Antara Wartawan, Maulid Nabi dan Misi Kenabian

Refleksi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Integritas Wartawan

Oleh Imron Supriyadi, Jurnalis dan Pengasuh Ponpes Laa Roiba Muaraenim

Peringatan Maulid Nabi selalu menjadi momen kita merenung: untuk apa sesungguhnya Muhammad dihadirkan ke dunia? Apakah sekadar untuk kita peringati dengan rebana, ceramah, dan kue-kue, atau untuk kita teladani jejak langkahnya sebagai al-Amin—orang yang terpercaya, yang kehadirannya membuat siapa saja merasa aman?

Nah, kalau kita kaitkan dengan profesi wartawan, sebenarnya wartawan adalah salah satu “pewaris” misi kenabian. Mengapa begitu?

Jawabnya ada pada perjalanan akademik saya di Institut Agama Islam Negeri Raden Fatah (IAIN) Raden Fatah Palembang tahun 1997. Pada ujian skripsi, salah satu penguji berinisial Pak Mwg, bertanya untuk ke sekian kalinya.

“Saudara wartawan?” tanya Pak Mwg memastikan. Pertanyaan ini bermukla dari judul sekripsi saya “Aplikasi dan Implementasi Pers Islam dalam Era Globalisasi. Judul ini terinspirasi oleh Buku Megatrend 2000 : Sepuluh arah baru untuk tahun 1990-an yang ditulis John Naisbitt dan Patricia Aburdene.

“Ya, saya wartawan kampus, Majalah Ukhuwah, milik IAIN Raden Fatah Palembang,” jawab saya tak ragu.

“Kalau pertanyaan ini bisa Saudara jawab dengan benar, maka saya akan mengakhiri pertayaan kepada Saudara. Tetapi kalau jawaban Saudara salah, saya akan lanjutkan pertanyaan berikutnya. Bahkan kalau sampai Saudara salah menjawab pertanyaan ini, saya akan keberatan meluluskan Saudara. Saudara paham?! Saudara menjawab!?” tegas Pak Mwg.

“Siap, paham!” jawab saya mulai menerka-nerka. Tak terduka, pertanyaan kali itu, malam sebelumnya sudah diujikan oleh teman-teman dan senior saya di kos mahasiswa. Saya bersyukur malamnya, skripsi saya disimulasikan, meski dengan main-main.

“Menurut Saudara, siapa wartawan paling professional di muka bumi ini?” Pak Mwg agak menyandarkan dadanya di meja penguji, dan matanya tajam menatap saya. Untung jenggotnya yang Panjang tak ikut berdiri.

“Wartawan yang paling profesional adalah, Rasulullah SAW, Nabi Muhammad SAW jujungan kita semua!” saya menjawab dengan hati bergetar. Haru, karena ingat pertanyaan ini satu malam sebelumnya sudah dibuat pertanyaan seloroh dari teman-teman di kos mahasiswa.

“Cukup. Terima kasih,” Pak Mwg mengakhiri pertanyaannya.

Tugas Rasulullah SAW menyampaikan kebenaran. Risalah datang melalui wahyu, disampaikan kepada Malaikat Jibril, dan dikabarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu, dengan tugas kerasulan-Nya, Nabi Muhammad SAW mengabarkan, mewartakan kepada para sahabat, para pegikutnya, hingga kepada kita.

Jelas? Nabi Muhammad SAW adalah pewarta. Tertuang dalam Suroh Al-Baqarah ayat 119, Allah Swt berfirman :

Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban) tentang penghuni-penghuni neraka.

Dari ayat diatas jelas, wartawan adalah pembawa misi kenabian. Sebab apa? Karena tugas wartawan menyampaikan kebenaran.

membawa risalah

Ia membawa berita sebagaimana Nabi Muhammad membawa risalah. Ia bertugas menyinari gelapnya kebodohan, sebagaimana Nabi diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.

Maka wartawan sejatinya memikul empat sifat kenabian: sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (cerdas). Tapi mari kita jujur sebentar, apakah para wartawan kita hari ini sudah betul-betul meneladani sifat itu?

Cerita Getir

Di lapangan, yang sering kita dengar justru cerita getir. Wartawan yang mestinya menjaga kode etik, malah hobi menodainya. Ada yang gemar menerima amplop—seakan pena mereka dijual murah di bawah meja.

Ada yang menulis berita bukan untuk mencerahkan publik, tetapi untuk memeras pejabat: “Kalau tidak setor, berita ini naik, Pak!” Bahkan ada pula yang menjadikan liputan sebagai kesempatan jalan-jalan, lalu dengan enteng meminta “sangu” ke bupati.

Ada lagi jenis wartawan gondang (istilah wartawan amplop di Sumsel). Jenis wartawan ini hanya akan menulis, bila ada gondang (amplop)-nya. No Amplop, No News.

Parah lagi, sudah menerima amplop, berita copy paste. Tak heran bila ada salah satu teman saya bilang;

“Sekarang ini, tak perlu membaca 10 media. Cukup satu. Sebab, banyak berita di-cloning. Semua sama. Cuma ganti kode. Tak jelas siapa penulis  aslinya,” ujarnya pada satu obrolan santai di kantornya, Jalan Sersan Sani, Palembang, beberapa pekan silam. Miris. Ironis. Tragis memang. Tapi inilah fakta hari ini.

pewaris misi kenabian?

Kalau begini wajah sebagian wartawan, bagaimana mungkin mereka layak disebut pewaris misi kenabian? Apa bedanya mereka dengan pedagang yang menipu timbangan, yang jelas-jelas Nabi kutuk dalam Al-Qur’an:

“Kecelakaanlah bagi orang-orang yang curang, yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, tetapi apabila menakar untuk orang lain mereka mengurangi” (QS. al-Muthaffifin: 1-3).

Bukankah sama saja? Wartawan yang menerima “sangu” lalu menutup mata atas korupsi, itu juga sedang mengurangi takaran kebenaran. Wartawan yang menulis berita untuk memeras, itu sedang menipu timbangan keadilan.

Satirnya begini: di Maulid Nabi, mereka bisa paling keras bershalawat, bahkan memimpin doa. Tapi keesokan harinya, masih juga menghubungi pejabat dengan nada ancaman; “Pak, kalau nggak ada iklan, berita ini kita mainkan.

se-Indonesia ikut tercoreng

Betapa tragisnya, ketika lidah yang semalam melantunkan shalawat Nabi, esoknya dipakai untuk menipu, memeras, dan menebar fitnah.

Ini bukan hanya soal pribadi. Ini soal marwah. Sebab wartawan itu bukan cuma individu, tapi simbol profesi. Satu atau dua orang busuk, profesi wartawan se-Indonesia ikut tercoreng. Padahal idealnya, wartawan mestinya menjadi al-Amin modern: begitu orang mendengar ia wartawan, seharusnya langsung percaya ; bahwa ia amanah, jujur, dan cerdas.

Di sinilah relevansi Maulid Nabi Muhamma SAW. Maulid itu bukan nostalgia, bukan pula pesta budaya. Maulid adalah momentum kebangkitan kesadaran. Kalau Nabi lahir di Mekkah 14 abad lalu, hari ini tugas kita melahirkan kembali ruh kenabian dalam diri masing-masing, termasuk dalam profesi kewartawanan.

Nabi pernah bersabda: “Kullu mauludin yuladu ‘ala al-fithrah” —setiap manusia lahir dalam keadaan fitrah.

harus berani lahir kembali

Tapi perjalanan hidup, lingkungan, dan nafsu sering menyeretnya keluar dari fitrah itu. Maka Maulid adalah panggilan untuk pulang: lahir kembali, kembali ke fitrah, kembali ke kemurnian hati, kembali ke kejujuran. Kembali pada wartawan yang wajib tetap menjaga integritas moral lahir dan batin.

Wartawan yang selama ini pena dan lisannya kotor karena uang amplop, harus berani lahir kembali. Lahir sebagai wartawan yang menulis untuk mencerahkan, bukan memeras.

Wartawan yang menginspirasi publik, bukan menyesatkan pikiran. Wartawan yang memberi nafkah halal untuk istri dan anaknya, bukan meracuni mereka dengan rezeki haram hasil memalak pejabat.

amplop dari Abu Jahal

Mari refleksi sejenak. Apa jadinya kalau Nabi Muhammad dulu berperilaku seperti sebagian wartawan kita?

Misalnya beliau menerima amplop dari Abu Jahal agar tidak menyebutkan kejahatan Quraisy? Atau berkompromi dengan raja-raja kaya agar dakwahnya aman-aman saja? Tidak ada Islam hari ini. Tidak akan ada cahaya. Yang ada hanya kegelapan yang makin pekat.

Maka wartawan yang menjual beritanya untuk amplop sesungguhnya sedang mengkhianati ruh kenabian. Wartawan yang menulis untuk memeras sejatinya sedang menjadi Abu Jahal berkedok pena.

Padahal, dunia butuh wartawan yang jujur, amanah, tabligh, fathonah. Dunia butuh wartawan yang berani menulis kebenaran meski diancam. Dunia butuh wartawan yang menjaga fitrah profesinya, sebagaimana Nabi menjaga kesucian risalahnya.

seperti standar kecil

Dalam perspektif tasawuf sosial, wartawan adalah pelayan publik. Tugasnya menyalakan lampu kebenaran, bukan menjual listriknya kepada yang punya duit. Ia seperti standar kecil di sepeda motor—sering dipandang remeh, sering diinjak, tapi justru menyangga keseimbangan. Wartawan harus rela menjadi standar: meski diinjak, tapi menyelamatkan orang dari roboh.

Dalam perspektif tasawuf horizontal, wartawan harus mengukur ibadahnya lewat dampaknya pada masyarakat. Bukan seberapa banyak berita yang ia tulis, tapi seberapa banyak orang tercerahkan, terbela, dan terselamatkan oleh tulisannya.

Kalau berita yang ditulis justru membuat orang salah paham, terprovokasi, bahkan celaka, itu bukan tabligh—itu tabligat (membodohi orang lain). Sesat dan menyesatkan!

kotor tidak pernah berhenti

Saya jadi teringat sindiran Budayawan Cak Nun: “Kalau wartawan hanya menulis untuk amplop, maka sebetulnya ia tidak sedang menulis berita, tapi sedang menulis surat utang untuk anak cucunya. Sebab uang haram yang ia bawa pulang hari ini akan menjerat anaknya di masa depan.”

Betul. Rezeki yang kotor tidak pernah berhenti di meja makan. Ia akan menetes ke darah anak-anak, merusak akhlak, membuat hidup tidak tenteram.

Karena itu, momentum Maulid Nabi Muhammad SAW, harus jadi panggilan bagi wartawan untuk lahir kembali. Lahir sebagai wartawan yang suci dari amplop, bersih dari pemerasan, teguh pada kode etik, dan sadar bahwa pena mereka adalah wasiat kenabian.

Mari kita bayangkan, seandainya setiap wartawan hari ini benar-benar meneladani Nabi. Tidak ada lagi berita pesanan, tidak ada lagi amplop di bawah meja, tidak ada lagi kongkalikong dengan aparat.

Yang ada adalah berita yang mencerahkan, menguatkan, menyelamatkan. Publik percaya lagi pada media, pejabat takut lagi pada wartawan (bukan karena diancam, tapi karena kejujurannya). Dan bangsa ini perlahan akan sehat kembali.

Bukan Sekadar Mengenang Kelahiran

Itulah makna Maulid bagi wartawan: bukan sekadar mengenang kelahiran Nabi, tetapi melahirkan ulang dirinya sendiri. Lahir dari wartawan amplop menjadi wartawan amanah. Lahir dari wartawan pemeras menjadi wartawan tabligh. Lahir dari wartawan curang menjadi wartawan fathonah.

Maka izinkan saya menutup refleksi ini dengan doa: “Ya Allah, sebagaimana Engkau melahirkan Muhammad sebagai al-Amin, lahirkanlah kembali wartawan-wartawan kami menjadi pewaris amanah itu. Bersihkan pena mereka dari tinta kotor, bersihkan hati mereka dari niat buruk, agar setiap kata yang mereka tulis menjadi cahaya, bukan racun. Jadikanlah mereka saksi kebenaran, bukan pedagang kebohongan. Karena wartawan sejati adalah pembawa misi kenabian, yang lidah dan penanya hanya berfungsi untuk menyelamatkan, bukan mencelakakan.”

Doa ini pasti terkabul. Dan kelak Maulid Nabi Muhammad SAW, khususnya bagi teman-teman se-profesi, momentum ini tidak hanya melahirkan nostalgia, tapi melahirkan generasi wartawan baru—wartawan yang benar-benar menjadi rahmatan lil ‘alamin bagi bangsanya. Aamiin.**

Dini hari 00.18 WIB

Pondok Pesantren Laa Roiba Muaraenim, 05 September 2025 / 12 Rabiul Awal 1447 H

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *