Ratusan Tokoh Agama Berkumpul, Mencari Jalan Damai untuk Indonesia Emas

Silatnas ini bukan seremoni. Ini forum konsolidasi batin kebangsaan,

TANGERANG SELATAN | KabarSriwijaya.NET — Di tengah hiruk-pikuk pembangunan fisik dan janji-janji megaproyek menuju Indonesia Emas 2045, Kementerian Agama menggelar perhelatan yang justru berangkat dari akar sunyi kehidupan berbangsa: kerukunan.

Selama tiga hari, 5–7 Agustus 2025, lebih dari 350 tokoh agama dari seluruh penjuru Nusantara berkumpul dalam Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (Silatnas FKUB) di Serpong, Tangerang Selatan. Mereka datang tidak membawa sekop atau cetak biru pembangunan, melainkan suara-suara yang lama tenggelam dalam riuhnya politik elektoral dan industrialisasi: suara tentang kedamaian, toleransi, dan ruang hidup yang damai di tengah keberagaman keyakinan.

“Silatnas ini bukan seremoni. Ini forum konsolidasi batin kebangsaan,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, saat ditemui usai pembukaan acara, Minggu (3/8/2025).

Nada suaranya datar, tapi tegas. Di hadapannya, meja-meja bundar mempertemukan para Ketua FKUB dari 34 provinsi, pemuka agama lintas iman, serta kepala Kanwil Kemenag se-Indonesia. Di panggung utama, tema besar acara terbentang: “Merawat Kerukunan Umat Menuju Indonesia Emas 2045.”

“Tanpa kerukunan, kita hanya akan punya gedung-gedung tinggi, tapi rapuh di dalam,” lanjut Kamaruddin. Ia menyebut forum ini sebagai “panggung refleksi” yang tak hanya merayakan toleransi, tapi juga membedah tantangan riil di lapangan—dari rumah ibadah yang ditolak warga, konflik antarumat di daerah, hingga pendangkalan pemahaman keberagaman di era media sosial.

Dialog, Bukan Ceramah
Di balik tembok hotel tempat acara berlangsung, berbagai sesi diskusi bergulir secara simultan. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah sesi brainstorming bersama para pemimpin lembaga keagamaan nasional. Di meja utama, tampak duduk Ketua Umum MUI, pimpinan PGI, KWI, PHDI, PERMABUDHI, dan MATAKIN. Mereka bukan sekadar menyampaikan pidato formal, tapi terlibat dalam percakapan terbuka tentang tantangan menjaga harmoni di akar rumput.

Muhammad Adib Abdushomad, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama yang akrab disapa Gus Adib, mengatakan, forum ini memang dirancang agar tak kaku dan birokratis. “Kami ingin yang hadir bukan merasa diundang, tapi merasa memiliki,” katanya.

Salah satu agenda krusial adalah pembacaan Deklarasi Damai Nasional, yang dirancang sebagai acuan moral bersama. Deklarasi ini bukan dokumen kosong, tapi rangkuman dari berbagai cerita di lapangan—tentang rumah ibadah yang bertahun-tahun tak bisa dibangun, tentang imam dan pendeta yang diam-diam saling bantu, dan tentang generasi muda yang mencari agama tapi tersesat di lorong digital.

Konflik yang Tak Selesai, Tapi Bisa Dicegah
Menurut data Kemenag, sepanjang lima tahun terakhir, kasus konflik keagamaan di Indonesia memang menurun secara kuantitatif. Namun, benih-benih gesekan masih rawan tumbuh, terutama dalam isu-isu sensitif seperti pendirian rumah ibadah dan perbedaan cara beribadah.

Karena itu, salah satu sidang komisi dalam forum ini secara khusus membahas “Harmonisasi Umat Beragama: Isu Pendirian Rumah Ibadat, Rumah Doa, dan Praktik Keagamaan.” Di ruangan itu, para peserta berbagi pengalaman: dari gereja yang gagal berdiri di tengah pemukiman mayoritas, hingga masjid kecil yang dibakar karena kesalahpahaman.

“FKUB di daerah tidak boleh hanya menjadi pemadam kebakaran,” kata salah satu peserta dari Sumatera Utara. “Kita harus jadi taman yang mencegah api tumbuh.”

Politik, Agama, dan Ruang Sipil
Tak hanya tokoh agama, Silatnas juga dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara: Menteri Koordinator Bidang PMK, Menko Polhukam, Mendagri, Wakil Menteri Sekretaris Negara, hingga aktivis seperti Alissa Wahid. Hadir pula unsur akademisi dari PPIM UIN Jakarta dan perwakilan dari PP Muhammadiyah.

Bagi Gus Adib, sinergi lintas sektor ini krusial. “Kita tak bisa menyerahkan tugas menjaga kerukunan hanya pada tokoh agama. Negara harus hadir, tapi tidak dominan. Masyarakat sipil harus bergerak, tapi tak liar. Perlu keseimbangan yang terus dijaga,” katanya.

Lebih lanjut, forum ini juga menjadi arena konsolidasi terhadap delapan program prioritas Kemenag (Asta Protas)—di antaranya penguatan kelembagaan keagamaan, pendidikan karakter cinta kemanusiaan, serta kolaborasi lintas iman sebagai fondasi damai berkelanjutan.

Kerukunan sebagai Infrastruktur Kultural
Dalam bayangan pemerintah, menuju Indonesia Emas 2045 berarti menjadi negara maju dengan ekonomi terbesar keempat di dunia. Tapi di balik ambisi itu, Kemenag menyisipkan satu gagasan yang tidak bisa diukur dengan angka pertumbuhan: kerukunan.

“Tanpa kerukunan, semua target pembangunan hanya ilusi,” ujar Kamaruddin Amin.

Dan di forum seperti Silatnas FKUB ini, ilusi itu mulai diuji. Dengan dialog. Dengan refleksi. Dengan kesediaan untuk mendengar yang berbeda.

Serpong hanya tempat. Tapi yang tumbuh di dalamnya adalah kesadaran: bahwa sebelum kita menjadi negara maju, kita harus lebih dulu menjadi bangsa yang saling menjaga.

TEKS : YULIE AFRIANI  | EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *