PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Sabtu pagi, 30 Agustus 2025. Jalan Sudirman yang biasanya padat oleh kendaraan mendadak bergemuruh oleh lantunan sholawat. Ratusan pengemudi ojek online—jaket hijau mereka menyala di bawah sinar matahari—berkumpul di depan Markas Polda Sumatera Selatan. Di antara teriakan yel-yel, terdengar pula kalimat takbir, menggema bersama dentum suara kendaraan yang terhenti di lampu merah.
Di tengah barisan itu, nama Affan Kurniawan terus disebut. Affan bukan sekadar rekan kerja. Ia adalah simbol luka. Luka itu berasal dari satu peristiwa tragis yang diyakini melibatkan oknum aparat Brimob. Versi resmi polisi belum terang, tetapi bagi para pengemudi ojol, kisah itu sudah menjadi cerita tentang ketidakadilan yang tak boleh didiamkan.
Solidaritas yang Membara
Orasi Muhammad Asrul Indrawan, anggota Asosiasi Driver Online (ADO) Sumsel, memecah kerumunan. Suaranya bergetar, tetapi tegas.
“Kami datang dengan hati ikhlas, menuntut keadilan untuk saudara kami Affan. Semoga kejadian ini tidak terulang lagi dan polisi bisa memproses sesuai aturan.”
Di belakangnya, para driver mengangkat atribut komunitas mereka. Sebagian menunduk sambil terus melantunkan sholawat. Ada wajah-wajah lelah setelah perjalanan panjang, ada pula sorot mata muram yang menolak lupa. Mereka menyebut aksi ini bukan provokasi, melainkan bentuk solidaritas. Bukan sekadar untuk Affan, melainkan juga untuk masa depan mereka—sebuah peringatan agar aparat lebih humanis dalam menjaga aksi masyarakat.
Polisi Menyambut, Publik Menunggu
Kabid Humas Polda Sumsel, Kombes Pol Nandang Mu’min Wijaya, tampil di hadapan media. Ia menyatakan demonstrasi akan diamankan dengan tertib. Nada suaranya berusaha menenangkan.
“Kami siap mengawal jalannya aksi damai ini. Aspirasi silakan disampaikan secara santun,” ujarnya.
Namun, di balik kata-kata itu, para pengemudi ojol menyimpan keraguan. Mereka menuntut lebih dari sekadar pengawalan aksi: desakan agar Polri mengusut tuntas tindakan anarkis, memastikan tidak ada fakta yang ditutup-tutupi, dan menghukum pelaku sesuai aturan hukum.
Kecurigaan itu wajar. Dalam banyak kasus di negeri ini, transparansi kerap jadi barang langka. Ketika aparat menjadi pihak yang dituding, publik sering kali hanya menerima setengah kebenaran.
Surat Tuntutan dan Tali Asih
Sekitar pukul 10.00 WIB, rombongan perwakilan ADO Sumsel masuk ke halaman Polda. Mereka menyerahkan surat tuntutan langsung ke Kapolrestabes Palembang, Kombes Pol Harryo Sugihhartono, didampingi Dir Intelkam Polda Sumsel. Harryo menyalami perwakilan ojol, lalu berkata:
“Kami menerima tuntutan ini dan mengapresiasi aksi damai rekan-rekan. Menyampaikan pendapat dengan dewasa dan tertib adalah sikap terpuji.”
Polisi menyerahkan tali asih kepada keluarga Affan. Gestur ini dianggap sebagian pihak sebagai simbol empati, namun bagi sebagian pengemudi ojol lain, itu belum cukup. Mereka ingin keadilan, bukan sekadar belasungkawa.
Di Lampu Merah, Doa yang Tertinggal
Setelah aksi bubar pukul 10.34 WIB, sebagian besar pengemudi ojol tidak langsung pulang. Mereka melanjutkan dengan menggalang dana untuk keluarga Affan di delapan titik lampu merah Kota Palembang. Di sana, di antara klakson kendaraan dan teriknya matahari, kotak-kotak donasi berpindah tangan.
Affan mungkin sudah tiada. Namun kisahnya kini hidup di hati para pengemudi ojol lain. Setiap sumbangan koin, setiap lembar uang yang masuk ke kotak, adalah doa yang tak pernah selesai diucapkan.
Luka yang Lebih Besar
Kasus Affan bukan hanya soal satu nyawa. Ia adalah refleksi hubungan rapuh antara masyarakat sipil dan aparat keamanan. Sholawat di depan Polda hari itu adalah simbol: doa yang bertabrakan dengan tuntutan, spiritualitas yang berhadapan dengan kekuasaan bersenjata.
Bagi para pengemudi ojol, aksi damai ini mungkin hanyalah langkah kecil. Tapi ia bisa menjadi awal dari ingatan kolektif—bahwa sebuah negara seharusnya melindungi, bukan menakut-nakuti. Bahwa solidaritas bisa melampaui rasa takut.
Dan di Palembang, pada hari itu, di jalan raya yang penuh debu dan terik, mereka memilih untuk tidak diam.
TEKS / FOTO : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI