
MUARAENIM | KabarSriwijaya.NET — Pada sebuah akhir pekan yang tenang di sudut Lawang Kidul, Muara Enim, terdengar suara anak-anak mengaji dari dalam Mushola Al-Istiqomah. Di sanalah, 32 anak usia sekolah dasar dan menengah pertama memulai libur sekolahnya bukan dengan bermain mobile game atau berselancar di TikTok, tapi dengan shalat tahajud dan belajar wudhu.
Mereka datang dari lingkungan perumahan Bara Lestari 2, sebuah kompleks relokasi dari Bedeng Obak Tanjung Enim. Lokasinya berada di RT 40 Dusun 5, Desa Keban Agung.
Mushola kecil berukuran 10 x 10 ini menjelma menjadi ruang belajar spiritual, tempat bermalam iman dan takwa—mabit—yang sengaja dirancang sebagai bagian dari kegiatan “Pesantren Kilat Liburan Sekolah”, Sabtu hingga Minggu. Temanya sederhana tapi menyentil: Liburan Tanpa Gedge.
“Anak-anak sekarang lebih hafal level game daripada nama nabi,” kata Jun Supriyadi, Ketua Pengurus Mushola Al-Istiqomah, sambil tersenyum lebar di sela istirahat makan siang. “Kegiatan ini ikhtiar kecil kami, agar liburan sekolah bukan hanya tentang rebahan dan charger HP.”
Mengganti Scroll dengan Sujud
Dalam dua hari, (Sabtu-ahad, 29-30 2025) para peserta dilatih cara shalat yang benar, dilatih satu per satu oleh Ustadz M. Kahfi El Hakim dari Alumnus Ma’had Al-Fath Banyuasin. Tidak hanya teori, tapi langsung praktik: dari niat hingga salam.
Malamnya, Ustadz Imron Supriyadi dari Pondok Pesantren Laa Roiba Muara Enim membimbing mereka dalam dzikir ba’da shalat. Subuhnya, ia mendongeng kisah “Gajah dan Bulu Ayam” yang menggambarkan bagaimana ilmu dan iman bisa menyelamatkan manusia dalam ketidakseimbangan hidup. Dongeng itu disampaikan dengan nada yang lembut, namun mengena di hati.

“Anak-anak zaman sekarang perlu diceritakan ulang bahwa dunia ini tidak selesai di layar ponsel,” ujar Ust. Imron kepada panitia, seraya menyebut bahwa dakwah kreatif seperti ini adalah bentuk konkret dari transmisi nilai, bukan sekadar hafalan agama.
Pada obrolan santai di sarapan pagi, Ust Imron–mantan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang 1998 ini menjelaskan, diharapkan di masa mendatang, Mushola Al-Itiqomah akan menjadi salah satu lokasi dan binaan PP Laa Roiba, terutama dalam menjalankan “Road Show Dakwah” mulai pertengahan Juli 2025.
“Insya Allah, Mushola Al-Istiqomah akan kami daftar sebagai salah satu Mushola yang nantinya akan menjadi binaan pesantren kami La Roiba,” tambah Alumnus Pondok Pesantren Modern Islam As-Salaam (PPMIA), Surakarta Jawa Tengah tahun 1988.
Mengapa Tanpa Gedge?
“Gedge” adalah plesetan dari “gadget.” Kata itu sengaja dipilih untuk menggambarkan ironi dunia digital: menghubungkan manusia, tapi juga bisa menjauhkan manusia dari jiwanya sendiri. Panitia tidak melarang teknologi, tapi ingin anak-anak merasakan dunia yang lebih luas dari layar enam inci.
“Bukan anti teknologi, tapi kita sedang menyelamatkan arah hidup mereka,” tambah Jun. “Kita ingin mushola jadi tempat nyaman, seperti rumah, bukan tempat yang cuma ramai saat tarawih.”

Dan benar saja. Mushola itu malam itu hidup. Anak-anak tertidur di atas sajadah, bangun dini hari, lalu saling mengingatkan wudhu dan shalat. Esok paginya, mereka senam bersama, bermain kuis Islami, dan pulang membawa hadiah: bukan hanya dalam bentuk buku atau snack, tapi pengalaman spiritual yang sulit dicari di dunia daring.
Jurnalisme Hati: Saat Agama Menjadi Cerita
Menurut Dr. Gun Gun Heryanto, pakar komunikasi publik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, “Dakwah digital tidak bisa hanya mengandalkan konten ceramah YouTube. Ia butuh titik temu antara ruang maya dan ruang nyata.”
Dalam hal ini, kegiatan seperti pesantren kilat menjadi jembatan penting agar nilai-nilai keislaman tidak melulu dibacakan, tapi dialami secara kolektif.
Sementara itu, Dr. Syafiq A. Mughni, pakar dakwah digital dan mantan Ketua MUI Pusat, menyebut bahwa era digital harus diimbangi dengan aktivitas counter-balance berbasis komunitas. “Kalau kita biarkan anak-anak tenggelam dalam dunia maya tanpa arah, kita sedang menyerahkan mereka ke pasar algoritma,” ujarnya dalam satu forum kebudayaan Islam.
Pesantren kilat, sebagaimana yanag di gelar Mushola Istiqomah Keban Agung, Tanjung Enim, dengan segala kesederhanaannya, menjawab kebutuhan itu: menjadi ruang kultural, sosial, sekaligus spiritual yang hidup.
Harapan dan Jejak
Jun Supriyadi punya harapan yang sederhana namun tajam: “Saya ingin ini jadi tradisi. Bukan cuma liburan, tapi mungkin juga bulanan. Agar mushola kita bukan sekadar bangunan, tapi ekosistem hidup yang melahirkan anak-anak shalih.”
Di akhir kegiatan, anak-anak menyusun pakaian ganti-nya sendiri, masukd alam tas yang mereka siapkan sebelumnya—membawa pulang Kasur dan bantal–sandal dengan rapi.
Meski sedikit, mereka sudah tahu adab di masjid, adab dengan orang tua. Terlebih ketika Ustadz Imron mengajak para peserta bermuhasabah diri di akhir subuh—yang mengundag urai air mata di Mushola itu.
BACA ARTIKEL LAINNYA :
Ponpes Laa Roiba Muaraenim, Ajak Warga Bersihkan “Duri” Menjelang Ajal di Mushola Al-Istiqomah
Hanya dua hari, para peserta tahu perbedaan antara gerakan ruku dan sujud. Tahu nait shalat lima waktu. Tahu bagaimana adab kepada orang tua. Tahu kewajiban anak pada orang tua.
Tapi lebih dari itu, mereka tahu rasanya berdoa bersama teman di malam yang sunyi, ketika dunia daring ditinggalkan, dan dunia ruhani menyapa di seperti malam terakhir.
Hari itu, mushola kecil menjadi besar. Karena bukan ukurannya yang penting, tapi nilai-nilai yang ditanamkan di dalamnya.**
TEKS : TIM MEDIA AL-ISTIQOMAH | FOTO. DOK.MUSHOLA AL-ISTIQOMAH












