OGAN ILIR | KabarSriwijaya.NET – Pada Selasa sore yang panas dan lengang, langit di atas Desa Ulak Petangisan dan Sungai Rambutan mulai berubah warna. Bukan mendung. Tapi kelabu pekat asap. Bau hangus menampar lubang hidung. Di kejauhan, siluet api melahap semak belukar di ujung sawah, meliuk-liuk seperti ular lapar yang tak ingin berhenti.
Di tanah yang katanya lumbung pangan itu, api kembali menjadi berita utama. Dua desa di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, terbakar. Lagi. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, yang datang lebih dulu bukan hujan, melainkan sirene pemadam dan laporan dari posko kebakaran hutan dan lahan, atau yang populer disebut karhutla.
“Ya, benar karhutla,” ujar Ferdian Krisnanto, Kepala Balai Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan, dengan nada yang sudah lelah menanggapi peristiwa yang seolah sudah menjadi rutinitas musiman. “Ada tiga titik api. Dua sudah padam, satu masih membara sejak siang.”
Ia berbicara dari posko di Palembang, 40 kilometer dari lokasi kebakaran. Sementara di lapangan, tim regu Manggala Agni, bersama TNI, Polri, dan BPBD, berpacu dengan waktu. Mereka memanggul tangki air, menyemprot semak, dan membuat sekat bakar. Langkah kaki mereka menembus semak kering, diiringi bunyi sempritan burung yang lari dari habitat yang ikut terbakar.
Kebakaran dimulai dari semak belukar, di tepi lahan persawahan. “Tanahnya sudah terlalu kering,” kata Ferdian. “Dan kalau vegetasi sudah seperti kertas, tinggal satu puntung rokok saja, bisa membakar dua hektare dalam satu jam.”
Mereka yang Tak Pernah Ada di Peta
Tak banyak yang tahu pasti di mana letak Desa Ulak Petangisan. Bahkan di peta digital, ia hanya muncul setelah layar diperbesar berkali-kali. Namun di situlah, anak-anak petani, perempuan penyadap karet, dan para petani kecil membangun hidup. Mereka tak pernah disebut saat korporasi besar diundang oleh pejabat provinsi untuk menandatangani MoU investasi lahan.
Ketika kebakaran datang, yang pertama kali terdampak bukanlah pemilik saham, melainkan anak-anak di sekolah dasar yang batuknya tak sembuh-sembuh. Para petani kehilangan sawah yang belum sempat panen. Dan langit berubah menjadi abu. Begitu pekat, hingga matahari seperti tertutup jaring debu.
Edi Rahmat, Kepala BPBD Ogan Ilir, menyebut bahwa timnya berupaya melakukan penyekatan agar api tak menjalar ke wilayah vital. Tapi dalam wawancara singkatnya, ia tak menyebut berapa luas lahan yang telah terbakar. Tak ada rincian tentang siapa pemilik lahan itu. Negara tampak hadir, tapi tak pernah bertanya: kenapa selalu terbakar?
Api dan Struktur yang Berulang
Kebakaran hutan dan lahan bukanlah bencana alam. Ia adalah bencana kebijakan. Ia bukan badai, bukan gempa, bukan longsor. Ia dibuat manusia. Entah karena pembukaan lahan yang ceroboh, konflik agraria yang tak terselesaikan, atau pembiaran korporasi membakar lahan gambut dengan impunitas.
Data satelit NASA menunjukkan titik panas mulai muncul sejak akhir Juni. Tapi respons struktural negara seringkali seperti pemadam kebakaran: datang ketika api sudah jadi berita. Dalam narasi resmi, semua pihak saling bahu-membahu. Tapi dalam praktiknya, pemadaman seringkali hanya menyentuh permukaan. Asap hilang, masalah tetap.
Tak ada pembicaraan tentang hak atas tanah. Tentang bagaimana petani kecil didorong ke pinggir, sementara perusahaan sawit atau HTI mengklaim ribuan hektar. Tak ada tanya mengapa semak belukar bisa terbakar dengan mudah. Apakah tanahnya pernah direstorasi? Apakah gambutnya dikeringkan?
Apa yang Tersisa Setelah Api?
Malam mulai turun di Sungai Rambutan. Di langit, warna jingga bercampur abu. Para petugas berjaga, sebagian terkulai lelah. Mereka tak sempat berpikir bahwa yang mereka lawan hari ini bukan cuma api, tapi sistem yang memungkinkan api terus datang tahun demi tahun.
Seorang warga bernama Pak Sarnubi, 58 tahun, petani padi yang sawahnya nyaris terbakar, hanya menggelengkan kepala. “Dulu ini rawa. Tempat orang cari ikan. Sekarang, tanahnya berubah. Jadi cepat terbakar.”
Di saku bajunya, tersimpan ponsel lawas yang tak bisa memotret api. Tapi wajahnya cukup menjadi narasi tentang apa yang tak pernah ditulis dalam laporan resmi. Bahwa korban kebakaran bukan hanya hektare lahan, tapi juga sejarah, identitas, dan hak atas tanah.
TEKS : AHMAD MAULANA | EDITOR : IMRON SUPRIYADI