Doa Kebangsaan: Jalan Sunyi Merawat Perdamaian Bangsa

Refleksi Istighosah dan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Palembang 4 September 2025

Oleh : Dr. H. Syafitri Irwan, S. Ag, M.Si (Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan)

Sejarah bangsa-bangsa besar menunjukkan bahwa fondasi kejayaan tidak semata dibangun di atas kekuatan ekonomi, militer, atau teknologi.

Faktor terpenting adalah stabilitas sosial dan harmoni antarwarganya. Indonesia, dengan keragaman agama, etnis, dan budaya, menghadapi tantangan yang tidak kecil untuk menjaga kebersamaan itu.

Dalam konteks itulah, kegiatan Istighasah dan Doa Kebangsaan yang kami selenggarakan di Palembang (4 September 2025) beberapa sesungguhnya bukan sekadar seremoni keagamaan.

Ia adalah upaya kolektif untuk memperkuat fondasi kebangsaan melalui ikhtiar spiritual. Pada titik inilah kita perlu menegaskan kembali bahwa doa, istighasah, dan lintas iman bukanlah aktivitas ritual semata, melainkan bagian dari strategi peradaban.

Indonesia: Negara Bangsa yang Majemuk

Sejak awal, para pendiri bangsa telah menyadari bahwa Indonesia tidak dapat dipersatukan hanya dengan kekuatan senjata atau ideologi tunggal. Piagam Jakarta, Pancasila, dan Proklamasi 1945 adalah kompromi luhur yang dirancang untuk merangkul keragaman.

Dalam kerangka itu, Sumatera Selatan memberi teladan penting. Selama bertahun-tahun daerah ini memegang predikat zero conflict. Artinya, di tengah keragaman agama dan budaya, masyarakat Sumsel mampu menjaga harmoni. Fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan buah dari budaya lokal yang menempatkan musyawarah, gotong royong, dan rasa hormat antarwarga sebagai nilai utama.

Doa sebagai Instrumen Kebangsaan

Sebagian orang mungkin mempertanyakan, apa relevansi doa bagi persoalan bangsa? Pertanyaan ini sahih, terutama di era modern yang sering menekankan pendekatan rasional dan teknokratis. Namun, jika kita menelusuri sejarah, hampir semua bangsa besar menjadikan spiritualitas sebagai energi pemersatu.

BACA ARTIKEL TERKAIT LAINNYA :

Di dalam Islam, doa bukan sekadar permohonan individual kepada Tuhan, melainkan energi kolektif yang mampu membangkitkan kesadaran moral bersama. Ketika umat Islam melaksanakan istighasah, mereka sesungguhnya sedang mengakui keterbatasan diri, sembari meneguhkan tekad untuk menjaga tatanan sosial.

Doa lintas agama yang kami selenggarakan juga merefleksikan prinsip yang sama. Setiap agama mengajarkan kebaikan, dan setiap pemeluknya berkewajiban menjaga harmoni sosial. Dengan doa, kita menempatkan perbedaan keyakinan dalam bingkai kebersamaan: sama-sama warga bangsa yang ingin hidup aman, damai, dan sejahtera.

Toleransi: Dari Slogan ke Praktik Sosial

Toleransi seringkali dijadikan slogan politik, namun praktiknya membutuhkan kerja keras. Saya bersyukur, dalam acara doa kebangsaan di Palembang, perwakilan dari enam agama hadir dan memimpin doa secara bergantian. Tidak ada yang merasa lebih tinggi, tidak ada pula yang merasa ditinggalkan. Semua berada dalam satu panggung, berbagi ruang, berbagi suara.

Momen itu membuktikan bahwa toleransi bukan sekadar konsep normatif, melainkan realitas yang bisa diwujudkan. Ia hidup di dalam relasi sosial, ketika umat beragama mau saling mendengarkan, saling menghormati, dan bersama-sama merawat kebangsaan.

Politik, Konflik, dan Jalan Damai

Beberapa waktu terakhir, bangsa kita diuji oleh dinamika politik yang cukup keras. Demonstrasi, kontestasi politik, hingga perdebatan ideologi seringkali menimbulkan gesekan. Namun saya bersyukur, di Sumatera Selatan, semua dapat berjalan damai. Mahasiswa menyampaikan aspirasi tanpa insiden berarti, aparat keamanan mengawal dengan humanis, tokoh masyarakat bersikap arif, dan masyarakat tetap tenang.

Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi dan kedamaian bukanlah hal yang saling bertentangan. Justru, demokrasi hanya bisa berjalan sehat jika masyarakatnya cinta damai. Dalam hal ini, doa kebangsaan menjadi energi spiritual yang menjaga agar ruang politik tetap berada dalam koridor persaudaraan.

Dimensi Teologis dan Sosial

Dari sudut pandang teologis, doa adalah pengakuan manusia atas kedaulatan Tuhan. Dari sudut pandang sosial, doa adalah mekanisme penyatuan hati. Ketika ribuan orang dari berbagai agama berdoa bersama, mereka sesungguhnya sedang membangun kontrak sosial tak tertulis: bahwa mereka ingin hidup berdampingan dengan damai.

Kontrak sosial semacam ini amat penting bagi Indonesia. Kita tidak boleh membiarkan konflik SARA yang pernah terjadi di beberapa daerah terulang kembali. Doa kebangsaan adalah ikhtiar mencegah sejak dini, dengan cara memperkuat kesadaran kolektif.

Sumsel sebagai Laboratorium Perdamaian

Saya ingin menegaskan bahwa Sumatera Selatan adalah laboratorium perdamaian yang sesungguhnya. Keberhasilan kita menjaga status zero conflict patut dijaga bersama. Namun kita tidak boleh lengah. Dunia digital, media sosial, dan politik identitas dapat dengan cepat merusak harmoni jika tidak disikapi dengan arif.

Oleh karena itu, doa kebangsaan harus terus kita selenggarakan, bukan sekadar sebagai acara seremonial tahunan, melainkan sebagai gerakan budaya. Ia harus melibatkan semua pihak: pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, dan tentu saja generasi muda.

Refleksi untuk Generasi Muda

Saya ingin menitipkan pesan khusus kepada generasi muda. Indonesia akan menjadi milik Anda dalam 10–20 tahun ke depan. Jika ingin mewarisi bangsa yang damai, belajarlah dari tradisi toleransi yang telah diwariskan para leluhur. Jangan biarkan media sosial dan propaganda politik merusak rasa persaudaraan.

Belajarlah bahwa doa bukan hanya aktivitas ritual, tetapi juga simbol komitmen. Ketika Anda berdoa untuk bangsa, Anda sedang menegaskan tanggung jawab moral untuk menjaga bangsa itu.

Penutup

Kegiatan Istighasah dan Doa Kebangsaan di Palembang hanyalah satu fragmen kecil dalam perjalanan panjang menjaga Indonesia. Namun fragmen kecil ini punya makna besar. Dari sini kita belajar bahwa perdamaian tidak datang begitu saja. Ia harus diperjuangkan, dirawat, dan dimohonkan kepada Tuhan.

Sebagai Kakanwil Kemenag Sumatera Selatan, saya percaya, doa adalah jalan sunyi yang akan terus menguatkan kita. Jalan ini mungkin tidak selalu dipahami semua orang, tetapi ia adalah energi spiritual yang menyatukan bangsa.

Indonesia membutuhkan lebih banyak ruang kebersamaan seperti ini. Dari Sumatera Selatan, dari Palembang, dari bumi Sriwijaya, mari kita kirim pesan: bahwa kita ingin hidup damai, bersama, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.**

Palembang, 5 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *