
Minggu lalu saya ditelepon seorang teman lama, namanya Nano. Sesekali dia menyebut dirinya Ken Arok. Saya sampai hari ini juga tak pernah bertanya, tentang hal itu. Tapi di Palembang akrab dipanggil Mas Nano. Ia bukan pejabat, bukan pengusaha besar. Ia cuma seorang perajin batu bata. Sebab Mas Nano selalu menolak disebut “pengusaha.”
Katanya, “Saya ini cuma perajin, Mas. Bukan pengusaha. Kalau tidak ada yang rajin bikin batu bata, tidak akan lahir pengusaha batu bata.”
Saya tertawa kecil. Ada logika sederhana tapi jujur di situ. Kalau tidak ada yang “rajin”, batu bata tidak akan pernah tercetak.
Kalau tidak ada yang mencetak, para developer bisa panik: dari mana tembok mau berdiri, rumah mau berdinding?
Sekarang memang banyak rumah pakai batako. Tapi kata Nano, sekarang ada aturan di beberapa daerah: pembangunan rumah disarankan bahkan dilarang pakai batako dan tetap memakai batu bata. “Lebih kuat, lebih hangat,” katanya.
Coba kita pikir. Setiap kali kita rebahan di rumah, menikmati tembok yang menahan panas dan dingin, pernahkah terlintas: di balik kenyamanan itu ada tangan-tangan yang mengolah tanah, membakar bata, memikulnya di bawah terik matahari?
Kita sering berterima kasih pada arsitek dan developer, tapi lupa pada para perajin batu bata — orang-orang yang temboknya melindungi kita dari hujan dan angin.

Saya baru benar-benar memikirkannya setelah obrolan panjang dengan Nano, Jumat 28 Oktober 2025 lalu, antara Muaraenim dan Palembang.
Pagi menjelang siang itu, Nano seperti meledakkan uneg-uneg yang lama dipendam. Saya hanya bisa mendengar, karena masalah batu bata ini bukan soal yang bisa diselesaikan secepat cebok habis buang air. Masalahnya panjang. Dan rumit. Tapi bukan tidak bisa diselesaikan. Masalahnya sekarang mau atau tidak.
Nasib yang Tak Pernah Jadi Komoditas
Nano berkisah: batu bata tak punya “harga dasar.” Tidak seperti beras, kopi, besi, atau semen. Semua itu sudah punya aturan: Ada Harga Eceran Tertinggi (HET), Ada Harga Pembelian Pemerintah (HPP), Ada Harga Acuan Pembelian (HAP), Ada Harga Pokok Produksi (HPP) industri.
BACA ARTIKEL TERKAIT :
Tapi batu bata? Tidak ada satu pun ketetapan yang melindungi harga mereka. Saya pun penasaran. Lalu saya melakukan riset kecil-kecilan, sekadar mengobati rasa ingin tahu.
Dari hasilnya, saya menemukan beberapa alasan.
Pertama, batu bata tidak termasuk komoditas strategis nasional. Ia bukan bahan pangan, bukan energi, tidak berdampak langsung pada stabilitas ekonomi negara.
Kedua, produksinya bersifat lokal dan bebas. Setiap daerah punya jenis tanah, kualitas, dan biaya produksi yang berbeda. Harga batu bata ditentukan oleh biaya bahan bakar, upah tenaga, cuaca, bahkan jarak dari sungai tempat mengambil tanah liat.
Ketiga, pasarnya berjalan dengan mekanisme alamiah: supply dan demand. Harga ditentukan antara penjual dan pembeli di daerah masing-masing. Tak ada lembaga seperti Bulog yang menampung hasil produksi ketika harga jatuh.
Gagasan Nano: Asosiasi Perajin Batu Bata
Karena itulah Nano menggagas pendirian Asosiasi Perajin Batu Bata. Saya singkat : ASBAB.
Singkatan yang saya buat secara spontan ini bukan tanpa alasan. Dalam bahasa Arab, “Asbāb” (أسباب) adalah bentuk jamak dari “sabab” (سبب) yang berarti sebab, perantara, atau jalan yang menghubungkan sesuatu dengan akibatnya.
Artinya, ASBAB bukan hanya sekadar singkatan teknis “Asosiasi Perajin Batu Bata”, tetapi juga dapat dimaknai sebagai ”jalan atau perantara menuju keberkahan dan kemajuan”.
Kalau dalam tasawuf, asbāb adalah ”segala bentuk ikhtiar lahiriah yang tidak boleh diabaikan”, meskipun hakikatnya semua hasil datang dari Allah.
Orang arif akan mengambil asbab, tetapi tidak bergantung padanya — ia bekerja, namun hatinya tetap bergantung kepada Allah semata.
Tujuan Nano mendrikan ASBAB ini sederhana: agar perajin punya posisi tawar di depan developer. Agar harga tak semata ditentukan dari atas meja proyek, tapi juga dari keringat yang jatuh ke tanah.
Tentu, di otak Nano juga sudah menghitung kemungkinan ”wajib pajak” bagi ASBAB, sebagai konsekuensi logis dalam birokrasi di Bumi Garuda Pancasila ini.
Tiga tahun lebih, Nano memeras pikiran, keringatnya untuk itu. Tanpa anggaran, tanpa dukungan kuat, tapi dengan semangat yang luar biasa. Nano berjuang di antara dua dapur: dapur keluarganya sendiri dan dapur perjuangan nasib perajin.
Nano pasti tahu, ini bukan perjuangan populer. Tapi siapa lagi yang akan membela kalau bukan mereka sendiri?
Hitung-hitungan Kecil, Dampak Besar
Kami sempat menghitung-hitung. Katanya, program Presiden Prabowo Subianto menargetkan pembangunan 250.000 unit rumah subsidi per tahun untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Bayangkan kalau hanya di Sumatera Selatan, target realistisnya 50.000 rumah per tahun. Sekarang coba hitung:
- Satu rumah butuh 5.000 batu bata.
 - Harga rata-rata Rp1.000–Rp2.000 per buah.
 
Artinya,
- 5.000 × Rp1.000 = Rp5 juta per rumah,
 - 50.000 rumah × Rp5 juta = Rp250 miliar per tahun.
 
Kalau harganya Rp2.000, berarti Rp500 miliar.
Itu baru dari batu bata saja!
Bayangkan berapa tenaga lokal yang terserap, berapa dapur yang mengepul, berapa anak yang bisa sekolah dari proyek nasional ini.
Tapi sayangnya, ekonomi rakyat kecil ini belum punya perlindungan yang memadai.
Warisan Ekonomi Orde Baru
Di tengah obrolan, Nano tiba-tiba nyeletuk, “Mas, semua orang maunya untung besar, keluar modal sekecil mungkin. Itu kan yang diajarkan dari dulu.”
Saya langsung teringat pelajaran SD dulu: “Mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, meraih untung sebesar-besarnya.”
Itulah mantra ekonomi Orde Baru yang melekat di kepala bangsa ini. Dari pasar tradisional sampai kantor pemerintahan, prinsip itu masih dipakai.
Padahal, prinsip itu dingin. Ia menumbuhkan pengusaha yang efisien, tapi bukan yang beretika.
Efisien di angka, tapi kering di hati. Kita jadi bangsa yang pandai berdagang tapi jarang berderma. Pintar berhitung tapi gagap berkeadilan.
Dalam hukum kemanusiaan, logika itu rapuh. Dalam hukum Islam, ia pincang. Islam tak menolak keuntungan, tapi mengajarkan keadilan dan keberkahan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Pedagang yang jujur dan amanah akan bersama para nabi, orang-orang benar, dan para syuhada.”
Artinya, yang dikejar bukan hanya untung, tapi berkah — keseimbangan antara dunia dan nurani.
Rumus Baru: Dari Untung ke Berkah
Kita perlu mengganti rumus lama itu.
Bukan lagi “modal sekecil-kecilnya, untung sebesar-besarnya”, tapi: “Modal secukupnya, keadilan seutuhnya, keuntungan yang membawa keberkahan.”
Sebab ekonomi yang sehat bukan yang membuat banyak orang kaya, tapi yang membuat sedikit orang miskin.
Dan mungkin, perjuangan kecil seperti Nano— mendirikan ASBAB untuk perajin batu bata tanpa pamrih — adalah bentuk paling murni dari ekonomi berkeadilan.
Waktu menunjukkan pukul sebelas siang. “Mas, aku jemput anak dulu ya, nanti kita sambung,” kata NN sebelum menutup telepon.
Klik. Senyap.
Saya menatap HP yang mulai panas. Tapi dada saya terasa hangat.
Ada rasa hormat pada perajin batu bata, dan rakyat kecil yang bekerja untuk banyak orang, tanpa pamrih, tanpa tepuk tangan.
Nano mungkin tidak tahu, tapi setiap tetes keringatnya yang jatuh ke tanah liat itu — kelak akan menjadi amal jariyah.
Sebab Allah sudah berjanji: “Hal jazā’ul iḥsāni illal iḥsān.” (Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.) (QS. Ar-Rahman : 60)**
Pondok Pesantren Laa Roiba, Muara Enim – 1 November 2025



																						







