Menjaga Pers atau Menjaga Cermin?

Cermin sejati bukan di kantor redaksi yang megah, tapi di wajah jujur orang-orang kecil

Oleh : Imron Supriyadi, Jurnalis di Palembang

Tulisan Bung Bernadus Wilson Lumi, Ketua Umum Forum Pimpinan Redaksi Multi Media (FPMI), memantik naluri saya untuk ikut “cawe-cawe” dalam upaya menjaga Independensi Pers.

Judul tulisan Bung Bernadus “Menjaga Independensi Pers dari Intervensi”. Judulnya gagah. Isinya mantap.

Bahkan hampir bisa langsung dipajang di dinding kantor redaksi mana saja, dengan bingkai kayu jati dan kaca tebal, biar setiap jurnalis yang masuk ruangan bisa mengangguk khidmat: “Ya, inilah harga mati kita: independensi pers.”

Tapi begini, Bung Bernadus, saya ingin kita duduk sebentar. Tidak usah di ruang seminar, tidak usah di ballroom hotel, tidak usah di panggung diskusi yang disponsori korporasi telekomunikasi.

Kita duduk saja di warung kopi depan terminal. Gelas kopinya sudah ada kerak gula di bibirnya, kursinya miring, ada angin debu yang kadang bikin kita harus mengucek mata. Di situ kita bicara soal independensi pers. Biar terasa real.

Karena bagi saya, persoalan independensi pers ini tidak sesederhana menolak atau menerima intervensi. Tidak sesederhana memilih kata “harus” dan “jangan”. Menurut saya, Pers itu ibarat cermin. Pertanyaan yang lebih jujur adalah: cermin ini sebenarnya mau memantulkan wajah siapa?

Pers Sebagai Cermin Retak

Independensi pers—kalau saya boleh jujur—kadang hanya mantra. Kita ucapkan dengan gagah berani, tapi dalam keseharian, media itu tetap tunduk pada tiga raja: iklan, pemilik modal, dan klik pembaca.

Mari kita uji. Seorang jurnalis menulis berita investigasi soal perusahaan tambang batu bara yang mencemari sungai di Sumatera Selatan. Beritanya sudah lengkap, data lapangan kuat, saksi warga bicara, ahli lingkungan memberi pernyataan.

BACA ARTIKEL SEBELUMNYA :

Opini Ketum FPMI – Menjaga Independensi Pers dari Intervensi

Tapi malam itu, di ruang redaksi, telepon berbunyi. Dari manajer iklan. Dari pemilik media.

“Eh, tolong jangan dinaikkan dulu, ya. Kita sedang dapat paket iklan dari perusahaan itu. Besok lusa mereka pasang full page.”

Apakah independensi pers masih tegak?

Atau begini. Redaksi membuat liputan tentang calon kepala daerah. Tiba-tiba pemilik media—yang kebetulan masih satu kerabat dengan calon itu—memanggil redaktur.

“Kita harus balance, dong. Jangan ada framing negatif.” Lalu, berita yang kritis itu dipotong, dibelokkan, diberi judul lebih manis.

Pers jadi cermin retak. Bukan lagi memantulkan wajah rakyat, tapi wajah yang sudah dilapisi bedak kepentingan.

Demokrasi: Panggung atau Realita?

Di paragraf awal, Bung Bernadus juga menulis: “Pers merupakan pilar utama demokrasi.” Saya setuju. Tapi saya sering curiga, demokrasi yang kita banggakan ini jangan-jangan cuma panggung teater.

Panggungnya megah: ada pemilu, ada partai, ada debat kandidat, ada media yang meliput. Tapi di belakang panggung, ada sponsor yang bayar lampu, ada pemilik modal yang mengatur alur cerita, ada sutradara yang menentukan siapa boleh bicara, siapa harus diam.

Pers sering hanya jadi pengeras suara panggung itu. Kita wartawan sibuk menyalin omongan politisi, konferensi pers pejabat, rilis perusahaan, tanpa pernah sempat bertanya: “Ini panggung untuk siapa? Rakyat dapat apa?”

Padahal, kalau kita buka lembar sejarah, pers yang sejati justru lahir dari bawah. Dari suara rakyat, dari mesin tik yang disembunyikan di bawah kasur, dari stensilan yang dibagi sembunyi-sembunyi. Bukan dari press release yang sudah siap santap.

Wartawan dan Dilema Perut

Saya tahu, bicara independensi pers kadang terdengar heroik. Tapi saya juga tahu bagaimana seorang wartawan harian kecil di kabupaten hidup. Gajinya Rp 2 juta, kadang telat dua bulan. Motor cicilan, anak butuh uang sekolah, dapur butuh beras.

Di satu sisi, dia diminta idealis. Menolak amplop, menolak intervensi. Tapi di sisi lain, kalau dia pulang liputan tanpa “ongkos pulang”, istrinya bisa bertanya: “Mas, kita makan apa besok?”

Jadi, independensi pers juga soal perut. Kalau wartawan tidak diberi jaminan hidup yang layak, bagaimana mereka bisa menolak intervensi? Bagaimana bisa tegak lurus kalau kakinya goyah karena lapar?

Publik yang Malas Mengunyah

Di paragraf berikutnya Bung Bernadus juga menulis: “Publik dituntut untuk bersikap kritis terhadap setiap informasi.” Saya setuju, tapi realitanya publik kita lebih suka menelan cepat ketimbang mengunyah pelan.

Coba lihat berita hoaks. Satu tautan di grup WhatsApp bisa lebih dipercaya ketimbang liputan investigasi yang dibuat tiga bulan. Video lima belas detik bisa lebih berpengaruh ketimbang artikel mendalam lima halaman.

Ini PR besar pers: bagaimana melatih publik untuk sabar mengunyah kebenaran. Karena kalau publik malas berpikir, media pun tergoda membuat berita instan, bombastis, asal klik banyak. Lalu independensi lagi-lagi dikorbankan.

Kongres PWI dan Bayang-bayang Intervensi

Pada akhir tulkisannya, Bung Bernadus menutup dengan harapan agar Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 29–30 Agustus 2025 memilih pemimpin secara demokratis tanpa intervensi. Indah sekali. Tapi, mohon maaf, bukankah sejarah PWI juga penuh intervensi?

Kita masih ingat bagaimana Orde Baru menjadikan PWI sebagai corong resmi kekuasaan. Bagaimana wartawan kritis dibungkam, dibredel, bahkan dipenjara.

Hari ini mungkin tidak sekeras dulu. Tapi apakah PWI benar-benar bebas dari intervensi politik? Apakah para kandidat ketua tidak disokong oleh kelompok tertentu? Apakah kongresnya steril dari lobi-lobi uang?

Kalau independensi hanya jadi jargon di podium, tanpa berani menguliti diri sendiri, bukankah itu sekadar kosmetik demokrasi?

Pers: Menjaga atau Dijaga?

Pertanyaan saya sederhana : sebenarnya siapa yang menjaga siapa? Apakah pers yang harus dijaga independensinya, atau justru pers yang seharusnya menjaga independensi bangsa ini dari tirani kepentingan?

Kalau pers hanya menunggu dijaga, ia akan selalu rapuh. Tapi kalau pers berani menjaga dirinya sendiri, bahkan dengan risiko kehilangan iklan, kehilangan kenyamanan, kehilangan restu pemilik modal—barulah ia bisa disebut independen.

Menjaga Cermin dari Debu

Saya tidak menolak tulisan Bung Bernadus. Saya sepakat bahwa independensi pers adalah syarat demokrasi. Tapi saya ingin menambahkan: independensi pers itu bukan hanya soal menolak intervensi eksternal, tapi juga intervensi internal—dari perut, dari pemilik, dari rasa malas, dari ego redaktur.

Pers adalah cermin. Tugas kita menjaga agar cermin itu tidak retak, tidak kotor, tidak berdebu. Kalau wajah rakyat yang miskin, ya pantulkan kemiskinan itu. Kalau wajah pejabat yang korup, ya pantulkan juga. Jangan dipoles dengan bedak iklan, jangan disiram parfum kekuasaan.

Di warung kopi depan terminal itu, kita bisa belajar. Cermin sejati bukan di kantor redaksi yang megah, tapi di wajah jujur orang-orang kecil yang berharap suaranya bisa terdengar. Itulah independensi yang sesungguhnya.**

Palembang-Muaraenim, 31 Agustus 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *