Namaku tidak penting. Tapi kau bisa panggil aku Inung. Aku hanya ayah dari anak perempuan bernama Bening Lestari. Ia tidak bisa bicara. Tidak bisa mendengar. Tapi justru dia yang me ngajarkanku banyak hal tentang hidup. Tentang sabar. Tentang suara Tuhan yang sunyi tapi terasa.
Kami tinggal di kampung bernama Telogoarum, sebuah dusun yang bahkan tidak tercantum di peta digital. Tapi kami punya keyakinan: negara tahu kami ada. Negara akan hadir. Kata para pejabat, tidak ada rakyat yang tertinggal. Kata baliho di jalan-jalan, Indonesia melayani.
Bening, anakku, baru berusia 17 tahun. Sejak kecil ia hidup tanpa suara, tapi matanya selalu menyala. Ia suka menari di teras, menirukan gemulai pohon kelapa diterpa angin. Ia suka menyentuh wajahku kalau aku pulang dari sawah, seolah ingin memastikan: apakah dunia hari ini baik-baik saja?
Lalu suatu hari, dunia kecil kami terguncang. Sebuah benjolan muncul di telinga kirinya. Tak besar. Tapi terasa sakit saat disentuh. Dan lebih menyakitkan saat aku harus memutuskan: membawa Bening ke rumah sakit, menempuh prosedur, menyeberangi lautan birokrasi.
Aku ikut aturan. Karena katanya rakyat baik itu rakyat yang patuh prosedur. Aku daftar BPJS. Aku bawa Bening ke klinik Puskesmas Telogoarum. Dari sana kami dirujuk ke Rumah Sakit Kecamatan, lalu naik tingkat lagi ke Rumah Sakit Daerah Agung Manunggaling.
Di RS Manunggaling, aku diberi secarik kertas, rujukan ke Dokter Spesialis Telinga, yang katanya hanya praktik di RS Provinsi. Baik. Aku turuti. Kami dapat jadwal di hari Selasa, jam 19.00. Melalui aplikasi bernama JKN-Lancar, yang kupelajari pakai tutorial dari warung kopi.
Aku dan Bening berangkat sejak siang. Kami tiba di rumah sakit megah itu pukul 17.00. Gedungnya menjulang, stafnya sibuk, parkirnya penuh. Aku bahkan sempat merasa: wah, ini rumah sakit rakyat? Serius?
Tapi optimisme itu bubar saat kami ketemu satpam. Dengan ekspresi datar seperti pembacaan SK mutasi, dia bilang, “Sudah tidak berlaku itu, Pak. Aplikasinya ganti. Harus pakai DaftarIn. Besok pagi datang lagi, ambil nomor manual.”
Aku kira dia bercanda. Tapi ternyata tidak.
Aku tunjukkan ponselku. Aku tunjukkan jadwalku. Aku tunjukkan surat rujukan. Tapi baginya, semua itu tak lebih dari secarik kertas yang salah tanggal. Sementara sistem yang berubah itu… entah diumumkan lewat mana.
“Bapak bisa cek Instagram rumah sakit,” katanya. Aku hanya bisa menatap kosong. Apa hubungan telinga anakku dengan algoritma medsos?
Kami pulang malam itu. Tanpa periksa. Tanpa obat. Tanpa penjelasan. Bening hanya menatap langit-langit mobil bak terbuka yang kami tumpangi. Ia mengusap benjolan di telinganya. Aku menggenggam rujukan yang kini cuma kertas bekas harapan.
Di rumah, aku menulis. Di buku catatan yang biasanya kupakai mencatat panen, aku tulis:
“Jika negara adalah ibu, kenapa ia terlalu sibuk bermain gadget hingga lupa anaknya demam?”
Malam itu aku tidak tidur. Aku membayangkan—bagaimana kalau benjolan itu sesuatu yang serius? Bagaimana kalau keterlambatan ini menambah parah? Bagaimana kalau Tuhan juga marah melihat sistem-Nya dijalankan tanpa belas kasih?
Di antara malam dan subuh, aku berkhayal: bagaimana kalau semua aplikasi kesehatan itu berubah jadi makhluk hidup? Mobile JKN berubah jadi tikus putih, DaftarIn jadi burung elang, dan BPJS berubah jadi badut yang suka tertawa sambil berdiri di atas koper penuh dokumen.
Aku, sang ayah, cuma bisa duduk di tribun, melihat para aplikasi berdebat soal siapa yang paling layak memutuskan nasib Bening. Tapi tak ada yang memeriksanya.
Pagi-pagi aku ke masjid. Di khutbah Jumat, khatib bicara soal amal jariyah. Tentang pohon yang kau tanam, yang daunnya jadi pahala. Tapi di kepalaku, aku justru bertanya: bagaimana dengan aplikasi yang membuat orang miskin gagal berobat? Daunnya tumbuh di mana?
Aku kembali ke rumah, dan menulis lagi:
“Di dunia yang sibuk membuat sistem, lupa bahwa manusia masih butuh dipeluk.”
Aku tahu surat ini tidak akan viral. Tidak akan ditanggapi juru bicara menteri. Tapi aku tetap menulis. Karena anakku tidak bisa bicara. Maka aku menulis untuknya.
Aku ingin negara tahu bahwa rakyat kecil tidak butuh sistem canggih. Kami hanya ingin sistem yang jelas. Yang berfungsi. Yang tidak membuang kami ke lorong-lorong ketidakpastian.
Aku ingin rumah sakit kembali jadi tempat orang sembuh — bukan tempat orang kalah karena tidak punya kuota atau tidak bisa refresh halaman.
Aku ingin aplikasi kembali jadi alat bantu — bukan benteng yang membuat kami menyerah sebelum diperiksa.
Aku hanya ingin anakku sehat.
Dan kalau itu terlalu banyak untuk diminta dari negara sebesar ini — setidaknya tolong… jangan bikin kami merasa lebih sakit dari penyakit itu sendiri.
Sekian ceritaku.
Salam dari Telogoarum, Inung Balingga, Ayah dari anak yang tak mendengar, tapi menyalakan hidupku tiap hari.
PP Laa Roiba-Muaraenim, 06 Agustus 2025