Bhayangkari Menggugat: Luka, Etika, dan Pertaruhan Wibawa Polri

Keadilan bukanlah sekadar kata-kata dalam naskah undang-undang

PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Di balik senyum seragam kebesaran Bhayangkari, ada seorang perempuan yang tengah memendam luka. Namanya Melisa, seorang istri anggota Polri. Tapi, alih-alih merasakan perlindungan, ia justru mengalami kekerasan dari orang yang seharusnya menjadi pelindungnya — suaminya sendiri, oknum berinisial A.

Kisah ini terungkap ke publik saat tim kuasa hukumnya, yang dipimpin advokat Subrata, S.H., M.H., menggelar konferensi pers di Palembang, Rabu (13/8/2025). Di hadapan wartawan, Subrata didampingi Sagito, S.H., M.H., Ardiansyah, S.H., dan M. Rico Prateja, S.H., memaparkan kronologi dan fakta yang, menurutnya, menunjukkan cacat serius dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku.

“Klien kami telah menjadi korban KDRT yang bukan hanya melukai fisik dan psikisnya, tapi juga mencoreng nama baik institusi Polri,” ujar Subrata, suaranya datar namun tegas.

Hanya Minta Maaf
Yang membuat kuasa hukum geram, meski pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka di ranah pidana umum, sidang kode etik Polri di Polrestabes Palembang justru hanya memberi sanksi berupa pernyataan permintaan maaf.

“Putusan itu jelas tidak sebanding dengan beratnya perbuatan dan dampak yang dialami korban,” tegas Subrata. “Ini bertentangan dengan prinsip zero tolerance terhadap KDRT, dan berpotensi merusak kepercayaan publik.”

Dalam peraturan, pelanggaran berat seperti ini semestinya berujung pada Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), sebagaimana Pasal 12 ayat (1) huruf a PP Nomor 1 Tahun 2003. Tapi, aturan tinggal aturan. Majelis etik seolah tak menganggap fakta penetapan tersangka sebagai alasan memperberat sanksi.

Pertaruhan Wibawa Institusi
Kasus ini bukan sekadar urusan rumah tangga. Di baliknya, ada pertaruhan besar: wibawa Polri sebagai penegak hukum. “Kami melihat adanya potensi perlakuan istimewa terhadap pelaku hanya karena statusnya anggota Polri,” ujar Subrata.

Sebagai langkah lanjutan, pihak Melisa akan:

  • Menyurati Kapolri agar mengevaluasi dan meninjau ulang putusan kode etik.
  • Melaporkan kasus ini ke Mabes Polri untuk memastikan proses hukum berjalan objektif.
  • Mengawal proses pidana agar tak berhenti di tengah jalan.

Bagi tim kuasa hukum, ini bukan sekadar membela satu korban. “Kami menuntut agar hukum menjadi pelindung yang lemah, bukan pelindung pelaku,” pungkas Subrata.

Kasus yang Menguji Janji Reformasi
Polri selama ini kerap menggaungkan komitmen reformasi dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Namun, kasus Melisa menguji sejauh mana komitmen itu dijalankan ketika pelaku berasal dari internal sendiri.

Di mata publik, perkara ini akan menjadi indikator: apakah Polri benar-benar berani menindak tegas anggotanya yang melanggar hukum, ataukah keadilan akan terus terjerat dalam jaring kekerabatan institusional.

Di luar gedung konferensi pers, Melisa tak banyak bicara. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan cerita yang tak tuntas. Mungkin, di dalam hati, ia sedang berharap bahwa keadilan bukanlah sekadar kata-kata dalam naskah undang-undang. Karena di ujungnya, ini bukan hanya soal dirinya, tapi soal wajah hukum Indonesia di mata rakyatnya.

TEKS / FOTO : YULIE AFRIANI   |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *