Laut Sungsang, Peluru, dan Luka yang Tidak Bisa Pulang

Yogi telah menjadi guru yang tak pernah mendaftar jadi dosen

Oleh : Imron Supriyadi
Oleh : Imron Supriyadi

Di suatu senja yang tidak lagi suci di Labuan Pering, perbatasan perairan Banyuasin dan Tanjung Jabung Timur, seorang anak nelayan bernama Yogi Pratama (26 tahun), berlayar seperti biasa. Tidak membawa senjata, tak mengenakan rompi anti peluru. Hanya jaring, dan harapan dari ibu dan adik-adiknya di darat.

Tapi siang itu, Sabtu 12 Juli 2025, laut tak bersahabat bukan karena ombak, bukan karena cuaca. Tapi karena suara tembakan. Bukan dari bajak laut. Tapi dari kapal bercat abu-abu, lambung tidak dikenal, diduga milik negara—tapi bersikap seperti bukan milik rakyatnya.

Yogi terkena peluru di leher. Luka tak tembus, tapi cukup menenggelamkan banyak harapan.

 Kami Ini Bukan Teroris, Hanya Nelayan

Saya tak habis pikir. Kita hidup di negeri yang konon maritim, katanya kita punya Visi Poros Maritim Dunia, tapi nelayan kita ditakuti dan ditembaki. Mereka bukan penyelundup narkoba, bukan perompak Somalia, hanya anak-anak desa Sungsang yang menyandarkan hidupnya di jaring dan hasil laut.

Apakah karena mereka tak bergelar akademik? Tak punya badge partai? Atau karena mereka tak punya wartawan yang selalu sedia merilis press release pagi-siang-malam? Seperti kata Budayawan Cak Nun, “Kadang negara lupa, bahwa mereka yang tidak mengeluh justru yang paling sering dilukai.”

Dibawa Ombak, Ditinggal Birokrasi

Yogi tidak langsung ditangani secara medis. Ia menahan sakit di engah laut. Tanpa engahtic, tanpa selang infus. Satu-satunya yang menyelamatkan adalah sinyal HP, itupun menunggu perahu cukup dekat dengan darat. Ia akhirnya dibawa ke Klinik dr. Mandra, dan kemudian dirujuk ke RS AR-Rasyid di Palembang. Masuk UGD, koma, operasi dini hari. Bayangkan: dari tertembak pukul 13.00 siang hingga operasi pukul 00.00 lewat engah malam.

Dan setelah dua hari dua malam, barulah Yogi dibolehkan pulang. Diantar mobil Ambulans Danlanal. Terimakasih, tentu. Tapi rasa engah itu juga tetap mengalir di engah luka yang belum utuh.

Yogi Sembuh, Tapi Hatinya Masih Berlubang

Ketika itu, keluarga Yodi, Ita Rosita, menangis lirih. “Yogi selamat, tapi bagaimana nanti? Dia takut ke laut. Padahal itu satu-satunya nafkah.” Ayahnya, Darmawan, bicara dengan suara serak. “Kami bukan minta ganti rugi mewah. Kami hanya ingin jaminan, supaya nelayan kami tidak lagi jadi sasaran di perairan sendiri.”

Luka Yogi memang sudah dijahit. Tapi luka kepercayaan—pada laut, pada negara, pada hidup—itu masih menganga. Sebab tak ada satu pun pejabat tinggi negeri ini yang datang ke Sungsang. Tak ada pernyataan resmi. Yang muncul hanya: “oknum diamankan, dibawa ke Jakarta.”

Kalau tidak viral, apakah Yogi hanya akan dicatat sebagai “kerusakan tak teridentifikasi di tengah laut”?

 Satire Kecil dari Sungsang

Banyuasin bukan Monas. Tidak ada live streaming. Tidak ada studio podcast ber-AC yang membahas “nasib nelayan.” Tidak ada buzzer membela.

Tapi peristiwa ini seharusnya jadi titik tolak bagi kita semua untuk mengingat kembali siapa yang paling sering kita abaikan dalam demokrasi. Yang sering dilupakan dari demokrasi adalah, bahwa ia harus menyapa orang yang tidak bisa membeli mikrofon.

Dan benar saja, mikrofon itu jarang mampir ke perahu kecil di laut Sumatera. Tapi jeritan mereka seharusnya tetap sampai ke meja presiden.

Apa yang kita tunggu dari negara? Saya dan semua nelayan tidak meminta negara menangis. Tapi menunggu penjelasan resmi : siapa yang menembak, dan kenapa? Identitas kapal abu-abu itu: milik siapa? punya izin tembak siapa? Perlindungan hukum dan pemulihan psikologis untuk korban dan keluarganya. SOP yang transparan: agar nelayan tidak lagi menjadi “target salah sasaran.”

Yogi sudah pulang. Tapi bagaimana dengan empat ABK lain dari kapal satunya, yang hingga kini belum ditemukan? Apakah akan dicatat sebagai angka statistik?

Negara Jangan Pilih-Pilih Anak

Kalau aparat TNI diserang, semua satuan dikerahkan. Kalau menteri dihina, semua kanal pers berteriak. Tapi kalau anak nelayan ditembak, kenapa hanya ditangani sekadarnya?

Apakah mereka bukan anak Indonesia juga? Bangsa ini tidak akan jatuh karena musuh luar. Tapi ia bisa hancur karena abai kepada yang paling kecil. Sungsang adalah saksi dari sejarah ini.

Dosa yang Tidak Bisa Didiamkan

Dalam tradisi Islam, kita kenal istilah zulm (kezaliman). Jika kezaliman tidak diberi nama dan dibiarkan, maka itu bukan hanya dosa individu. Itu dosa sistemik. Dan dosa sistemik akan mematikan hati nurani bangsa. Yogi bisa bangun dari koma. Tapi bangsa ini, apakah sudah sadar dari komanya sendiri?

Surat dari Laut untuk Jakarta

Saya bayangkan Yogi menulis surat untuk Jakarta. Ia tak tahu ke mana alamatnya. Tapi ia tulis begini: “Saya hanya ingin melaut. Tapi saya ditembak. Saya tidak ingin jadi terkenal. Saya hanya ingin hidup dengan tenang. Jangan jadikan laut kami tempat latihan perang. Kami ini bukan musuh negara.”

Dan kita semua, yang membaca surat itu, harus memutuskan: Apakah kita mau terus diam, atau mulai menyeka luka di laut ini. Sungsang tidak minta kasihan. Mereka hanya ingin negara tidak menembak anak-anaknya lagi.

Dan jika kelak peluru itu harus mengingatkan kita bahwa demokrasi itu milik semua, bukan hanya para elite, maka Yogi telah menjadi guru yang tak pernah mendaftar jadi dosen.**

Catatan : Tulisan ini persembahan dari tanah pesisir—untuk mereka yang masih percaya, bahwa satu nyawa nelayan harus lebih berharga dari seribu retorika pembangunan.

Pojok Sungsang – 16 Juli 2025

*) Penulis adalah Jurnalis di Sumsel

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *