Di sebuah lorong kecil di kawasan Ogan Baru, Kecamatan Kertapati, Palembang, suara palu dan gergaji yang dulu pernah sunyi kini menjadi simfoni harapan. Di ujung lorong itu, di RT 47 RW 09, berdiri sebuah rumah baru yang belum lama selesai dipugar. Bukan rumah megah dengan cat berkilau dan pagar mewah. Tapi bagi Nawawi dan keluarganya, rumah itu adalah tanda bahwa mereka tak dilupakan dunia.
Sebelum hari itu datang, Nawawi tinggal di rumah yang nyaris tak layak disebut “rumah.” Atapnya bocor di musim hujan, dindingnya retak-retak, bahkan beberapa bagian sudah roboh. Ia menumpuk kayu bekas dan seng karatan untuk menutupi celah-celah yang membuat angin malam mudah menyusup.
“Kalau hujan deras, kami lebih banyak duduk berdempetan di pojok yang paling kering,” cerita Nawawi, suaranya pelan, matanya menerawang. “Tapi ya tetap basah juga.”
Semua berubah pada hari Jumat, 18 Juli 2025. Tepat ketika mentari mulai condong ke barat, rumah itu diresmikan. Bukan oleh kontraktor atau pengembang properti, tapi oleh tangan-tangan yang didorong niat sosial dan iman: Pemerintah Kota Palembang dan Baznas Kota Palembang, dalam program yang mereka namakan Palembang Peduli.
Dari Roboh ke Ridho
Program ini bukan sekadar proyek pembangunan fisik. Ia berangkat dari kegelisahan dan empati: bahwa di balik deretan rumah-rumah bata, masih ada warga yang hidup dalam selimut lubang dan kesederhanaan ekstrem. Ketua TP PKK Kota Palembang, Hj. Dewi Sastrani Ratu Dewa, hadir langsung meresmikan rumah Nawawi.
“Rumah Pak Nawawi sebelumnya sudah roboh,” katanya di hadapan warga. “Alhamdulillah hari ini rumah barunya kita resmikan. Semoga ini menjadi tempat tinggal yang membawa berkah dan kebahagiaan bagi seisi rumah.”
Program ini adalah bagian dari komitmen Wali Kota Ratu Dewa dan Wakil Wali Kota Prima Salam untuk menyisir denyut Palembang dari lorong ke lorong, bukan sekadar dari kantor ke kantor.
BACA ARTIKEL LAINNYA : Zakat, Rumah Roboh dan Kepercayaan yang Hilang
Dalam Palembang Peduli, bedah rumah adalah salah satu dari sekian bentuk intervensi sosial. Ada pula bantuan disabilitas, dana UMKM, serta jaring pengaman ekonomi yang didorong dari pengelolaan zakat.
Zakat. Ya, di sinilah kekuatan itu mengalir.
Zakat yang Menjadi Dinding dan Atap
“Ini bukan program charity musiman,” tegas Kgs. M. Ridwan Nawawi, Ketua Baznas Kota Palembang. “Kita punya sistem. Kita punya komitmen. Dan yang paling penting: kita punya amanah dari umat.”
Rumah Nawawi adalah rumah ke-12 yang telah dibedah tahun ini dari target 24 unit. Tapi kabar baik datang dari pusat: Baznas RI mengucurkan dukungan tambahan untuk 12 rumah lagi. Total tahun ini akan ada 36 rumah yang dibangun ulang dari reruntuhan harapan.
Baznas tak sekadar memungut zakat. Ia mengubahnya menjadi simbol keadilan sosial, menjadi atap bagi mereka yang selama ini terlewat. Ridwan menambahkan, program bedah rumah akan terus dilanjutkan, dengan proses seleksi yang ketat dan berbasis data lapangan.
“Kami pastikan, yang menerima benar-benar yang membutuhkan. Dan ini terbukti. Rumah Pak Nawawi ini bukan hanya layak secara fisik, tapi juga layak secara hati.”
Ketika Rumah Menjadi Doa yang Berwujud
Sore itu, setelah peresmian selesai dan para tamu mulai meninggalkan lokasi, Nawawi berdiri di depan rumah barunya. Ia menyapu halaman kecil yang kini tak lagi becek. Di dekat pintu, istrinya menyalakan kompor untuk membuat kopi pertama di rumah yang tak bocor.
Tak ada pidato. Tak ada selebrasi berlebihan. Hanya senyum yang tak bisa disembunyikan dan ucapan lirih yang tulus: “Alhamdulillah.”
Sebagian orang mungkin melihat rumah ini sebagai satu unit kecil dari program pemerintah. Tapi bagi Nawawi dan keluarga, rumah ini adalah awal baru. Sebuah saksi bahwa kebaikan masih mungkin tumbuh, meski dari lorong sempit dan tanah berlumpur.
Karena sejatinya, rumah bukan tentang ukuran. Ia tentang rasa aman, tentang tidur yang tak terganggu tetesan hujan, tentang keyakinan bahwa di balik segala kesulitan, Allah selalu mengirimkan pertolongan—kadang lewat zakat, kadang lewat tangan tetangga, kadang lewat negara.
Dan hari itu, pertolongan itu datang. Dari Allah, lewat zakat, lewat Baznas, dan lewat siapa pun yang mau peduli.
Sejumlah pihak menilai, agar program Palembang Peduli menjadi bukti bahwa zakat bukan hanya instrumen ibadah, tapi juga solusi nyata atas ketimpangan sosial. Melalui program ini, warga mengakui , Baznas dan Pemkot Palembang telah memperlihatkan bagaimana birokrasi dan nilai-nilai Islam bisa berjalan dalam satu langkah. “Harapan kami sebagai warga di Palembang, semoga langkah ini bisa diikuti banyak kota lain, agar rumah-rumah layak tak lagi jadi kemewahan, tapi hak dasar bagi setiap warga negara,” ujar Abah Ridwan, yang pernah mengadvokasi pedagang kaki lima di Palembang tahun 2002.
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI | FOTO : NET