PALEMBANG | KabarSriwijaya. NET — Dunia jurnalistik tak pernah benar-benar tenang, apalagi di ranah siber. Informasi melaju lebih cepat dari klarifikasi, dan sengketa hukum sering muncul sebelum etika sempat diuji. Di tengah kerentanan itu, Dewan Pimpinan Daerah Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Sumatera Selatan memilih jalan memperkuat diri.
Akhir Juli lalu, organisasi wartawan ini resmi menggandeng Kantor Hukum Yogi Vitagora, SH, M.Kn & Rekan sebagai bagian dari tim kuasa hukum mereka. Kerja sama itu, menurut pengurus, bukan sekadar formalitas, tapi bentuk siaga menghadapi tekanan hukum yang kian lekat pada profesi jurnalis.
“Kami ingin memastikan anggota tidak berjalan sendiri saat menghadapi persoalan hukum,” kata Edi Triono, Ketua DPD PJS Sumsel, Senin (29/7), di Palembang.
Edi mengungkapkan bahwa pertemuan dengan Yogi Vitagora dilakukan pada 30 Juli 2024 lalu. Dari pertemuan itu, terbangun kesepahaman bahwa organisasi pers memerlukan mitra hukum yang bukan hanya paham regulasi, tapi juga memahami irama kerja jurnalistik yang serba cepat dan penuh risiko.
Bukan Sekadar Pendamping
Nama Yogi Vitagora tak asing di kalangan advokat muda Sumatera Selatan. Usai menyelesaikan studi magister kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yogyakarta, Yogi mendirikan kantor hukum yang berkantor di Jalan Inspektur Marzuki, Palembang.
Namun keterlibatan Yogi bukan sekadar formalitas. Ia menyebut kolaborasi dengan PJS sebagai bagian dari pengabdian hukum bagi profesi yang kerap berada di garis depan demokrasi, namun justru minim perlindungan.
“Saya melihat PJS punya semangat membangun jurnalisme yang profesional. Itu membuat saya tertarik untuk terlibat,” kata Yogi.
Ia menambahkan bahwa di tengah derasnya pelaporan terhadap jurnalis, pendekatan hukum tak cukup hanya reaktif. Edukasi kepada para anggota organisasi, menurutnya, jauh lebih penting. Yogi berencana menyusun program penyuluhan dan advokasi hukum bagi anggota PJS.
Arena yang Tak Lagi Aman
Di Sumatera Selatan, beberapa kasus sengketa pers dengan narasumber maupun pejabat publik sempat memicu polemik. Dari tuntutan pencemaran nama baik, sengketa hak jawab, hingga ancaman pidana digital. Bagi organisasi baru seperti PJS—yang baru mengukuhkan kepengurusan provinsi pada 16 Juni 2025 lalu—persoalan itu bisa menjadi badai yang melumpuhkan bila tak diantisipasi.
PJS memilih memperkuat “perisai” lebih awal. Bukan hanya agar anggota terlindungi, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa organisasi ini ingin berjalan dengan struktur hukum yang jelas. Menurut Edi, ini bagian dari proses penataan profesionalisme media daring.
“Kami tidak ingin sekadar menjadi organisasi. Kami ingin menjadi lembaga yang menjamin integritas dan perlindungan anggotanya,” ujarnya.
Yogi pun menegaskan bahwa perlindungan bukan berarti memberi kebebasan tanpa batas. Jurnalis, kata dia, tetap harus memahami rambu-rambu etika dan hukum yang berlaku. Ia menilai, kerja sama ini juga penting sebagai penyeimbang: agar wartawan tidak hanya berani menulis, tetapi juga tahu tanggung jawabnya.
Antisipasi Bukan Reaksi
Dalam peta kerja jurnalistik digital, perlindungan hukum sering kali baru muncul setelah masalah membesar. PJS mencoba mengubah pola itu. Bagi mereka, pendampingan hukum bukan tindakan pasif, melainkan bagian dari strategi membangun organisasi yang tahan terhadap tekanan.
Langkah ini juga menjadi refleksi atas kondisi pers yang tak lagi steril dari intervensi hukum. Ketika keberanian menulis berhadapan langsung dengan jeratan UU ITE atau gugatan pencemaran, solidaritas organisasi dan kesiapan hukum menjadi penting.
PJS Sumsel tampaknya menyadari itu sejak dini. Kolaborasi dengan kuasa hukum seperti Yogi Vitagora bisa menjadi titik awal, meski belum tentu menjadi benteng mutlak. Tapi setidaknya, mereka tidak ingin berjalan sendirian di tengah hutan belantara hukum yang kerap tak berpihak pada kebenaran.
TEKS : YULIE AFRIANI | EDITOR : IMRON SUPRIYADI












