
Di tengah dunia yang serba cepat dan kompetitif, pendidikan sering kali diukur dari angka, prestasi akademik, dan gelar formal. Namun, di balik hiruk-pikuk kemajuan itu, ada sesuatu yang kian langka ditemukan: pendidikan yang menumbuhkan akhlak dan karakter. Pendidikan yang menyentuh sisi batin, bukan hanya kecerdasan kognitif.
Dalam konteks inilah, seni-seni tradisional Islam seperti Syarofal Anam dan Hadroh menemukan kembali maknanya. Keduanya bukan sekadar bentuk kesenian, melainkan manifestasi dari pendidikan karakter yang hidup, berakar pada nilai-nilai Islam dan budaya pesantren.
Seni sebagai Cermin Nilai Pendidikan
Bila kita telisik lebih dalam, Syarofal Anam dan Hadroh lahir dari semangat dzikir dan syukur kepada Allah. Santri yang melantunkan shalawat tidak hanya sedang bernyanyi, tetapi sedang melatih kesabaran, disiplin, dan kekompakan. Mereka belajar menundukkan ego, menyesuaikan ritme suara, menjaga harmoni antara suara dan tabuhan rebana.
Dari situ tumbuh nilai-nilai pendidikan yang hakiki: kerja sama (ta’awun), ketekunan (istiqamah), serta penghormatan terhadap tradisi ulama dan guru. Di sinilah pendidikan karakter tidak diajarkan melalui ceramah semata, tetapi melalui praktik hidup yang mengasah jiwa.
Sebagaimana Nabi Muhammad ﷺ mendidik para sahabat dengan keteladanan dan pembiasaan, pesantren pun menanamkan nilai lewat aktivitas harian yang mengandung hikmah. Hadroh dan Syarofal Anam hanyalah dua dari sekian banyak medium pendidikan yang menggabungkan seni, spiritualitas, dan akhlak.
Karakter yang Tumbuh dari Disiplin dan Kebersamaan
Banyak orang melihat lomba Hadroh hanya sebagai ajang hiburan. Padahal di balik panggung itu ada proses panjang. Santri berlatih setiap hari, menata irama, memperhalus suara, dan belajar sabar ketika kelompoknya belum kompak.
Proses itulah sesungguhnya inti dari pendidikan karakter. Santri belajar bahwa hasil tidak datang seketika, tetapi melalui konsistensi dan kerja sama. Mereka memahami makna ukhuwah—bahwa keberhasilan kelompok hanya lahir dari kekompakan hati dan ketulusan niat.
BACA BERITA TERKAIT :
- Menyongsong Hari Santri di Bumi Serasan Sekundang
- Jalan Santai Hari Santri Nasional di Muara Enim
- Puncak Hari Santri Nasional ke-11 di Muara Enim Akan Dimeriahkan Tabligh Akbar
- Menanam Nada, Mengalahkan Kolonial Lagu Hadroh
- Ketua PCNU Muara Enim : Bentuk Pendidikan Karakter dan Pelestarian Seni Islam
Dalam pendidikan formal, karakter sering diajarkan sebagai mata pelajaran tambahan. Namun di pesantren, karakter adalah napas kehidupan itu sendiri. Setiap aktivitas—mulai dari kebersihan kamar, adab kepada guru, hingga kesenian Islam—menjadi bagian dari proses pendidikan.
Hadroh dan Syarofal Anam hanyalah cermin kecil dari sistem pendidikan Islam yang menyatukan ilmu, seni, dan amal. Maka ketika santri naik panggung, sejatinya mereka sedang mempraktikkan nilai-nilai moral yang jauh lebih dalam daripada sekadar “menyanyi”.
Tradisi, Identitas, dan Ketahanan Budaya
Saya sering menyampaikan kepada para santri dan masyarakat: jangan pernah merasa bahwa tradisi pesantren itu kuno. Sebaliknya, di dalamnya tersimpan kekuatan spiritual dan budaya yang luar biasa.
Hadroh dan Syarofal Anam adalah identitas keislaman Nusantara. Ia lahir dari perpaduan antara nilai Islam dan kearifan lokal. Lantunan shalawat yang lembut berpadu dengan irama rebana yang menggugah hati. Tradisi ini membentuk jati diri umat yang religius tapi tetap ramah, beriman tapi terbuka pada perbedaan.
Di tengah gempuran budaya populer, seni Islam ini menjadi benteng moral. Ia mengajarkan kepada generasi muda bahwa hiburan tidak harus menjauhkan dari Tuhan, dan kebudayaan tidak harus bertentangan dengan iman.
Kita patut khawatir bila anak-anak kita hanya mengenal musik yang menjeritkan emosi, tanpa ruh spiritual. Maka perlu ada ruang bagi seni-seni Islam di sekolah dan pesantren—agar mereka tumbuh dengan keindahan yang membimbing jiwa, bukan sekadar menggoda telinga.
Peran Negara dan Ruang Publik
Seni Islam seperti Hadroh dan Syarofal Anam tidak bisa tumbuh hanya dari semangat pesantren. Ia juga membutuhkan dukungan kebijakan dan pengakuan negara. Pemerintah daerah perlu memahami bahwa pelestarian seni Islam bukan sekadar pelestarian budaya, tetapi juga investasi moral bagi masyarakat.
Di Kabupaten Muara Enim, kami di PCNU telah berupaya menjadikan lomba Hadroh dan Syarofal Anam sebagai agenda tahunan. Namun, keberlanjutan kegiatan seperti ini sangat bergantung pada dukungan semua pihak.
APBD daerah hendaknya juga memberi ruang bagi seni Islam, sebagaimana ia memberi dukungan pada kesenian lain. Bukan karena kita ingin bersaing, melainkan karena kita ingin menghadirkan keadilan budaya. Seni Islam juga bagian dari kehidupan masyarakat, bagian dari pendidikan nasional, dan bagian dari peradaban bangsa ini.
Pendidikan yang Menyentuh Akal dan Hati
Dalam tradisi Islam, pendidikan tidak hanya dimaknai sebagai transfer of knowledge, melainkan transformation of character. Al-tarbiyah bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi menumbuhkan manusia yang beradab (insan adabi).
Inilah yang sering luput dari sistem pendidikan modern. Kita sibuk menyiapkan generasi cerdas secara intelektual, tetapi miskin empati dan kehilangan arah moral. Padahal, kecerdasan sejati adalah keseimbangan antara akal, hati, dan amal.
Melalui Syarofal Anam dan Hadroh, santri belajar mengolah hati. Mereka berlatih menundukkan diri dalam ritme kebersamaan, menyatukan suara untuk satu tujuan: memuji Allah dan Rasul-Nya. Di sinilah karakter lahir bukan dari teori, tetapi dari rasa.
Seni Islami mengajarkan estetika yang berlandaskan etika. Ia mengajarkan bahwa keindahan sejati adalah keindahan yang mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pesantren dan Harapan Masa Depan
Hari Santri Nasional 2025 di Muara Enim bukan sekadar peringatan seremonial. Ia adalah refleksi atas arah pendidikan Islam ke depan. Bahwa pesantren, dengan segala kesederhanaannya, masih menjadi benteng terakhir dalam menjaga moral bangsa.
Santri-santri yang menabuh rebana dan melantunkan shalawat itu bukan sekadar peserta lomba. Mereka adalah penerus tradisi, penjaga akhlak, dan pewaris nilai luhur. Di tangan merekalah masa depan bangsa yang beradab akan tumbuh.
Saya meyakini, jika kita terus memberi ruang bagi pendidikan berbasis seni dan budaya Islam, maka kita sedang menanam benih peradaban yang berkarakter. Di situlah masa depan pendidikan kita harus diarahkan: membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar pintar, tetapi juga beriman, berakhlak, dan berjiwa sosial.
Sebagaimana pesan KH. Hasyim Asy’ari, “Ilmu tanpa adab adalah kesesatan, amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Maka pendidikan karakter melalui seni Islam adalah ikhtiar kita menegakkan keseimbangan antara ilmu, amal, dan akhlak.
Seni Islam bukan pinggiran dari pendidikan, tetapi denyut nadinya. Selama rebana masih berdentum di pesantren dan shalawat masih bergema di hati santri, selama itu pula harapan bangsa ini masih terjaga.**
Muaraenim, 20 Oktober 2025
*) Tulisan ini disarikan dari sambutan dalam Lomba Seni Islam 19 Oktober menyambut Hari Santri Nasional (HSN) 2025 PCNU Muaraenim.