,4 megawatt potensi energi terbarukan, beban puncak 1.024 megawatt, dan daya mampu mencapai 3.412 megawatt. Seolah sebuah peta jalan menuju masa depan energi bersih Sumatera Selatan sedang digambar perlahan di hadapan mereka.

Potensi Energi yang Belum Tersentuh

Direktur Manajemen Risiko PLN, Adi Lumakso, tampil dengan slide yang penuh grafik potensi energi. “Sumatera ini seperti lumbung energi baru terbarukan,” ujarnya mantap. PLTA, PLTB, PLTP, biomassa, hingga PLTS terapung bersiap mengisi kebutuhan energi nasional. “Sumsel siap menuju swasembada energi,” ia menegaskan.

Namun angka-angka itu bukan hanya statistik. Di baliknya ada wajah-wajah masyarakat desa yang masih menggantungkan hidup pada lampu minyak tanah. Ada anak-anak yang belajar dengan cahaya seadanya, dan nelayan yang berharap listrik hadir untuk menyimpan hasil tangkapan mereka.

Kepala Dinas ESDM Sumsel, Hendriansyah, menimpali dengan data yang lebih optimistis. Bauran EBT di Sumsel sudah mencapai 23 persen—lebih tinggi dari rata-rata nasional—ditopang PLTS, panas bumi, dan biomassa dari pabrik kelapa sawit. “Kami sudah mengusulkan pembangunan PLTS Komunal untuk desa-desa pesisir timur,” katanya. “Daerah yang belum terjangkau jaringan listrik harus jadi prioritas.”

Cerita dari Pesisir dan Rawa Gambut

Tak jauh dari meja rapat, Wakil Bupati Ogan Komering Ilir (OKI), Supriyanto, SH, membawa suara rakyatnya. Di kabupaten pesisir dengan rawa gambut yang sulit dijangkau ini, 21 desa masih belum menikmati listrik. “OKI dengan penduduk hampir 800 ribu jiwa masih menghadapi tantangan elektrifikasi. Kehadiran listrik di desa-desa pesisir akan sangat mendukung kualitas hidup masyarakat,” ujarnya.

PT PLN (Persero) menegaskan komitmennya dalam mendukung transisi energi sekaligus pemerataan akses listrik di Sumatera Selatan.

Di daerah-daerah semacam ini, listrik bukan sekadar lampu yang menyala. Ia adalah tanda masuknya peradaban. Dengan listrik, anak-anak bisa belajar lebih lama, usaha mikro tumbuh, dan masyarakat merasakan sentuhan teknologi. Bagi nelayan di pesisir timur OKI, listrik berarti mesin pembeku ikan dan peluang ekspor.

Listrik Sebagai Hak, Bukan Sekadar Layanan

Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto mengingatkan bahwa listrik kini sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat, sama seperti air dan pangan. “Kami di DPR berkomitmen mengawal percepatan pemerataan akses energi melalui pengawasan ketat agar progres berjalan sesuai target,” ujarnya. Sugeng tidak hanya bicara angka, ia juga menyoroti kesenjangan antara kota dan desa.

Dalam forum itu terasa bahwa semua pihak sepakat: transisi energi tak boleh hanya berhenti pada jargon hijau, tetapi harus menyentuh pelosok negeri. Karena jika tidak, energi terbarukan hanya akan jadi proyek besar di atas kertas, sementara rakyat di ujung desa masih hidup dalam gelap.

Sumsel sebagai Laboratorium Transisi Energi

Sumatera Selatan punya peluang menjadi laboratorium transisi energi Indonesia. Dengan sumber daya alam melimpah dan infrastruktur dasar yang sudah relatif matang, provinsi ini dapat menjadi contoh bagaimana energi fosil secara bertahap digantikan oleh energi bersih. PLN sudah menyiapkan peta jalan itu, Pemerintah Daerah mengajukan proposal-proposal, dan DPR menjanjikan dukungan politik serta pengawasan.

Di ruang rapat Novotel itu, percakapan tentang listrik tidak hanya soal tarif, daya mampu, atau potensi pembangkit. Percakapan juga menyentuh dimensi keberlanjutan, keadilan, dan masa depan. Bagaimana PLTS Komunal bisa menjangkau desa-desa terpencil. Bagaimana PLTP dan biomassa bisa menghidupi jaringan energi tanpa merusak lingkungan. Bagaimana transisi energi bisa sekaligus menjadi strategi mengangkat ekonomi rakyat.

Mengikat Komitmen

Pertemuan Panja Ketenagalistrikan DPR RI ini berakhir dengan kesepahaman: PLN, Kementerian ESDM, Pemerintah Provinsi Sumsel, dan para wakil rakyat akan menyatukan langkah untuk mempercepat pemerataan listrik sekaligus mengoptimalkan potensi energi baru terbarukan.

Di balik kesepakatan itu tersimpan harapan besar. Jika program-program ini benar-benar terealisasi, Sumsel bukan hanya akan jadi daerah surplus listrik, tetapi juga pionir transisi energi Indonesia. Dari desa pesisir OKI hingga pusat bisnis Palembang, listrik bukan lagi kemewahan tetapi hak warga negara.

Menatap Masa Depan

Di tangan kebijakan yang tepat, energi adalah peradaban. Listrik yang menyala di pelosok bukan hanya kilowatt-hour, melainkan cahaya masa depan.

Transisi energi, yang digadang sebagai jalan menuju net zero emission, akan kehilangan makna jika masyarakat desa masih hidup dalam gelap. Tetapi jika transisi ini berjalan bersama pemerataan akses listrik, maka energi terbarukan bukan sekadar wacana, melainkan keadilan sosial yang nyata.

Pertemuan di Novotel Palembang itu mungkin terlihat formal, penuh jargon teknis. Namun di baliknya, ada taruhan besar: apakah Indonesia mampu menyalakan listrik transisi energi bukan hanya di kota, tetapi juga di desa-desa yang paling jauh? PLN, DPR, Kementerian ESDM, dan pemerintah daerah kini sedang diuji—dan masyarakat Sumsel menunggu hasilnya.

TEKS : YULIE AFRIANI  |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *