Aroma 2029: Antara Doa, Sembako, dan Dinasti Politik

HUT ke-24 Partai Demokrat Sumatera Selatan

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis

Tahun 2029 masih empat kali musim panen padi di Muara Enim, empat kali musim kemarau yang mengeringkan kebun karet di Lahat, empat kali musim banjir yang merendam Palembang. Tapi di meja politik, waktu itu seolah sudah besok. Politisi kita sudah menabur benih, sudah menyiram dengan doa, sembako, dan baliho.

Di Sumsel, aroma itu mulai kental. Ada Cik Ujang, Wakil Gubernur sekaligus Ketua Partai Demokrat. Ada Panca Wijaya Akbar, Bupati Ogan Ilir, putra Mawardi Yahya, Wakil Ketua DPP Partai Gerindra. Ada pula Jhon Cik Mohammad, Bupati Empat Lawang, yang disebut sebagai kuda hitam, punya Partai Amanat Nasional (PAN) di Sumsel, dan kekuarga Besar KAHMI.

Di pusat, bila Prabowo tidak lagi nyalon, muncul tiga nama. Aneh tapi nyata: semua anak mantan presiden. Ada Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Gibran Rakabuming Raka. Politik Indonesia lagi-lagi seperti album keluarga.

Politik itu Aroma, Bukan Kalender

Politik bukan kalender. Ia tidak menunggu Januari atau Desember untuk berpesta. Politik adalah aroma: begitu ada peluang, baunya tercium.

Di Palembang, Demokrat merayakan ulang tahun dengan doa dan sembako. Di Ogan Ilir, nama Panca dibisikkan di hampir setiap warung kopi. Di Empat Lawang, Jhon Cik mulai membangun jaringan.

Politik itu seperti pasar. Begitu pedagang buka lapak, semua orang tahu siapa jualan apa. Tinggal siapa yang paling jago menawarkan.

Dilema Politik: Dari Jurnalis ke Aktivis Partai

Saya ingin jujur, karena aroma politik bukan cuma soal mereka, tapi juga pengalaman saya sendiri.

Tahun 1996, saya masih jurnalis di Jawa Pos Grup. Hidup saya waktu itu penuh idealisme: menulis advokasi rakyat kecil, membela petani, buruh, nelayan, pedagang kaki lima, abang becak dengan gerakan Serikat Becak Palembang. Sampai akhirnya sempat menjadi tersangka dalam “Perang Batu” — masuk penjara di Polresta Palembang, Kala itu, dukungan publik terasa tulus, seolah energi moral bisa mengubah dunia.

Tahun 1999, saya tinggalkan dunia jurnalistik. Saya masuk partai, ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pada Pileg 2004. Hasilnya: gagal.

Tiga tahun, bahkan sebelum itu — basis moral yang sudah terbangun semua runtuh. Rakyat yang dulu berteriak mendukung, tiba-tiba beralih calon dan partai–hanya karena beras, sarung, dan sembako. Tagline besar yang kami usung kala itu —Marhaenisme Soekarno—akhirnya hanya menjadi sampah di jalanan.

Itulah dilema politik yang paling getir: niat baik dan semangat tidak cukup. Politik itu tidak hanya soal idealisme, tapi juga logistik. Rakyat yang kami bela, ternyata lebih percaya pada partai sembako ketimbang partai yang ikhlas berbuat. Inilah fakta : Tragis, ironis, sekaligus miris, dan hingga hari ini.

Sembako Sebagai Ideologi

Nyaris setiap Pilkada, Pileg, bahkan Pilpres, rakyat menunggu saweran: serangan fajar, amplop, sarung untuk rajin shalat, telekung untuk rajin sujud, atau sembako untuk menutup dapur. Dalihnya macam-macam: ongkos bensin, ongkos makan, sekadar “terima kasih.” Padahal substansinya sama: politik yang dibarter dengan perut.

Mengapa rakyat masih menunggu saweran sembako dan amplop? karena perutnya belum kenyang. Kalimat dan lirik lagu : ambil uangnya, jangan pilih orangnya, atau tolak amplop dari caleg? bisakah bila besok pagi rakyat kita tidak ada beras, SPP nunggak, anggota keluarga butuh biaya pengobatan?

Pada sebuah obrolan kecil bersama sejumlah tokoh di Sumsel, Saya pernah mendengar seorang pejabat di Sumsel berkata blak-blakan: “Dalam politik, semua halal. Yang haram cuma satu: kalah.”

Kalimat itu seperti mantra gelap. Ia jadi doktrin yang diwariskan ke politisi junior: jangan pedulikan idealisme, jangan pedulikan visi. Yang penting menang. Apapun caranya.

Maka setiap kali rakyat menilai partai gagal melahirkan kader ideologis, saya balik bertanya: kalau ada foto yang buruk, apakah yang rusak fotonya atau kameranya? Kalau kita terkilir saat berlari, apakah yang salah kaki kita, atau jalannya ?

Politik Doa dan Sembako

Acapkali, ada saja acara ulang tahun partai penuh doa. Anak yatim diundang, ustaz memimpin doa. Semua syahdu. Tapi doa sering kali jadi “bunga plastik” politik. Cantik, tapi tak beraroma.

Sembako dibagi, rakyat senang. Tapi sembako hanya perban untuk luka dalam: kemiskinan struktural. Politik sembako meninabobokan rakyat, bukan menyembuhkan akar masalah.

Ironinya, rakyat pun tidak protes. Mereka merasa sah menerima, karena toh semua partai melakukan hal yang sama. Politik ikhlas berbuat dikalahkan oleh politik “beras sekilo.”

Dinasti dan Aroma 2029

Sementara, diantara lantunan doa di Sumsel, di tingkat pusat, 2029 berpotensi jadi panggung dinasti: Puan, AHY, Gibran. Di Sumsel, pola itu juga tampak : Jhon Cik Muhammad dengan nama besar PAN-nya dan KAHMI-nya. Cik Ujang membawa nama besar SBY dengan Demokrat-nya, dan Panca Wijaya Akbar membawa nama besar Mawardi Yahya. Demikian juga Republik yang lahir dari darah rakyat, kini dikelola lewat darah keluarga. Seperti sinetron panjang yang aktornya diwariskan turun-temurun.

Pertanyaannya: apakah republik ini kekurangan tokoh? Atau rakyat memang lebih suka nama besar?

Rakyat Sebagai Cermin

Sulit menyalahkan partai sepenuhnya. Politisi hanya menjual apa yang rakyat mau beli. Kalau rakyat lebih suka sembako daripada program, partai akan memilih sembako.

Kalau rakyat lebih bangga dengan nama besar daripada rekam jejak, partai akan mencalonkan anak pejabat. Politik pada akhirnya hanya cermin: wajah rakyat dipantulkan ke panggung kekuasaan.

Maka pertanyaan pentingnya: maukah rakyat berubah? Atau tetap nyaman dengan pola lama?

Politik Religius: Amanah atau Kutukan?

Dalam Islam, kepemimpinan itu amanah, bukan warisan. Nabi menolak jabatan bagi yang tamak. Tapi di negeri ini, jabatan diwariskan seperti sawah.

Jabatan berubah jadi kutukan ketika hanya diwariskan tanpa ujian moral. Padahal politik sejatinya ibadah: mengurus manusia agar lebih adil.

Kalau politik diperlakukan hanya sebagai warisan keluarga, maka doa dan sembako tak ubahnya alat kosmetik. Cantik di luar, tapi rapuh di dalam.

Belajar dari Dilema

Saya belajar dari kegagalan 1999: idealisme saja tidak cukup. Tapi logistik tanpa idealisme juga hanya melahirkan korupsi. Politik butuh keseimbangan: niat ikhlas, tapi juga strategi realistis.

Rakyat pun harus belajar. Kalau terus menerima sembako, jangan salahkan kalau pemimpin hanya peduli saat kampanye. Kalau terus bangga pada dinasti, jangan heran kalau negeri ini jadi milik keluarga tertentu.

Ayam atau Telur?

Pertanyaan klasik selalu muncul: dulu ayam atau dulu telur? Begitu pula politik: apakah partai rusak karena rakyat pragmatis, atau rakyat pragmatis karena partai rusak?

Yang jelas, telur tidak bisa melahirkan ayam. Dari ayamlah lahir telur. Begitu juga politik: rakyat akan terus terbentuk oleh pemimpin yang ada. Kalau pemimpin terus mendidik rakyat dengan sembako, maka sembako akan jadi ideologi bangsa.

Tahun 2029 masih jauh. Tapi jika tidak ada perubahan, yang akan kita saksikan hanya ulangan lama: doa, sembako, dinasti. Politik jadi ritual, bukan solusi.

Dan kita, rakyat, akan kembali mengantri sembako sambil berdoa. Doa yang semoga kali ini bukan bunga plastik, tapi doa yang murni: doa agar republik ini menemukan jalan pulang pada keadilan.**

Ponpes Laa Roiba-Muaraenim, 10 September 2025 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *