DI WARUNG KOPI pinggir jalan, aku bertemu lagi dengan Kiai Sepuh. Orang bilang, beliau ini bukan hanya kiai, tapi juga filsuf kampung. Suka berbicara dengan bahasa yang bikin orang bingung tiga hari, lalu mendadak mengerti di hari keempat.
Sore itu, sambil menunggu hujan reda, aku menanyakan isu yang sedang ramai: memiskinkan koruptor.
“Apa menurut panjenengan, itu mungkin, Kiai?” tanyaku.
Kiai tertawa pelan. “Nak, miskin itu nasib. Tapi memiskinkan… itu kuasa.”
Aku tercekat.
“Lho, maksudnya?”
“Memiskinkan itu seperti mencabut akar pohon. Kalau akarnya sudah bercampur dengan akar tetangga, kamu harus siap merobohkan kebun seluruh kampung. Koruptor itu jarang sendirian. Dia punya saudara, kawan, bos, bawahan, pengacara, bahkan wartawan yang tersenyum di foto,” ujarnya.
Di pojok warung, ada Mas Jali, sopir truk pasir, ikut nimbrung. “Kalau koruptor dimiskinkan, mobil mewah siapa yang mau saya antar dari dealer, Pak?” katanya sambil tertawa getir.
Kiai menatapnya lama. “Nak Jali, kalau kamu takut kehilangan penumpang kaya karena dia maling, berarti kamu sudah jadi kuli maling.”
Aku menghirup kopi. Rasanya pahit, tapi anehnya menenangkan.
Di kampung kami, kata “korupsi” bukan hanya ada di berita televisi. Ia seperti hantu yang mondar-mandir di jalan desa. Kami tahu tanah wakaf masjid pernah “terpotong” diam-diam. Kami tahu dana beasiswa kadang mampir ke rumah pejabat sebelum sampai ke anak yatim. Tapi semua itu dibiarkan menguap, karena orang-orang terlalu sibuk mengurus padi yang bisa mati kalau hujan tak turun.
Ketika berita soal Pak Anies bicara tentang memiskinkan koruptor tersebar, sebagian warga warung kopi langsung bersorak, sebagian lagi menguap. “Ah, janji politik,” kata mereka.
Kiai Sepuh hanya tersenyum. “Janji politik itu seperti hujan di kalender. Ada tanggalnya, tapi belum tentu turun airnya.”
Namun di balik canda itu, ada konflik yang menggantung di langit kampung.
Lurah kami, Pak Darmo, sedang disorot karena dugaan markup proyek irigasi. Orang-orang membicarakan itu pelan-pelan, seperti membicarakan penyakit menular. Yang lebih membuat panas, ternyata menantunya menikah dengan keponakan kepala kejaksaan daerah.
Aku ingat obrolanku dengan Kiai dua minggu lalu. “Kalau aturan memiskinkan koruptor itu jadi, apa Pak Darmo akan miskin?”
Kiai menghela napas. “Bukan itu masalahnya. Pertanyaannya: apakah yang miskin hanya dia? Atau seluruh keluarga yang ikut makan dari uang itu?”
Mas Jali menyela, “Kalau satu keluarga miskin, nanti jadi masalah sosial, Kiai. Anak-anak mereka salah apa?”
Kiai mengangguk. “Nah, di situlah tantangan kita. Islam mengajarkan bahwa hukuman itu untuk pelaku, bukan untuk yang tak bersalah. Tapi korupsi itu racun yang menyebar lewat meja makan. Kalau uang haram sudah dipakai untuk beli susu anak, apakah anak itu masih bersih dari racun?”
Hening. Angin sore masuk membawa bau tanah basah.
Aku jadi teringat sebuah cerita yang dulu Kiai pernah kisahkan. Tentang seorang pejabat pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang ketahuan menyeleweng. Umar tak hanya mencopotnya, tapi juga memerintahkan untuk menyita semua hartanya. Hartanya dijual, hasilnya dikembalikan ke baitul mal. Pejabat itu tak dipenjara, tapi tak punya sepeser pun untuk memulai hidup baru. “Biar dia belajar dari nol, tapi dengan hati yang bersih,” kata Umar.
“Kalau sekarang, mungkin Umar sudah dilaporkan ke Komnas HAM,” kata Mas Jali sambil terkekeh.
Kiai menatapnya tajam. “HAM itu baik. Tapi kalau kita terlalu takut melukai pencuri, akhirnya kita membiarkan rakyat kelaparan.”
Konflik mulai memanas di kampung. Sebagian warga ingin melaporkan Pak Darmo ke KPK. Sebagian lagi takut, karena dia masih punya pengaruh. Aku sendiri bingung. Dalam hatiku, aku setuju koruptor dimiskinkan. Tapi membayangkan anak-anak Pak Darmo jadi pengemis membuat dadaku sesak.
Malam itu aku kembali ke rumah Kiai. Dia sedang duduk di serambi, menatap bintang.
“Kiai, saya takut kalau aturan itu berlaku, malah rakyat kecil yang kena imbas,” kataku.
Kiai tersenyum tipis. “Nak, itulah kenapa hukuman harus ditemani pendidikan. Kalau kita hanya memiskinkan, tapi tidak mendidik, kita cuma memindahkan maling dari satu dompet ke dompet lain. Hari ini dia miskin, besok dia bisa kaya lagi, karena ilmunya mencuri masih dia simpan.”
Kiai lalu bercerita tentang konsep ta’zīr dalam Islam. Hukuman yang bukan hanya untuk membalas, tapi untuk memperbaiki. “Memiskinkan koruptor itu boleh, tapi harus dibarengi dengan membuat mereka belajar hidup jujur. Kalau perlu, suruh mereka kerja bakti membersihkan sungai setiap hari, atau menjaga pintu pasar. Biar mereka tahu rasanya keringat sendiri,” ujarnya.
Aku membayangkan pemandangan itu. Mantan pejabat tinggi, berkeringat mendorong gerobak sampah. Orang-orang menonton, setengah kasihan, setengah puas.
Seminggu kemudian, konflik pecah. Sekelompok warga nekat menggelar spanduk di balai desa: “Memiskinkan Koruptor, Mulai dari Sini!” Polisi datang. Pak Darmo menghilang. Ada kabar dia pergi ke rumah mertuanya di kota.
Malamnya, suasana kampung seperti pesta sunyi. Sebagian merasa menang, sebagian merasa kehilangan.
Aku duduk lagi bersama Kiai.
“Kiai, kalau semua koruptor dimiskinkan, ekonomi bisa goyang,” kataku.
Kiai tertawa. “Nak, kalau ekonomi kita runtuh hanya karena uang haram berhenti berputar, berarti dari dulu kita tidak benar-benar punya ekonomi—yang kita punya cuma ilusi.”
Aku mengangguk pelan. Hujan mulai turun, seperti menutup tirai panggung.
Kiai menambahkan, “Koruptor itu seperti pohon berbuah busuk. Kalau kamu tebang, tanah akan kosong sebentar. Tapi itu kesempatan untuk menanam pohon yang sehat. Kalau kamu takut menebang, nanti busuknya menyebar ke seluruh kebun.”
Esoknya, berita dari kota menyebutkan wacana memiskinkan koruptor kembali dibahas. Masih janji, masih wacana. Tapi aku tak lagi hanya menunggu pemerintah. Aku tahu, memiskinkan koruptor tidak hanya soal undang-undang.
Ia soal memiskinkan keserakahan di hati kita sendiri.
Karena korupsi bukan hanya mencuri uang negara. Kadang, ia adalah mencontek saat ujian. Mengurangi timbangan di pasar. Memakai fasilitas kantor untuk kepentingan pribadi.
Mungkin, sebelum memiskinkan koruptor besar, kita harus belajar memiskinkan koruptor kecil di dalam diri kita.
Kiai menutup obrolan malam itu dengan satu kalimat yang sampai hari ini membekas di kepalaku:
“Negeri ini akan berubah, Nak, kalau kita semua mau menjadi orang miskin yang kaya hati. Bukan orang kaya yang miskin nurani.”
Pondok Pesantren Laa Roiba-Muaraenim, 12 Agustus 2025