Telaga yang Tak Tersambung, Inug Kirim Surat ke Pak Menteri dan RS Mohammad Hoesin Palembang

Di negeri yang berambisi digitalisasi pelayanan, kisah ini menjadi ironi yang menyakitkan.

Seorang ayah berjalan pelan di lorong rumah sakit yang temaram. Di tangannya tergenggam sebuah surat rujukan. Di sisi kirinya, seorang gadis berusia 17 tahun menyusuri lantai RSUP Mohammad Hoesin Palembang dengan langkah kecil dan senyum tipis.

Namanya Telaga Bening. Gadis itu tuli dan bisu, namun hari itu bukan itu yang menjadi beban utamanya. Ada benjolan di telinganya. Dan seperti nasib kebanyakan rakyat kecil, beban terbesarnya justru ada pada sistem.

Sang ayah, yang menyebut dirinya cukup dipanggil Inug, bukan pencari sensasi. Ia hanya warga negara biasa yang taat prosedur. Punya Kartu BPJS, mengikuti alur dari faskes pertama di BP MAPOLDA Sumsel, lalu ke RS Bhayangkara, hingga sampai ke RS Mohammad Hoesin — rumah sakit kebanggaan Sumatera Selatan.

Pada hari Selasa, 5 Agustus 2025, ia datang lebih awal. Jam 17.00 mereka sudah tiba, dua jam sebelum jadwal Poli Bedah pukul 19.00. Dokter yang dituju: dr. Mufida Muzakir, Sp.BP-RE. Rujukan sudah terdaftar lewat aplikasi Mobile JKN, sesuai prosedur yang dipahami rakyat.

Tapi di lobi rumah sakit, kenyataan mendadak tak lagi sesuai narasi yang dibangun sistem.

“Sudah tidak bisa pakai Mobile JKN,” kata seorang satpam, tanpa banyak penjelasan. “Sekarang harus daftar manual, pakai aplikasi lain. Besok aja datang lagi.”

Tak ada Pengumuman

Tak ada spanduk pengumuman. Tak ada email. Tak ada pemberitahuan resmi. Tidak juga di website atau media sosial. Hanya suara satpam yang jadi pintu informasi — dan juga pintu penolakan.

Malam itu, Bening tak jadi diperiksa. Rujukan yang sah tak berarti di meja administrasi. Sakitnya tertunda, periksa gagal, dan hati seorang ayah pun koyak oleh sistem yang mestinya berpihak.

BACA ARTIKEL TERKAIT : Negara dan Tiket Masuk ke Telinga Anak Saya

Inug tidak marah. Tidak juga meledak. Ia menulis. Sebuah surat terbuka, bukan untuk menggurui, tapi untuk mengabarkan: bahwa di negeri ini, masih ada celah lebar antara regulasi dan kenyataan, antara aplikasi dan pengabdian.

“Saya tidak menyalahkan siapa pun secara pribadi,” tulisnya. “Tapi saya mohon, benahi sistem ini. Jangan biarkan rakyat kecil bolak-balik hanya karena informasi yang tidak sinkron.”

Ironi yang Menyakitkan

Di negeri yang berambisi digitalisasi pelayanan, kisah ini menjadi ironi yang menyakitkan. Digital, ya — tapi tanpa komunikasi. Terintegrasi, ya — tapi hanya di papan perintah, bukan di ruang tunggu pasien.

Telaga Bening adalah simbol. Seorang anak penyandang disabilitas yang hanya ingin didengar, meski ia sendiri tak mampu bersuara. Dan sang ayah, mewakili ribuan orang tua lain yang tak punya akses untuk berbicara, selain melalui kata-kata sederhana yang tajam maknanya:

“Saya hanya ingin anak saya sehat. Saya hanya ingin sistem yang adil, manusiawi, dan transparan. Saya hanya ingin negara hadir di saat rakyat kecil membutuhkannya.”

Malam itu, mereka pulang. Jalanan Palembang basah diguyur gerimis. Dan mungkin, diam-diam, ada yang lebih basah di balik mata seorang ayah yang tak sempat menunjukkan kartu antrenya.**

TEKS : IMRON SUPRIYADI  |  FOTO : CAPTURE FB INUG DONGENG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *