PALEMBANG | KabarSriwijaya.NET – Konflik tenaga pendidik kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, datang dari kampus swasta ternama di Sumatera Selatan, Universitas Multi Data Palembang (UMDP). Dr. Wijang Widhiarso, S.Kom., M.Kom., mantan dekan sekaligus dosen senior yang telah mengabdi lebih dari dua dekade, mengaku mendapat perlakuan tidak adil setelah mengajukan pensiun dini. Ironisnya, permintaan tersebut justru berujung ancaman pidana.
Kuasa hukum Dr. Wijang dari SHS Law Firm, Sofhuan Yusfiansyah, S.H., M.H., menegaskan bahwa kliennya bukan hanya dihalangi dalam proses pengunduran diri secara sah, melainkan juga dipaksa menandatangani surat pengunduran diri dengan dugaan tekanan psikologis. “Padahal, permohonan pensiun dini itu semata-mata didasari alasan kemanusiaan: sang istri sakit keras dan membutuhkan pendampingan penuh,” terang Sofhuan.
Senin (28/7/2025), SHS Law Firm yang juga diwakili advokat Sigit Muhaimin, S.H., M.H., serta tim—Akbar Sanjaya, Septiani, dan M. Khoiry Lizani, S.H.—berusaha mengupayakan mediasi dengan pihak kampus di Kantor Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Palembang. Namun, langkah mediasi itu kandas. Pihak UMDP absen tanpa keterangan.
PHK Terselubung dan Somasi Balasan
Dalam keterangan persnya, Sofhuan mengungkap indikasi kuat adanya pemaksaan pengunduran diri yang bermuara pada rekayasa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terselubung. Hingga saat ini, Dr. Wijang belum menerima Surat Keputusan (SK) pemberhentian resmi, namun telah dilarang menjalankan tugas akademiknya sejak 9 Juli 2025.
“Kami menduga ini bagian dari manuver sistematis untuk menghambat hak-hak akademik klien kami, termasuk proses kenaikan jabatan fungsional menjadi guru besar,” ujar Sofhuan.
Yang lebih mencengangkan, lanjutnya, selama 22 tahun 8 bulan mengabdi, Dr. Wijang diduga tidak pernah menerima pembayaran hak cuti yang tidak diambil, upah lembur, hingga kepastian jaminan ketenagakerjaan. Bahkan, nama Dr. Wijang telah dicabut dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI), langkah yang berpotensi mematikan rekam jejak karier akademik seseorang secara nasional.
“Jika dalam waktu dekat hak-hak normatif tidak juga dipenuhi, maka kami akan membawa kasus ini ke jalur pidana dan/atau perdata,” tegasnya.
Pihak Universitas: Bungkam dan Melempar Tanggung Jawab
Saat dimintai konfirmasi, Rektor Universitas MDP, Dr. Yulistia, S.Kom., M.T.I., tidak memberikan penjelasan detail. Ia menyebut perkara tersebut telah ditangani oleh kuasa hukum yayasan, Sutiyono.
Namun ketika dikonfirmasi secara terpisah, Sutiyono, selaku kuasa hukum Yayasan MDP, menyatakan ketidaktahuannya mengenai agenda mediasi di Disnaker Palembang. “Saya tidak tahu itu,” jawabnya singkat melalui sambungan telepon.
Meski begitu, Sutiyono menegaskan bahwa pihaknya telah mengirimkan somasi dan menolak semua tudingan. “Yang bersangkutan sudah menyatakan mengundurkan diri. Kami punya dokumen hukumnya,” ujarnya tanpa menyentuh isu pemaksaan maupun rekayasa PHK.
Sutiyono menambahkan bahwa ada perjanjian kerja antara pihak yayasan dan Dr. Wijang yang menjadi dasar keputusan hukum. Ia menantang tim kuasa hukum mantan dekan tersebut untuk membeberkan secara terang rincian perjanjian dan fakta-fakta hukum yang mereka miliki.
Sejumlah pihak menilai, kasus ini menjadi cerminan betapa relasi kerja di dunia pendidikan tinggi, yang seharusnya dilandasi oleh prinsip keilmuan dan kemanusiaan, masih rentan terhadap praktik-praktik sewenang-wenang. Jika benar ada tekanan hingga pemaksaan pengunduran diri, maka persoalan ini tidak sekadar persoalan manajemen SDM, melainkan menyentuh ranah hak asasi pekerja akademik yang patut diuji di meja hukum.**
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : WARMAN P