MUSIBANYUASIN | KabarSriwijata.NET – Di Pendopoan Griya Bumi Serasan Sekate, Senin siang, 11 Agustus 2025, nama demi nama dibacakan protokol. Sejumlah pejabat baru di Musi Banyuasin berdiri, mengucap sumpah, menerima jabatan, lalu duduk kembali. Di atas kertas, mutasi ini disebut sebagai “langkah strategis” Bupati Musi Banyuasin, H. M Toha SH, untuk mempercepat pembangunan.
Namun, di luar pendopo, warga masih menunggu: apakah wajah-wajah baru ini sekadar mengganti papan nama di meja kerja, atau benar-benar mampu memangkas rantai birokrasi yang selama ini membuat pelayanan publik terasa lamban dan berbelit.
Kosmetik Birokrasi?
Pelantikan pejabat tinggi pratama dan fungsional bukan hal baru di Muba. Setiap kepala daerah datang dengan janji yang nyaris sama: efisiensi, profesionalisme, pelayanan cepat. Kali ini pun serupa. Herryandi Sinulingga dipindahkan dari Dinas Kominfo ke Disnakertrans.
Haryadi Karim turun dari kursi kepala BP2RD menjadi staf ahli. Iskandar Syahrianto, yang semula memimpin Dinas Pendidikan, kini jadi staf ahli bidang hukum. Deretan nama terus dibacakan, seakan menyusun ulang papan catur birokrasi.
“Pelantikan ini jangan dimaknai sekadar penempatan figur,” ujar Bupati Toha dalam sambutannya.
Sebuah pernyataan yang terdengar gagah, tetapi publik sudah terlalu sering mendengar kalimat serupa. Pertanyaan besarnya: apakah bongkar-pasang pejabat ini diikuti perombakan budaya kerja, atau sekadar kosmetik politik birokrasi?
Janji Pangkas Birokrasi
Dalam sambutannya, Toha menekankan agar para pejabat baru “mengikis birokrasi yang tidak perlu” dan mempercepat pelayanan publik. Amanat yang mulia, tapi juga terdengar ironis. Sebab, justru birokrasi kerap menjadi jaring laba-laba yang sulit dipangkas oleh pemegang gunting itu sendiri.
Di Musi Banyuasin, warga masih sering mengeluh soal urusan administrasi kependudukan yang bertele-tele, izin usaha yang lambat keluar, hingga penanganan pelayanan kesehatan yang harus melewati meja demi meja. Mutasi pejabat semestinya menjadi jalan keluar, bukan sekadar ritual lima tahunan.
“Pelayanan publik itu bukan soal siapa yang duduk di kursi, tapi bagaimana prosedurnya dipangkas, dipermudah, dan diawasi,” kata seorang tokoh masyarakat Sekayu, yang hadir di halaman pendopo, sembari menggeleng melihat prosesi panjang serah terima jabatan.
Cepat atau Berputar Lagi?
KabarSriwijaya.NET mencatat, dalam tiga tahun terakhir, janji memangkas birokrasi di Muba selalu hadir dalam pidato resmi. Namun, di lapangan, keluhan warga tetap sama: urusan KTP bisa berbulan-bulan, izin mendirikan bangunan bertumpuk di meja pejabat, dan bantuan sosial kerap tersendat di level administrasi.
Kini, Bupati Toha kembali menekankan pentingnya percepatan. “Kita sudah masuk semester II, saatnya bergerak cepat,” tegasnya.
Cepat. Kata itu bergema di ruang pendopo. Tapi apakah para pejabat baru berani menembus belitan regulasi, kultur lamban, dan kepentingan politik di balik meja birokrasi?
Ujian Nyata
Bupati juga mengingatkan, jabatan adalah amanah yang dipertanggungjawabkan bukan hanya kepada negara dan masyarakat, tapi juga kepada Tuhan. Pernyataan yang religius, meski tetap tak menutup kenyataan bahwa jabatan publik selalu berhadapan dengan risiko penyalahgunaan wewenang.
Seorang akademisi di Palembang pernah menyebut, mutasi pejabat sering kali hanya “mengedarkan lingkaran elit”, bukan memperbarui sistem. Ujian nyata ada di pelayanan masyarakat: apakah warga bisa lebih cepat mengurus akta lahir, apakah petani lebih mudah mengakses pupuk, apakah pasien miskin bisa dirawat tanpa berkas menumpuk.
Itulah indikator sesungguhnya dari jargon pangkas birokrasi.
Barometer atau Sekadar Slogan
Di akhir sambutannya, Bupati Toha berpesan agar Musi Banyuasin menjadi barometer pembangunan, tidak hanya di Sumsel, tapi juga nasional. Sebuah cita-cita besar, tapi kembali, jalan menuju sana ditentukan oleh hal-hal kecil yang sering diabaikan: antrean panjang di kantor pelayanan, izin usaha yang mandek, atau surat pindah sekolah yang tak kunjung selesai.
Apakah rotasi pejabat kali ini akan menjadi langkah nyata menuju pemangkasan birokrasi, atau sekadar menambah catatan panjang mutasi tanpa perubahan? Warga Sekayu, dan publik luas, tentu akan menunggu jawabannya.
Karena di balik seremoni, doa, dan janji, pelayanan publik tetaplah soal sederhana: cepat atau lambat.
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI