
Kita ini manusia. paling rumit, paling unik, dan paling… sering ngaku-ngaku paling benar. Kita ini perpaduan antara surga dan neraka, antara malaikat dan setan, antara surah Al-Baqarah dan hasutan TikTok. Kita lahir membawa dua naluri: naluri baik dan naluri buruk. Dan keduanya tidak pernah cuti. Mereka lembur, bahkan saat kita tidur.
Yang satu: mendorong kita jadi dermawan, sabar, ikhlas, penyayang. Yang satu lagi: menggoda kita jadi rakus, tamak, pendendam, pongah, dan hobi pamer saldo rekening. Yang satu mengajarkan mencium tangan ibu, yang satu menyuruh menjual ibu demi konten viral.
Dan percayalah, setan itu rajin banget. Kalau manusia punya kalender merah, setan itu haram cuti. Boro-boro libur nasional, dia lembur saat Lebaran. Dia bekerja 24 jam tanpa gaji, tanpa THR, dan tanpa sakit hati meskipun kamu ngaji tiap hari.
Dia punya satu tujuan: memunculkan naluri buruk dalam dirimu. Di hadapanmu, dia bukan berwujud tanduk dan ekor, tapi seringkali justru datang melalui gadget mahalmu, kursi kekuasaanmu, atau rasa dendam di dalam dadamu.
Sementara di sudut lain, malaikat juga berbisik. Tapi bisikan malaikat itu lembut. Tidak berisik, tidak heboh, tidak ngotot. Kadang kita lebih suka yang ribut-ribut, dibanding yang sunyi tapi hakiki. Kita lebih suka tontonan meledak-ledak, daripada renungan sepi yang membangun jiwa.
Di dalam tubuh kita, ada dua unsur pokok: hati dan nafsu.
Hati adalah kendaraan malaikat, pusat cahaya, tempat bersemayamnya iman, dan ruang dialog rahasia dengan Tuhan.
Nafsu adalah kendaraan setan, pusat keinginan, pusat syahwat, pusat egoku dan egomu dan ego kita semua.
Masalahnya, kita sering mengira bahwa hidup harus “menuruti kata hati”, padahal yang kita turuti itu bukan hati… tapi nafsu yang menyamar jadi hati. Kita bilang, “Ini kata hati gue”, padahal itu cuma ambisi yang dibungkus drama spiritual.
Betapa sering kita membelakangi hati. Hati dibungkam, dikucilkan, dipenjarakan. Nafsu malah kita angkat jadi bos besar, CEO dalam diri, pengatur algoritma hidup. Nafsu bilang “kejar dunia”, kita kejar. Nafsu bilang “jangan sedekah, nanti miskin lagi”, kita manut.
Dulu waktu miskin, kita rajin sholat malam. Giliran kaya, malah rajin nyalahin takdir. Dulu waktu susah, kita peka pada jeritan dhuafa. Sekarang sudah naik mobil Eropa, malah tutup kaca saat lihat pengemis. Kita lulus ujian kemiskinan, tapi gagal saat diuji kekayaan.
Ada dua macam dendam kemiskinan.
Yang pertama: dendam kemiskinan yang positif — ketika orang yang dulunya susah, lalu setelah sukses ia balas dendam dengan cara membahagiakan orang-orang yang dulu senasib dengannya. Ia bangun pesantren, ia santuni anak yatim, ia biayai orang sekolah.
Yang kedua: dendam kemiskinan yang destruktif — saat ia jadi kaya, ia malah ingin balas sakit hatinya pada dunia. Ia sombong, ia pelit, ia merasa berjasa pada dirinya sendiri. Ia bilang, “Dulu aku susah, gak ada yang nolongin. Jadi sekarang, aku gak mau nolong siapa-siapa!”
Orang semacam ini adalah : Neo Tsa’labah.
Zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang sahabat bernama Tsa’labah. Waktu miskin, dia rajin ibadah. Tapi begitu doanya terkabul dan dia jadi kaya, dia malah enggan membayar zakat. Bahkan sampai zaman Khalifah Umar pun, dia tetap keras kepala. Kekayaan membuatnya sombong dan lupa bahwa dulu ia menghiba pada Tuhan.
Sekarang, kita hidup di zaman berjuta Tsa’labah baru: Neo Tsa’labah.
Bentuknya bisa politisi yang lupa rakyat, seniman yang lupa tanah kelahiran, pegawai yang dulu sopan lalu jadi pejabat tiran, pemulung yang jadi jutawan tapi kemudian angkuh, atau guru yang jadi kepala sekolah tapi lupa murid. Setelah naik, lupa turun. Setelah bisa “ndangak”, lupa “ndingluk”. Padahal langit sekalipun, suatu saat akan menurunkan hujan, agar bumi tetap subur.
Pesan saya sederhana: Kalau Anda sudah bisa terbang, jangan lupa daratan.
Ingatlah bahwa Anda ini makhluk darat, bukan burung, bukan pesawat. Anda tetap butuh makan nasi, butuh tidur di kasur, dan butuh maaf dari orang lain. Jangan sampai terlalu jauh melaut sampai tak tahu jalan pulang. Jangan terlalu tinggi terbang, sampai lupa bahwa semua burung pun akhirnya harus turun ke sarang.
Kita ini bukan malaikat, tapi juga bukan setan. Kita ini manusia. Punya kemungkinan untuk mulia, juga punya potensi untuk binasa.
Kalau kamu hari ini sudah sampai di puncak Monas, jangan lupa tangga yang membawamu ke atas. Jangan ludahi anak tangga yang dulu kamu injak-injak. Karena saat kamu jatuh nanti (dan pasti semua akan jatuh pada waktunya), kamu akan kembali lewat tangga yang sama.
Belajarlah pada daun. Saat masih hijau, dia tak sombong. Saat menguning, dia tak mengeluh. Ketika waktunya tiba, dia jatuh… diam-diam jadi pupuk untuk pohon yang dulu menumbuhkannya.
Hidup bukan soal siapa yang paling tinggi. Tapi siapa yang tetap rendah hati meski telah tinggi. Bukan siapa yang bisa ndangak paling tinggi, tapi siapa yang bisa ndingluk paling dalam.
Jangan bangga bisa naik mobil mewah, kalau itu membuatmu menolak mampir ke warung ibu yang dulu memberimu utang. Jangan bangga punya jabatan, kalau kau melupakan suara tangis orang kecil yang dulu membuatmu menang pemilu.
Karena ban Fuso sekalipun, bisa tergelincir oleh kerikil kecil. Bukan batu besar.
Artinya, kita ini bukan jatuh karena hal besar. Tapi karena hal kecil yang kita remehkan. Kita jatuh bukan karena badai, tapi karena kita lupa… cara menunduk dan bersyukur.
Maka, kalau hari ini Anda sedang berada di atas awan… ingatlah tanah tempat Anda tumbuh. Ingat siapa yang dulu meminjamkan payung di saat hujan. Ingat siapa yang memelukmu di saat kamu tak punya apa-apa.
Dan ingat… kalau Anda sedang naik daun, jangan lupa… daun pun pada waktunya akan jatuh. “Tinggilah setinggi langit. Terbanglah sejauh mata memandang. Tapi tetaplah bawa bumi di hatimu. Karena bumi tempat engkau akan kembali.”
Pondok Pesantren Laa Roiba-Muaraenim, Ahad, 19 Juli 2025