Pagi itu, Senin 1 September 2025, halaman masjid di dalam Rutan Kelas I Palembang terasa berbeda. Udara sejuk bercampur dengan lantunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan serentak oleh petugas dan warga binaan. Suara mereka menyatu, tak ada sekat antara yang menjaga dan yang dijaga. Semua sama-sama menundukkan kepala, sama-sama mengetuk pintu langit.
PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Di balik jeruji besi yang biasanya identik dengan penyesalan dan keterasingan, pagi itu justru tumbuh rasa kebersamaan. Mereka membaca Surah Yasin, lalu berdoa bersama untuk negeri ini: Indonesia.
Spiritualitas dari Ruang Terbatas
Tidak banyak yang tahu, bahwa di balik tembok tinggi dan pintu besi gembok tebal, ada ruang renungan yang dalam. Warga binaan yang selama ini dianggap “tersisih” dari masyarakat, dalam momen seperti ini justru tampil sebagai manusia-manusia yang tulus mendoakan bangsa.
“Doa itu tidak mengenal batas tembok,” ujar seorang warga binaan usai kegiatan, matanya berkaca-kaca. Baginya, meski tengah menjalani masa hukuman, cintanya pada tanah air tak pernah berkurang.
Lebih dari Sekadar Ritual
Bagi Kepala Rutan, kegiatan ini bukan hanya rutinitas kerohanian. Ia menyebutnya sebagai pembinaan hati. “Kami ingin menjadikan rutan bukan sekadar tempat menjalani hukuman, tapi juga ruang untuk memperbaiki diri. Doa bersama ini adalah cara agar mereka tetap terhubung dengan nilai-nilai spiritual sekaligus cinta pada bangsa,” katanya.

Pesan itu terasa nyata. Yasinan pagi itu bukan hanya soal membaca ayat, tetapi juga menumbuhkan solidaritas sosial. Petugas dan warga binaan duduk berdampingan tanpa jarak, meruntuhkan sekat psikologis yang biasanya memisahkan.
Cinta Tanah Air dari Balik Tembok
Kebersamaan ini menegaskan satu hal: cinta tanah air tak hanya milik mereka yang bebas melangkah di jalan raya. Warga binaan, dengan segala keterbatasannya, juga memikul kerinduan akan kedamaian negeri.
Doa yang mereka panjatkan bukan sekadar simbol, tapi wujud nyata partisipasi moral: bahwa siapa pun, dalam kondisi apa pun, tetap punya peran menjaga persatuan bangsa.
Pesan Humanisme dari Rutan
Momen ini mengajarkan bahwa setiap manusia, betapapun salah langkahnya di masa lalu, tetap punya hak untuk berharap, mencintai, dan berkontribusi. Dalam sunyi doa bersama itu, kita diingatkan: manusia tidak pernah berhenti berproses. Bahkan di ruang-ruang terbatas seperti rutan, nurani tetap bisa tumbuh, solidaritas tetap bisa hidup.
Doa mereka untuk pemimpin bangsa, untuk keamanan negara, untuk persatuan masyarakat, adalah doa yang lahir dari kerendahan hati. Dan justru dari balik jeruji besi itu, doa menjadi terasa lebih murni—karena keluar dari hati yang sedang ditempa.
Di balik tembok rutan Palembang, kita melihat wajah kemanusiaan yang sesungguhnya: manusia yang sedang belajar memperbaiki diri, manusia yang tetap mencintai tanah airnya, manusia yang tak pernah berhenti berharap.
Dan di sanalah, kita belajar: harapan bisa lahir dari mana saja, bahkan dari balik jeruji yang dingin.
TEKS : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI