“Ratu Lembang”: Secangkir Harapan dari Balik Jeruji

kopi ini menjadi simbol gerakan baru: bahwa di balik dinding beton

PALEMBANG | KabarSriaijaya.NET  — Hari itu, aroma kopi menyeruak lembut dari sebuah ruang kecil di balik tembok kokoh Rutan Kelas I Palembang. Bukan dari mesin espresso modern, bukan pula dari kafe trendi di tengah kota. Ini kopi yang diracik dengan kesabaran, dilatih dengan disiplin, dan diolah oleh tangan-tangan yang pernah keliru arah hidupnya.

Saya datang pagi itu, disambut hangat oleh Kepala Rutan, M. Rolan, lelaki bertubuh tegap dengan sorot mata yang penuh semangat. Di tangannya, sebungkus kopi mungil dengan nama “Ratu Lembang” disodorkan pada saya, lengkap dengan senyum tulus dan cerita di baliknya.

“Ini karya mereka, Mas. Mulai dari menyangrai, menggiling, sampai mengemas. Kami ajari semua dari awal,” katanya sambil menepuk bahu salah satu warga binaan yang sedang menata kemasan di rak kayu sederhana.

Nama “Ratu Lembang” ternyata bukan sembarangan. Akronim dari “Rutan Satu Palembang”, kopi ini menjadi simbol gerakan baru: bahwa di balik dinding beton, masih ada bara semangat yang menyala. Mereka bukan hanya menjalani hukuman, tapi juga memupuk harapan.

Saya mencium aroma bijinya. Harum, sedikit asam, dengan jejak cokelat dan rempah. Menarik. Kopi ini tak hanya menawarkan rasa, tapi juga kisah.

Seorang warga binaan, sebut saja Fikri, bercerita sambil memutar penggiling manual. Ia belajar menyangrai dari nol. “Dulu, hidup saya cuma malam. Dunia gelap. Tapi sekarang, saya ngerti cara melihat kopi bagus dari aromanya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu.

Di sinilah letak keistimewaannya: kopi bukan sekadar minuman, tapi jembatan antara kesalahan dan kesempatan kedua. Mereka belajar tentang disiplin, kerja sama, dan kesabaran—semua lewat biji kopi yang disangrai dengan bara kecil dan waktu yang tepat.

Program ini adalah bagian dari inovasi yang diusung oleh Karutan Rolan sejak ia memimpin Rutan Palembang dua bulan lalu. Selain kopi, ada pula transformasi digital layanan, penguatan sistem pengaduan, hingga pelatihan kemandirian berbasis UMKM.

Namun, kopi tetap jadi bintangnya.

Setiap beberapa minggu, Rutan Palembang menggelar Coffee Morning bersama awak media. Bukan sekadar pencitraan. “Kami ingin publik tahu, bahwa narapidana juga manusia. Mereka punya cita rasa, punya keinginan untuk berubah,” kata Rolan sambil menyeruput kopi hasil racikan para warga binaan.

Saya mengangguk pelan. Ada rasa getir, hangat, dan manis di ujung lidah—seperti hidup itu sendiri.

Sambil berjalan keluar, saya lihat beberapa warga binaan sedang menyusun kardus pengiriman. Ada yang mengepel lantai. Ada pula yang duduk menulis catatan kecil di balik bungkus kopi: “Terima kasih telah memberi kami kesempatan.”

Ah, saya jadi ingat satu kalimat lama: “Tak ada manusia yang sempurna. Tapi setiap manusia berhak punya rasa dan masa depan.”

Dan di Rutan Palembang, masa depan itu kini diseduh dalam cangkir-cangkir harapan. Sruputtt… mak nyus!

TEKS : YULIE AFRIANI  |  EDITOR : IMRON SUPRIYADI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *