Pastor, Maulid Nabi, dan Kita yang Mudah Tersinggung

Doa kebangsaan setelah Maulid bukan ancaman bagi iman kita. Tapi....

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis & Pengasuh Santri Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Bismillahirrahmanirrahim.

Saudara-saudaraku, kita ini bangsa yang gemar menyebut nama Tuhan. Dalam rapat, di warung kopi, di kampanye politik, di undangan pernikahan, di peresmian gedung — semua dibuka dengan doa. Bahkan konon, tukang parkir pun memulai instruksi dengan doa.

Tetapi entah mengapa, ketika melihat ada orang lain berdoa, apalagi berbeda agama, tiba-tiba kita jadi resah. Padahal yang berdoa itu tidak sedang mencuri, tidak sedang memaki, hanya berdoa.

Beberapa hari ini (10 September 2025) ramai video viral seorang pastor yang disebut-sebut memimpin doa pada acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Palembang.

Ada yang langsung naik darah, ada yang menuduh Kementerian Agama Sumsel kebablasan. Ada pula yang menduga ini konspirasi global untuk mencairkan akidah.

Saya tersenyum getir membaca komentar-komentar itu. Rupanya kita ini mudah sekali tersinggung, apalagi jika yang menyentuh ranah agama. Padahal kita sedang memperingati kelahiran Rasul yang akhlaknya paling lembut.

Saya menulis ini bukan sedang ingin membela Kemenag Sumsel. Saya ingin berbicara dengan cara yang mungkin tak biasa: dengan nada santai tapi serius, dengan bahasa yang lebih seperti khutbah yang berguling di beranda pesantren daripada pernyataan pers yang kaku.

Saya ingin menulis seperti saya berbicara kepada santri-santri saya: agar kita bisa merenung bersama, tidak hanya menghakimi dari atas monas.

Maulid itu Rumah Kita Bersama

Sebagai Jurnalis, sejak tahun 1996 hingga sekarang–saya dilatih melihat realitas dari berbagai sisi, tanpa tendensi. Oleh sebab itu, saya mencoba membedah ”benang kusut” ini tidak berdasarkan potongan video, tetapi giat acara di lokasi.

Pertama-tama, mari kita luruskan fakta. Seperti yang dijelaskan Kementerian Agama Sumsel, acara yang viral itu bukan Maulid Nabi yang “campur aduk” sebagaimana dibayangkan sebagian orang.

Potongan foto yang dipotong dari Video (Sumber : radartv.disway.id)

Itu adalah peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan secara Islam penuh — shalawat, barzanji, tausiyah, istighasah — semuanya sesuai syariat.

Baru setelah itu, ada doa kebangsaan, sebuah simbol kecil yang biasa dilakukan instansi sekelas Kementarian Agama–untuk menunjukkan bahwa Indonesia ini rumah bersama.

Pastor yang hadir itu – sekali lagi ditegaskan Kakanwil Kemenag Sumsel, Dr H Syafitri Irwan, kali itu Pastor bukan memimpin Maulid, bukan pula membaca shalawat. Ia hadir memimpin doa kebangsaan setelah acara Maulid selesai.

Bagi saya, ini sama halnya ketika kita mengundang pejabat non-Muslim untuk membuka sambutan atau membacakan pesan kebangsaan. Apakah itu mencampur adukkan agama? Tidak. Itu sekadar sopan santun berbangsa.

Maulid itu rumah kita bersama. Rumah yang pintunya terbuka untuk semua tamu. Tapi ritualnya kita jaga tetap Islami. Sama seperti tamu datang ke rumah kita, boleh duduk di ruang tamu, boleh ikut mendengarkan kita mengaji, tapi tidak otomatis mereka ikut menjadi imam shalat.

 Sibuk Menjaga Simbol, Lupa Menjaga Jiwa

Saya melihat kegaduhan ini sebagai tanda kita terlalu sibuk menjaga simbol, lupa menjaga jiwa. Kita takut “doa kebangsaan” yang dibaca pastor akan merusak akidah kita. Padahal akidah itu letaknya di hati, bukan di pengeras suara. Akidah itu seperti akar pohon: dia tidak akan tercerabut hanya karena ada orang lewat membawa bendera lain.

Nabi Muhammad SAW sendiri hidup di tengah masyarakat plural. Beliau membuat Piagam Madinah, perjanjian sosial antara Muslim, Yahudi, Nasrani, dan berbagai kabilah.

Mereka semua sepakat menjaga kota bersama, meski tetap beribadah sesuai agama masing-masing. Nabi tidak memaksa orang Yahudi shalat berjamaah, tapi juga tidak mengusir mereka dari musyawarah kota. ”Lakum Diinukum Waliyaddin” (Untukmu agamamu, dan untukku Agamaku).

Kalau kita meneladani Nabi, kita tahu batasnya: ibadah eksklusif untuk Muslim, urusan sosial kebangsaan boleh inklusif. Itu yang sedang dilakukan Kemenag Sumsel kali itu.

Berdiri di Atas Kesepakatan

Ingatlah, negeri ini berdiri di atas kesepakatan, bukan di atas klaim kebenaran sepihak. UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) jelas: negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agamanya. Artinya, dalam ruang publik kita punya hak yang sama.

Doa kebangsaan itu bukan ritual agama, melainkan ekspresi kebersamaan. Kalau ada pastor berdoa menurut agamanya, apa salahnya? Sekiranya lkita pahama bahasa Hewan sebagaimana Nabi Sulaiman–lantas ada hewan piaraan kita mendoakan kita sembuh dari sakit, apa lantas kitamarah-marah, dan hewan piaraan itu kita usir dari rumah kita, karena dia tidak beragama?

Lalu, bukankah kita juga sering melihat pejabat Muslim berdoa di acara nasional yang dihadiri umat agama lain? Bukankah kita juga pernah mendengar doa pembuka sidang yang menyebut nama Allah, meski pesertanya beragam?

Kita ini ibarat perahu besar di lautan. Perahu itu bernama Indonesia. Di atasnya ada berbagai penumpang. Kita boleh berbeda pakaian, berbeda bahasa, berbeda doa. Tapi kita terikat pada satu nasib: kalau perahu bocor, semua tenggelam. Karena itu kita wajib menjaga perahu ini, termasuk dengan doa kebangsaan.

Marah pada Doa, Diam pada Korupsi

Izinkan saya sedikit satir, mengutip Kiai Mustofa Bisri–Gus Mus–sering menegur kita dengan guyonan pedasnya: kita ini aneh. Ada orang berdoa beda agama — kita ribut. Ada pejabat makan uang rakyat — kita diam. Ada anak yatim menangis lapar — kita lewat. Ada masjid megah tak terurus — kita selfie.

Bukankah Rasulullah SAW lebih sensitif pada nasib orang miskin daripada pada simbol semata? Bukankah beliau marah pada orang yang shalat tapi menelantarkan anak yatim? Kita ini terbalik: lebih marah pada simbol daripada pada substansi.

Kita marah ketika Nabi Muhammad dihina, teriak Allahu Akbar! Kita bela Islam! tapi kita memilih diam ketika ada masjid dan pesantren butuh sedekah. Kita berpangku tangan saat ada tetangga kita miskin, diam ketika anak yatim minta makan ke rumah kita?

Saya berani memastikan, doa pastor di acara itu tidak akan membuat iman kita gugur. Ya tidak mungkin, misalnya seorang Kepala Kementerian Agama Sumsel, Gubernur Sumsel lantas gugur ke-imanan-nya–karena ada Pastor berdoa kebangsaan? Doa untuk damai untuk kita semua. Tentang teks, langgam doa dan bahasanya bisa berbeda.

Bahkan, ke-imanan kita tidak akan gugur oleh alunan mantera dukun sekalipun—bila hadir di acara itu. Tapi membiarkan ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan — itulah yang pelan-pelan menggugurkan iman kita.

Menata Budaya Seperti Nabi Menata Madinah

Saya juga ingin mengingatkan: Nabi Muhammad SAW bukan hanya Rasul, beliau juga pemimpin masyarakat. Beliau menata budaya Madinah pelan-pelan. Tidak ada paksaan, tidak ada revolusi simbolik yang tiba-tiba.  Beliau mulai dari akhlak, dari pendidikan, dari dialog.

Ketika orang-orang Quraisy meletakkan batu hitam (Hajar Aswad), Nabi tidak berkata “Ini urusan Muslim saja.” Beliau mengajak semua suku ikut serta agar tak timbul pertikaian.

Begitu pula kita hari ini. Kita tidak sedang mencampuradukkan agama, kita sedang menata kebersamaan agar tak timbul pertikaian.

Bahasa Doa, Bahasa Universal

Doa itu bahasa universal. Tidak ada terjemahan yang sempurna untuk air mata. Ketika seseorang berdoa, ia sedang menyampaikan kegelisahan paling pribadi kepada Tuhan. Tuhan Maha Mendengar, tidak butuh protokol.

Kita boleh berdoa dengan cara kita sendiri. Orang Kristen berdoa dengan caranya, orang Islam dengan caranya, orang Hindu dengan caranya.

Kalau kita mendengar doa orang lain, kita tidak otomatis jadi mereka. Kita tetap kita. Tapi kita belajar bahwa mereka juga punya harapan, punya ketakutan, punya luka. Dengan begitu kita lebih mudah berempati. Bukankah Nabi mengajarkan rahmah (kasih sayang) untuk semesta alam, bukan hanya untuk kelompok sendiri?

Marwah Ritual, Menguatkan Persaudaraan

Sebagai warga Sumsel yang tetap menginginkan dalam suasana damai, saya meyakinkan, acara yang digelar Kemenag Sumsel dan Pemprov Sumsel itu, ritual Islam-nya tetap murni. Sebab, doa kebangsaan baru dilakukan setelah ritual selesai.

Saya yakin, Kemenag Sumsel juga tidak akan seceroboh itu menggelar acara. Sebagai instansi yang bernaung di bawah “Bendera Ikhlas Beramal” tentu memiliki komitmen menjaga marwahnya.

Namun demikian, Kemenag juga punya kewajiban menjaga persaudaraan. Karena kalau persaudaraan retak, ritual pun kehilangan ruhnya. Dengan kata lain, ritual tanpa persaudaraan hanya akan menjadi acara seremonial kosong. Pun demikian halnya, Shalawat tanpa kasih sayang, hanya akan menjadi suara tanpa gema. Puasa tanpa empati hanya akan menjadi diet. Salat tanpa kepedulian hanya akan menjadi gerakan tubuh.

Dari acara itu, kita bisa kembali membaca sejarah, tentang bagaimana Uswatun hasanah dari Nabi Muhammad SAW dalam perpektif budaya yang juga mengajarkan : Islam bukan sekadar ritual, tapi juga rahmah untuk alam semesta (rahmatan lil áalamiin).

Nasihat untuk Kita Semua
Di akhir tulisan ini, saya mengajak semua agar kita tidak mudah terbakar isu. Sebab, media sosial (medsos) itu seperti pasar malam: penuh lampu, penuh teriakan, penuh suguhan palsu. Kalau kita tak hati-hati, kita akan membeli barang yang tak kita butuhkan.

Selanjutnya kita harus melakukan Cek fakta sebelum marah. Tanyakan pada penyelenggara sebelum menghakimi. Belajarlah pada sejarah sebelum mengulang kesalahan. Nabi tidak mewariskan kemarahan, Nabi mewariskan kasih sayang.

Kalau kita benar-benar cinta Nabi, buktikan dengan akhlak yang lembut, bukan dengan komentar kasar. Buktikan dengan kepedulian pada fakir miskin, bukan dengan fitnah kepada saudara sendiri.

Menyambut Indonesia yang Lebih Teduh

Saya percaya, Sumatera Selatan bisa menjadi teladan kerukunan. Kita punya sejarah Sriwijaya, pusat pembelajaran agama sejak berabad-abad lalu. Kita punya ulama-ulama besar yang terbiasa berdialog dengan siapa saja. Kita punya pesantren-pesantren yang didirikan di tanah milik bersama. Kita punya gereja-gereja yang dibangun dengan izin tokoh Muslim setempat.

Tradisi ini seharusnya tetap dipertahankan. Jangan sampai kita dikalahkan oleh hoaks. Jangan sampai kita mewarisi Indonesia yang penuh curiga. Mari kita warisi Indonesia yang teduh, sebagaimana teduhnya hati ketika kita bershalawat, juga ketika doa kebangsaan dibacakan setelah Maulid di acara itu, demi terwujudnya damai Indonesia.

Meneladani Lembutnya Rasulullah

Akhirnya, saya mengajak kita semua kembali kepada teladan Rasulullah SAW. Beliau lahir sebagai yatim, tumbuh sebagai penggembala, diangkat menjadi nabi dengan akhlak paling agung.

Beliau tidak mendirikan agama dengan pedang, tapi dengan kesabaran. Beliau tidak menaklukkan hati dengan kekerasan, tapi dengan kelembutan.

Kalau kita ingin menjaga Maulid Nabi, jagalah akhlaknya. Jangan rusak akhlak itu dengan marah-marah. Jangan nodai nama Nabi dengan caci maki. Jangan jadikan Maulid hanya acara rebutan nasi berkat, tapi jadikan momentum memperkuat kasih sayang.

Doa kebangsaan setelah Maulid bukan ancaman bagi iman kita. Yang mengancam iman kita adalah kebencian, ketidakadilan, ketamakan, dan keangkuhan. Mari kita lawan itu semua dengan ilmu, dengan doa, dengan akhlak mulia. Wallahu a‘lam bish-shawab.

Palembang-Muaraenim, 11 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *